Mengubah Watak, Mengubah Nasib

Backpass

by redaksi

Mengubah Watak, Mengubah Nasib

Sebelum membawa Bayern München juara Liga Champions musim 2012/13, tak banyak yang tahu bahwa Jupp Heynckes pernah membawa Real Madrid menjuarai Liga Champions musim 1996/97 dan FC Schalke 04 Piala Intertoto pada musim 2002/03 dan 2003/04. Dibanding dengan pelatih-pelatih kenamaan Jerman lainnya, seperti Franz Beckenbauer atau Omar Hitzfeld, nama Heynckes memang kurang populer.

Heynckes malah lebih sering diasosiasikan sebagai pelatih berkarakter keras yang bertugas mendisiplinkan tim yang sedang kacau balau ketimbang dikaitkan dengan kesuksesan. Pelatih kelahiran 9 Mei 1945 itu memang sering menghadapi ego pemain dengan cara yang kelewat kaku. Ia bukan tipe pelatih yang melingkarkan lengannya di bahu pemain atau jadi sosok ayah bagi mereka. Heynckes yang dikenal berkarakter dingin lebih memilih untuk menghadiahi pemain indisipliner dengan hukuman.

Contohnya saat ia melatih Eintracht Frankfurt pada musim 1994/95. Di masa-masa ini, klub asal kota Frankfurt am Main tersebut mengalami masalah keuangan internal yang memengaruhi kondisi finansial para pemainnya. Bahkan, banyak di antara pemain merelakan mobil pribadinya lebih sering menganggur di garasi karena harus menggunakan bus untuk sampai ke tempat latihan. Ini memicu suasana ruang ganti yang tak harmonis dan timbulnya pertikaian.

Heynckes coba mengatasi masalah ini dengan pendekatan yang keras dan dengan disiplin ketat. Salah satunya pada tiga pemain bintangnya, trio Tony Yeboah, Jay-Jay Okocha, dan Maurizo Gaudino. Ketika ketiga pemain itu membuat masalah, Heynckes tak tanggung-tanggung memberikan porsi latihan tambahan sebagai hukuman pada mereka. Ketiga pemainnya itu kemudian membangkang sehingga Heynckes memberikan hukuman larangan bertanding. Di akhir musim, Yeboah dijual ke Leeds dan Gaudino dipinjamkan ke Manchester City.

Lalu bagaimana dengan Heynckes? Ia kehilangan pekerjaannya karena dianggap terlalu ketat memimpin tim.

Permasalahan di ruang ganti ini pun kembali muncul saat Heynckers menukangi Real Madrid. Ia kerap berselisih dengan pemain bintang macam Clarence Seedorf dan Predrag Mijatovic yang memang sering berpesta saat tidak adanya kegiatan klub. Tetapi Presiden Real Madrid saat itu, Lorenzo Sanz, lebih memihak para pemainnya ketimbang memberikan dukungan terhadap metode Heynckes. Padahal, dengan mendisplinkan ruang ganti-lah Heynckes mampu memberikan piala Liga Champions untuk Real, setelah klub ini selalu gagal di Eropa selama 32 tahun.

Di akhir musim, meski memenangkan kompetisi Eropa di tahun pertamanya melatih, Heynckes pun kembali terlempar dari kursi pelatih. Semenjak terdepak dari Madrid juga Heynckes mendapatkan reputasi sebagai pelatih bergaya tradisional yang lebih cocok menukangi tim-tim bermasalah.

Terpuruk dan Berubah

Sempat memegang Benfica, Athletic Bilbao, dan Schalke setelah keluar dari kota Madrid, karier Heynckes tak kunjung membaik. Lagi-lagi, ia kerap dilepaskan dari kontraknya oleh manajemen klub karena berbagai alasan.

Puncak keterpurukannya terjadi saat Heynckes kembali ke klub kesayangannya yang ia bela 12 tahun saat jadi pemain: Borussia Mönchengladbach.

Di masa-masa melatih Mönchengladbach, Heynckes sempat menerima ancaman mati dari suporter die Fohlen karena prestasi buruk timnya. Saat itu, Heynckes memang sempat menjalani 14 kali pertandingan tanpa kemenangan, dan Mönchengladbach terdampar di posisi ke-17. Dengan adanya ancaman tersebut, Heynckes juga sempat beberapa kali melatih dengan dikawal oleh polisi.

Seusai melatih Mönchengladbach—lagi-lagi berakhir dengan pemecatan—Heynckes kemudian mengundurkan diri dari dunia persepakbolaan karena alasan kesehatan. Ia yang telah menjalani karier sebagai pesepakbola dan pelatih selama 45 tahun merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti. Heynckes pun kemudian harus menjalani serangkaian operasi di meja bedah.

Namun, di masa-masa inilah Heynckes mengalami perubahan dalam dirinya. Secara perlahan ia mulai mengendurkan kendalinya pada segala sesuatu. Hidup, menurutnya, terlalu pendek untuk digunakan mengurusi hal-hal kecil. Menurunnya kondisi kesehatan pribadi, sakitnya sang istri, serta kehilangan seorang sahabat memaksanya untuk memikirkan ulang berbagai prioritas.

Demikian pula dengan hubungannya terhadap para pemain. Jika semula ia sangat perhatian pada hal-hal yang dilakukan pemain di luar lapangan, Heynckes berubah jadi cuek dan tidak terlampau peduli. Ia juga tak lagi dingin pada pemain dan mulai menunjukkan sikap kebapakan.

Perilaku inilah yang muncul saat ia kembali ke lapangan hijau. Saking baiknya saat melatih, salah seorang asistennya di Bayern Leverkusen malah menyebut Heynckes bak seorang santo.

Ditolong dan Menolong Sang Sahabat: Uli Hoeness

Jika permasalahan kesehatan membuat Heynckes mengevaluasi tindak tanduknya, kembalinya ia ke dunia sepak bola mesti diatributkan ke salah seorang sahabatnya, Uli Hoeness.

Di sisa 5 pertandingan musim 2008/09, Presiden Bayern München ini sempat memanggil kembali Heynckes untuk melatih Bayern. Kala itu Hoeness memang menginginkan sentuhan tangan tradisional Heynckes setelah melewati kegagalan proyek modern ‘spektakular’ dengan Jürgen Klinsmann.

“Dengan Klinsmann, kami memiliki bahan-bahan presentasi. Kami juga menghabiskan ribuan euro untuk membeli komputer, demi menunjukkan bagaimana caranya bermain bola pada pemain kami. Tapi itu hanya sebatas menunjukkan saja,” ujar Hoeness pada suatu kesempatan.

“Heynckes hanya menggunakan papan dan spidol. Ia menggambar formasi musuh di papan itu, dan sisanya ia jelaskan lewat mulut. Dan kami hanya menghabiskan 12,5 euro saja!” tambah Hoeness lagi mengenai pemanggilan kembali Heynckes.

Kembalinya Heynckes ke dunia sepakbola menandai kedua kalinya terjalin kerja sama antara Hoeness dan Heynckes. Kali pertama adalah saat Heynckes melatih Bayern selama 4 tahun, dari 1987 ke 1991.

Hoeness yang waktu itu masih berperan sebagai business manager Bayern pernah melepas Heynckes sebagai pelatih karena prestasi Bayern yang tidak menonjol. Keputusan ini, diakui Hoeness, sebagai salah satu keputusan yang ia sesali seumur hidup. Menurutnya, seharusnya ia lebih sabar lagi dalam menopang kerja Heynckes, terutama saat menghadapi pers Jerman yang terkenal kritis.

Tetapi ini bukan berarti Hoeness tak pernah memberikan dukungan pada Heynckes. Saat Heynckes diserang oleh pelatih Köln, Christoph Daum, dan Udo Lattek (pada 1989 Köln dan Bayern sedang memperebutkan juara Bundesliga), adalah Hoeness yang memberikan dukungan total pada Heynckes. Di hadapan suporter sepakbola yang menyanyikan chant anti-Bayern, Hoeness memasang badannya untuk Heynckes yang hanya bisa terdiam. Meski berkali-kali diserang oleh Daum yang terkenal cerdas dan pintar berkata-kata, tak sekalipun Hoeness ragu untuk menunjukkan loyalitasnya membela Heynckes.

Maka tak heran ketika 20 tahun kemudian Hoeness meminta Heynckes untuk keluar dari masa pensiunnya, Heynckes pun menyanggupi permintaan sahabatnya.

Persahabatan ini pula yang jadi salah satu faktor ketika Heynckes kembali jadi pelatih Bayern di musim 2011/12. Setelah berseteru dengan pelatih Bayern saat itu, Louis Van Gaal, dan mengritik beberapa kebijakannya, Hoeness kembali berpaling pada Heynckes yang sudah familiar baginya. Heynckes dianggap pas sebagai penerus kerja Van Gaal yang sedang mengembangkan pemain muda.

Apalagi, setelah melewati masa pensiunnya, Heynckes memang jadi sosok kebapakan. Ia yang sebelumnya kerap bertengkar dengan pemain bintang, kini malah membimbing mereka untuk menunjukkan permainan terbaiknya. Bahkan Franck Ribéry yang sempat menurun performanya saat ditangani Van Gaal kembali ke permainan terbaiknya setelah diasuh Heynckes. “Ia (Heynckes) seperti seorang ayah bagi saya,” ujar Ribéry.

Alasan yang sama membuahkan keputusan Heynckes kembali menukangi Bayern walau sudah empat tahun pensiun. Pada awal musim 2017/18, melihat performa Bayern yang kurang maksimal bersama Carlo Ancelotti, Heynckes menerima tawaran dari jajaran manajemen Bayern untuk menjadi juru selamat klub.

“Ini bukan come back, ini layanan persahabatan,” kata Heynckes pada Oktober 2017 seperti yang dikutip Kicker. “Saya melakukan ini sebagai bentuk dari rasa terima kasih saya pada Bayern.”

“Pembicaraan yang Uli Hoeness, Hasan Salihamidzic, dan saya lakukan membuahkan keputusan itu, dan kami berterimakasih Jupp menerima tawaran kami. Ia adalah pelatih yang paling ideal untuk Bayern," kata CEO Bayern, Karl-Heinz Rummenigge.

Saat ditunjuk menjadi pengganti Ancelotti (Bayern sempat ditangani Willy Sagnol satu laga), Bayern berada di posisi kedua dengan terpaut lima poin dari Borussia Dortmund. Pada debutnya melawan Freiburg, Heynckes langsung membawa Bayern menang 5-0. Lantas akhirnya Dortmund mampu disusul. Bahkan Bayern sudah memastikan gelar Bundesliga 2017/18 sejak pekan ke-29. Di Liga Champions, Bayern mencapai semifinal.

***

Jika dilihat dari perjalanan kariernya, perubahan watak Heynckes telah mengantarkannya pada sejumlah kesuksesan. Kini ia pun lebih dikenal sebagai pelatih Bayern yang sukses memberikan trofi-trofi bergengsi. Bisa dibilang, ia adalah pelatih yang paling tahu luar-dalam dari Bayern.

Sama seperti pada 2013 lalu, di mana ia mengakhiri “kontraknya” bersama Bayern dengan gelar Liga Champions, kali ini pun Heynckes tidak lagi pergi dengan caci-maki. Dengan pencapaian-pencapaian Bayern musim 2017/18, terlebih penampilan Bayern yang impresif di Liga Champions meski disingkirkan oleh Real Madrid, Heynckes kembali meninggalkan Bayern dengan kepala tegak sebagai bukti bahwa kini ia telah menjadi salah satu pelatih terbaik Jerman.

(vet)

Komentar