Persoalan Luis Milla adalah Persoalan Sepakbola Indonesia

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Persoalan Luis Milla adalah Persoalan Sepakbola Indonesia

Di Anniversary Cup 2018 tuan rumah Indonesia tak berdaya. Dari tiga laga yang dilakoni tak sekalipun pertandingan dimenangkan. Indonesia asuhan Luis Milla berada di posisi ketiga dengan dua poin. Pada turnamen dalam rangka ulang tahun PSSI yang ke-88 tersebut Bahrain menjadi juara dengan tujuh poin, disusul Uzbekistan dengan tiga poin. Korea Utara menempati pos juru kunci dengan dua poin (kalah selisih gol dari Indonesia).

Sebenarnya skor akhir dan di posisi berapa Indonesia pada akhir turnamen ini bukanlah yang paling penting karena turnamen ini bertajuk uji tanding bahkan test event untuk Asian Games 2018. Tapi dari turnamen ini ada yang cukup disoroti dari timnas Indonesia; ketidakmampuan timnas Indonesia mencetak gol di tiga laga.

Dampak mandulnya lini depan timnas Indonesia pada Anniversary Cup 2018 ini terbagi dua. Pertama, kualitas pemain depan Indonesia yang tidak sesuai harapan. Kedua, kualitas kepelatihan Luis Milla yang dipertanyakan. Hal kedua menjadi pembicaraan paling hangat karena kontrak pelatih asal Spanyol tersebut terancam tidak akan diperpanjang usai Asian Games.

***

Luis Milla datang ke Indonesia dengan CV yang terbilang mentereng. Meski kariernya di klub tak mengesankan, ia adalah pelatih yang pernah membawa timnas Spanyol U-21 juara Piala Eropa U-21 2011 dengan mengalahkan Swiss di final. Tapi di Indonesia yang sudah ia latih lebih dari satu tahun ini belum ada prestasi yang bisa diberikan.

Anniversary Cup 2018 adalah turnamen keempat yang gagal dijuarai Milla. Di Piala AFC U-23 Indonesia tersisih di babak kualifikasi dengan menempati posisi ketiga, di bawah Malaysia dan Thailand. Di SEA Games timnas hanya mampu meraih perunggu. Di Aceh Solidarity Tsunami Cup, Indonesia menempati posisi kedua, kalah oleh Kirgistan di pertandingan penentuan.

Pada turnamen "tidak serius" pun Indonesia mengalami kegagalan. Tapi menyalahkan Milla sepenuhnya karena kegagalan-kegagalan di atas rasanya kurang bijaksana. Karena di Spanyol pun sebenarnya ia membutuhkan proses yang tidak sebentar.

Sebelum menjuarai Piala Eropa U-21 2011 bersama Spanyol, Milla menangani U-19 terlebih dahulu pada 2008. Di turnamen pertamanya, yakni Piala Eropa U-19, Milla gagal bahkan langsung tersingkir dari fase grup, kalah dari Serbia dan Prancis. Padahal saat Spanyol sudah diperkuat David De Gea, Nacho Monreal, Iago Falque, Oriol Romeu, hingga Thiago Alcantara.

Dua tahun berselang Milla pun kembali gagal mempersembahkan trofi. Akan tetapi pencapaiannya saat itu lebih baik dengan mengantarkan Spanyol ke final. Setelah mengalahkan Italia, Kroasia, Portugal dan Inggris, Spanyol kalah di final oleh Prancis. Tapi atas pencapaian itu Milla dipromosikan ke timnas U-21 dengan pemain-pemain yang tak jauh berbeda dengan skuat U-19.

Dengan pemain-pemain yang lebih mentereng akhirnya Milla membawa juara Spanyol U-21. Juan Mata, Cesar Azpilicueta, Javi Martinez, Bojan Krkic hingga Ander Herrera melengkapi De Gea dan Thiago. Iker Muniain dan Adrian Lopez yang reguler bersama klubnya masing-masing membuat daya gedor Spanyol lebih tajam sehingga melaju mulus hingga juara.

Di timnas Indonesia, meski belum ada prestasi nyata, sebenarnya secara penampilan permainan Indonesia berangsur membaik. Secara sistem permainan Indonesia mulai lebih terstruktur. Bahkan jika Anniversary Cup 2018 menjadi acuan, lini pertahanan Indonesia merupakan yang terbaik karena hanya kebobolan satu gol dari tiga laga. Padahal lawan-lawan Indonesia adalah negara Asia yang cukup punya kualitas di Asia, di mana Uzbekistan punya permainan yang mendekati gaya bermain Eropa dan merupakan juara Piala Asia U-23 2018.

Milla sendiri pada acara PSSI National Coaching Conference 2018 mengatakan bahwa ia selalu lebih mengedepankan pertahanan yang sesuai dengan keinginannya. Ia juga mengatakan bahwa sejak menit pertama ia melatih Indonesia, ia langsung mengajarkan bagaimana para pemain Indonesia bertahan yang baik dan benar, dimulai dari tactical individual maupun tactical team. Maka jika sistem pertahanan yang paling ia benahi, bisa dikatakan hasilnya sudah mulai terlihat; ia bisa dikatakan berhasil.

Persoalannya kemudian adalah lini depan yang kurang tajam. Milla sendiri cukup kesulitan mencari pemain depan Indonesia yang berkualitas karena pilihannya tak banyak. Selama satu tahun empat bulan ia menyaksikan pertandingan-pertandingan liga pun ia lebih sering menyaksikan para pemain asing di lini depan.

"Masalah di Indonesia adalah para pemain umur 21 tahun-22 tahun datang ke timnas dengan kurangnya pengalaman bermain di kompetisi. Bayangkan jika di Indonesia ada liga setiap Sabtu-Minggu untuk mereka, punya pelatih-pelatih bagus, setiap akhir pekan dan setiap hari mereka akan belajar untuk lebih kompetitif. Belum lagi membicarakan penyerang, saya melihat di liga rata-rata penyerangnya pemain asing. Tapi ini justru menjadi tantangan saya untuk mengembangkan talenta yang ada," kata Milla.

Apa yang dikatakan Milla sesuai fakta. Tidak banyak pemain lokal yang menonjol di lini depan karena penggunaan pemain asing. Dari daftar pencetak gol terbanyak Liga 1 2018 hingga pekan ke-6 hanya ada tiga nama pemain Indonesia di 15 besar, mereka adalah Raphael Maitimo, Greg Nwokolo dan Stefano Lilipaly (ketiganya mencetak tiga gol). Ketiganya pun merupakan pemain naturalisasi dan berposisi bukan penyerang tengah (walau Maitimo belakangan bermain sebagai penyerang tengah).

Di Liga 1 2017 sebenarnya ada Samsul Arif yang mencetak 17 gol bersama Persela Lamongan dan Lerby Eliandri yang mencetak 16 gol bersama Borneo FC. Tapi musim ini ketajaman mereka belum terlalu menonjol. Ketika mereka tidak sedang dalam berada performa top, tak ada lagi pemain lain yang bisa dipanggil, sehingga akhirnya Milla memilih kembali Lerby dengan tambahan Ilija Spasojevic yang baru dinaturalisasi.

Pencarian penyerang di timnas Indonesia ini memang bukan berita baru. Saat Widodo Cahyono Putro menjadi asisten pelatih timnas pada 2014 pun ia sangat kesulitan mencari penyerang tengah yang sesuai kriteria Alfred Riedl, yakni target men. Setelah Bambang Pamungkas pensiun, pilihan tersisa saat itu tinggal Christian Gonzales, Sergio van Dijk, dan Jajang Mulyana.

Mengenai hal ini saya pernah menanyakan langsung pada Widodo. Menurutnya penyebab Indonesia tak memiliki opsi banyak penyerang adalah adanya kesalahan saat pembinaan usia dini. Para pemain muda tidak mencapai potensi terbaiknya menjadi seorang penyerang karena tidak adanya arahan langsung dari pelatih di akademi.

"Akademi saya per posisi ada pelatih. Striker, misal, pelatihnya saya. Pemain belakang ada Sasi Kirono, ada Khusaeri, ada Heri Purnomo yang jadi bek kiri. Gelandang ada Suwandi, juga Zainul Arifin. Memang mantan-mantan pemain Petro itu saya berdayakan jadi pelatih," kata Widodo pada 2016.

"Pelatih harus menyadari bahwa di masa remaja itu banyak perubahan. Bebaskan anak-anak bermain di posisi yang dia mau sambil kita arahkan. Biasanya di usia 14 tahun ke atas udah mulai kelihatan, kalau kita jeli," sambung pemilik SSB Wahana Cipta Pesepakbola ini.

Widodo memang tidak asal bicara. Salah satu pemain binaannya yang cukup berhasil adalah Dimas Drajad. Harapan besar pada Dimas pun membubung tinggi saat ia menjadi bagian dari skuat juara timnas Indonesia Piala AFF U-19 pada 2013. Akan tetapi pemain kelahiran Gresik tersebut kurang mampu bersaing dengan penyerang asing. Di PS TIRA yang ia bela saat ini pun ia kalah saing dengan penyerang asal Serbia, Aleksandar Rakic.

Salah satu solusi terbaik untuk melahirkan penyerang-penyerang lokal yang kompetitif, juga pemain lokal usia muda lainnya, adalah dengan menyelenggarakan kompetisi usia dini berjenjang tidak hanya untuk U-19 (yang masih juga belum dimulai untuk kompetisi Liga U-19 2018), tapi juga untuk U-21 bahkan U-17. Liga U-21 sebenarnya sempat digelar oleh PSSI hingga 2016 akan tetapi dihapuskan per 2017 lalu untuk digantikan Liga U-19.

Tampaknya, Liga U-21 sebenar-benarnya gerbang terakhir para pemain usia 21 tahun (menuju 22 tahun) untuk punya pengalaman kompetisi sebelum naik ke level senior, karena usia 20 tahun dari Liga U-19 terlalu dini. Lerby Eliandri adalah pemain lulusan Persisam U-21, di mana ia pun mendapatkan gelar pemain terbaik pada Liga U-21 2012. Yongki Aribowo, meski gagal menjadi andalan timnas, merupakan pemain yang bersinar bersama Persik Kediri U-21 pada 2008-2009. Jangan lupa juga sempat terdengar nama-nama seperti Aldaier Makatindu, Loudry Setiawan, Riszky Dwi Ramadhana dan penyerang-penyerang muda lainnya yang bersinar di Liga U-21.

Idealnya, para pemain U-23 yang masuk ke skuat liga (saat ini minimal tujuh pemain) memang pemain-pemain yang sudah ditempa di liga, bukan pemain yang hanya dipromosikan untuk memenuhi regulasi semata. Dengan begitu Milla, atau siapapun pelatih lain yang hendak mencari pemain U-23, tidak akan mengeluhkan kesebelasan Liga 1 yang memakai penyerang asing karena penyerang di bawah usia 23 tahun sudah punya kompetisi yang bisa menguji kualitasnya.

***

Jika persoalan timnas Indonesia saat ini adalah sulitnya mencari penyerang yang gaya dan kualitasnya sesuai harapan Milla, ini sebenarnya bukan lagi menjadi persoalan Milla seorang, melainkan persoalan sepakbola Indonesia yang dalam satu dekade terbilang abai pada pembinaan pemain usia muda. Stok penyerang lokal Indonesia terkikis oleh penyerang asing. Pemain naturalisasi pun berada di usia uzur, kecuali Ezra Walian yang mungkin bisa menjadi harapan.

Kita bisa saja mudah mengatakan Indonesia kembali menggunakan skema dasar 4-4-2 dengan alasan dua penyerang bisa membuat para pemain cepat seperti Beto Goncalves, Greg Nwokolo dan Irfan Bachdim masuk dalam skema timnas. Tapi itu tak bisa dilakukan begitu saja mengingat sudah hampir dua tahun Indonesia bertungkus-lumus dengan skema dasar 4-2-3-1 atau 4-3-3 yang diterapkan Milla. Perubahan formasi dasar artinya juga mengubah sistem pertahanan dan penyerangan seperti yang sudah mulai dipahami para pemain Indonesia saat ini, setidaknya oleh para pemain U-23.

Maka dari itu penting bagi federasi, dalam hal ini PSSI, memercayai sejauh mana kualitas kepelatihan Milla. Jika percaya, maka Milla layak terus dipertahankan (apapun hasil Asian Games 2018) hingga beberapa tahun ke depan atau mencari pengganti yang bisa meneruskan pola permainan yang fondasinya sudah dibentuk Milla. Jika tidak percaya skema yang sudah dibuat Milla akan cocok dengan kelebihan para pemain Indonesia, maka mengganti pelatih dengan filosofi bermain yang berbeda akan menjadi opsi tepat bagi federasi.

Soal filosofi permainan Indonesia, hal ini sudah menjadi pertanyaan besar sejak 50an. Kadir Jusuf dalam bukunya "Sepak Bola Indonesia" menguliti satu per satu upaya pelatih timnas Indonesia dalam mencari skema yang pas. Ia menceritakan Endang Witarsa yang memamerkan 4-2-4 bersama timnas Indonesia (adopsi dari timnas Brasil), tapi kemudian ditinggalkan karena merasa tidak cocok. Wiel Coerver pelatih timnas Indonesia 1975-1976 asal Belanda, berpendapat skema 4-4-2 Liverpool ala Bob Paisley adalah skema yang pas untuk karakter pemain Indonesia. Coerver bahkan tidak menganjurkan 4-3-3 Total Football Belanda untuk tidak diadopsi Indonesia karena tingkat kesulitan taktikal individunya.

Analisis-analisis dalam buku Kadir Jusuf sendiri pada akhirnya hanya bisa memberikan opsi-opsi yang bisa dipilih oleh Indonesia. Apalagi buku tersebut terbit awal tahun 1980an. Dengan perkembangan sepakbola yang sangat pesat hingga sekarang ini, keabsahan analisisnya tentu perlu dikaji ulang.

PSSI sendiri saat ini sudah merumuskan "Indonesian Way" atau cara bermain Indonesia lewat FILANESIA (Filosofi Sepakbola Indonesia). Skema bermainnya tak jauh berbeda dengan apa yang dimainkan oleh timnas Indonesia bersama Luis Milla selama ini. Tapi dengan belum ada hasil nyata dari segi prestasi, maka FILANESIA masih perlu diuji lebih jauh.

Maka dari itu, pada akhirnya apa yang menjadi persoalan Luis Milla saat ini sebenarnya persoalan akut sepakbola Indonesia secara mendasar. Milla adalah sosok yang saat ini sedang membantu federasi meluruskan keruwetan masalah filosofi permainan sepakbola Indonesia. Yang perlu dilihat dari kinerjanya memang tidak hanya trofi semata, tapi juga fondasi permainan yang bisa benar-benar menjadi dasar permainan sepakbola Indonesia di masa yang akan datang.

Baca juga: Memahami "Indonesian Way" Lewat Permainan Skuat Asuhan Luis Milla

Komentar