Meluruskan Logika dalam Tangisan Stefan de Vrij

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Meluruskan Logika dalam Tangisan Stefan de Vrij

Stefan de Vrij akan berganti seragam musim depan. Seragam biru langit yang ia kenakan sejak 2014 akan ia tanggalkan karena keputusannya untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Lazio. Laga pamungkas Serie A 2017/18 pun menjadi laga terakhirnya bersama Si Elang. Kebetulan lawannya adalah kesebelasan yang akan dibela De Vrij musim depan; Internazionale Milan.

Kebetulan juga Lazio dan Inter bertanding dengan status laga final. Lazio posisi empat, Inter lima. Keduanya berebut tiket terakhir babak grup Liga Champions (UCL) musim depan.

Selisih poin tiga. Lazio hanya butuh imbang untuk mengamankan posisi. Inter harus menang; meski poin akan sama dan Lazio lebih unggul selisih gol, Serie A menerapkan head-to-head terlebih dahulu dan Inter akan unggul (pertemuan pertama Inter menang (ralat: imbang)).

Pertandingan digelar. De Vrij bermain sejak menit pertama. Semuanya tampak berjalan baik bagi Lazio karena sempat unggul 2-1. Tapi De Vrij melanggar Mauro Icardi di kotak penalti pada menit ke-77. Icardi yang maju sebagai algojo mengembalikan asa Inter untuk memenangkan pertandingan.

Tiga menit kemudian Matias Vecino mewujudkannya. Skor akhir 2-3. Lazio merelakan tiket terakhir UCL pada Inter.

Mudah saja mengatakan De Vrij memuluskan langkah tim barunya ke kompetisi Eropa paling bergengsi. Penyuka teori konspirasi pun akan semakin menjadi-jadi, terlebih adanya protes Lazio pada wasit terhadap gol pertama Inter (dianggap melanggar terlebih dahulu), gol penalti, dan dua kartu merah yang diterima tuan rumah (kartu merah pertama terjadi beberapa menit sebelum gol Vecino).

De Vrij terlihat menangis usai laga. Eks bek Feyenoord itu menutupi wajahnya dengan seragam. Tapi tak sedikit yang menganggap tangisannya adalah tangisan palsu. Sederhananya, "bukankah kekalahan Lazio justru membuatnya tampil di UCL musim depan?". Toh, isi hati siapa yang tahu.

Kenyataannya tidak demikian. Kapten Lazio, Senad Lulic, membelanya. De Vrij malu dan kecewa.

"Terlalu berlebihan tentang ini. Dia [De Vrij] menampilkan performa hebat dan menunjukkan contoh untuk semua orang. Ia sangat kecewa oleh kesalahannya di kotak penalti, tapi kemudian bertarung hingga akhir bersama kami."

Sang pelatih, Simone Inzaghi, juga demikian. Tak ada penyesalan darinya karena telah memainkan De Vrij yang justru membuatnya gagal membawa Lazio ke UCL musim depan.

"Saya akan memainkan De Vrij lagi kalau saya bisa. Dia bermain bagus. Salah besar kalau menyalahkan seseorang. Orang-orang pun senang melihat penampilan Lazio musim ini dan kami belum pernah lagi melihat stadion menggema lagi seperti hari ini sejak meraih Scudetto," ujar Inzaghi usai laga. Olimpico untuk pertama kalinya sold out sejak 2003.

Inzaghi tahu betul kapasitas De Vrij. Ia juga tahu betul risiko besar yang dihadapinya saat memutuskan memainkan bek yang akan pindah ke tim lawan yang akan dihadapi. Pelatih memang pekerjaan penuh risiko. Setiap keputusan punya risikonya masing-masing.

Jika ada yang mengutuk keputusan Inzaghi, itu karena Lazio kalah. Tapi mereka mengutuk karena tidak memiliki risiko. Sementara dalam perspektif pelatih, dalam hal ini Inzaghi, ia hanya melihat De Vrij sebagai bek tengah terbaik yang dimilikinya. Jika Inzaghi memainkan bek lain yang kualitasnya tidak sebaik De Vrij, memangnya Lazio pasti menang? Tentu tidak.

Inzaghi tahu betul psikologi, keseriusan dan semangat setiap pemainnya di setiap latihan yang ia pimpin. Saudara kandung Filippo Inzaghi itu pun melihat tak ada yang salah dengan De Vrij selama latihan jelang lawan Inter.

"Banyak orang yang membicarakan ini," kata Inzaghi pada konferensi pers pre-match vs Inter. "Tapi saya memerhatikannya dan tak ada keraguan untuk memainkannya. Saya yakin ia ingin meninggalkan klub ini, fans dan rekan-rekannya, dengan pencapaian. Ia juga ingin menunjukkan pada Inter seberapa hebatnya dia, yang direkrut untuk lima tahun ke depan."

Pernyataan itu seolah meneruskan pemberitaan Premium Sport sebelumnya yang mengatakan bahwa De Vrij memohon pada Inzaghi dan rekan setimnya secara khusus untuk bermain pada laga melawan Inter. Dalam kutipannya, De Vrij mengatakan: "Kalian tahu apa yang telah kita lewati. Saya tidak akan berbicara banyak, tapi saya ingin bersama kalian hingga akhir. Saya ingin bermain karena ini laga penting untuk kita dan kita harus menyelesaikan musim ini sebisa yang kita lakukan."

Berlebihan memang menyalahkan kekalahan Lazio karena adanya konspirasi antara De Vrij dan Inter. Bek berusia 26 tahun itu mencatatkan 1 intersep, 1 blok, 1 aerial duel, dan 6 sapuan (terbanyak di laga ini). Sapuan berarti menjauhkan bola sejauh mungkin dari gawang. Ini bisa juga dimaknai sebagai seberapa besar De Vrij tak ingin bola berada dekat dengan gawangnya.

Pelanggaran yang ia lakukan hanya satu kali. Sial baginya, satu pelanggaran itu berbuah penalti untuk klub barunya.

Lazio tampil tidak dengan kekuatan terbaik. Marco Parolo dan Luis Alberto, pemain penting di lini tengah, absen karena cedera. Ciro Immobile baru sembuh dari cedera dan sempat diragukan tampil (ini juga yang menyebabkan ia diganti pada menit ke-75).

Di sisi lain, Inter datang ke Olimpico dengan skuat terbaik yang bisa diturunkan Luciano Spalletti. Tak ada satupun pemain yang cedera atau harus menjalani suspensi.

Inzaghi terbatas dalam pemilihan susunan pemain, Spalletti leluasa. Pada akhirnya, pilihan serta respons taktikal pelatih dan stimulus untuk kembali ke Liga Champions yang sudah dirindukan Inter sejak enam tahun silam-lah yang menentukan hasil akhir laga ini.

Komentar