Naik-Turun Prestasi Kesebelasan Kebanggaan Masyarakat Riau

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Naik-Turun Prestasi Kesebelasan Kebanggaan Masyarakat Riau

Oleh: Sony Andrio Ranhas

Riau. Apa yang terlintas di kepala anda ketika mendengar kata tersebut? Panas? Ruko? Istana Siak? Atau bahkan anda belum pernah mendengar kata tersebut?

Ya, Provinsi Riau memang tidak begitu populer. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya destinasi wisata yang populer di Riau. Riau—atau khususnya Pekanbaru sebagai ibu kota—biasanya disinggahi wisatawan hanya untuk keperluan bisnis. Tapi ya sudahlah, kita tidak akan membahas hal tersebut. Kita akan membahas Riau dalam konteks sepakbola.

Nah, bagaimana kalau saya revisi pertanyaan saya sebelumnya. Apa yang terlintas di kepala anda tentang sepakbola Riau? Kalau boleh saya tebak, untuk saat ini anda mungkin dengan cukup lantang menjawab “PSPS Riau”.

Ya, bisa dibilang untuk saat ini penikmat sepakbola Indonesia cukup familier dengan PSPS Riau (dulunya PSPS Pekanbaru). Selain karena kiprah PSPS Riau di Liga 2 tahun 2017 lalu cukup baik, juga mungkin karena insiden pada pertandingan melawan PSIS Semarang yang cukup viral saat itu.

Jika pertanyaan di atas saya ajukan di waktu yang berbeda, maka akan berbeda pula jawabannya saya kira. Kenapa? Karena memang prestasi PSPS sebagai kesebelasan kebanggaan masyarakat Riau cenderung tidak konsisten atau bisa dibilang naik turun. Saya coba bahas dari musim 1999/2000, tahun di mana PSPS pertama kali naik ke divisi tertinggi sepakbola Indonesia dengan menjuarai Divisi I (setara Liga 2 saat ini) setelah menanti selama kurang lebih 44 tahun sejak kesebelasan berdiri pada 1955. Bisa dibilang tahun tersebut adalah tahun keemasan PSPS, karena memang itulah satu-satunya gelar juara liga yang berhasil diraih PSPS hingga saat ini.

Berhasil naik ke divisi tertinggi, saat itu PSPS langsung tancap gas dan meraih hasil yang bisa dibilang baik sebagai kesebelasan promosi. Tahun pertama di divisi tertinggi, PSPS nyaris lolos ke 8 besar dengan menempati peringkat kelima Wilayah Barat. Tahun selanjutnya, lagi-lagi PSPS hampir lolos ke babak 8 besar—kali ini PSPS berada di peringkat keenam Wilayah Barat.

Tidak puas dengan hasil iyu, manajemen melakukan langkah besar-besaran dengan membangun The Dream Team jilid 1 pada Ligina VIII tahun 2002. Nama-nama besar langganan timnas berhasil direkrut: Hendro Kartiko, Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Saktiawan Sinaga, Ricky Nelson, Eko Purjianto, hingga Lilik Suheri. Nama PSPS kian harum pada waktu itu dan langsung diunggulkan untuk jadi juara Ligina. Namun lagi-lagi keberuntungan belum berpihak. PSPS kembali “hanya” menempati peringkat kelima Wilayah Barat, kalah sebiji poin dari Persita Tangerang.

Namun, manajemen belum menyerah. The Dream Team jilid 2 dipersiapkan, kali ini nama-nama besar lainnya seperti Bejo Sugiantoro, Uston Nawawi, Aples Tecuari, Erol Iba, hingga Carlos de Melo didatangkan untuk menambah kekuatan. Target tetap sama. Jadi juara Ligina IX tahun 2003 adalah harga mati. Namun apa daya, kali ini bukan hanya keberuntungan yang tidak hadir, tapi nasib sial juga datang menambah buruk keadaan.

Pada pekan keenam Ligina IX, tiga pemain penting PSPS (Hendro Kartiko, Aples Tecuari, dan Bejo Sugiantoro) terlibat cekcok dengan wasit dan pada akhirnya mendapat hukuman dilarang bermain selama 9 bulan. Hal ini sangat berdampak terhadap mental PSPS yang pada akhirnya hanya menempati peringkat kesembilan Wilayah Barat. Ini juga menjadi tanda selesainya era The Dream Team PSPS. Selanjutnya, pada Ligina X tahun 2004, PSPS menempati posisi 16 klasemen dan pada Ligina XI tahun 2005 PSPS terdegradasi ke Divisi I.

Mulai tahun 2005, nama PSPS kembali tenggelam. Tidak ada pemberitaan berarti bagi PSPS. Memang prestasi PSPS di Divisi I ini tidak jelek-jelek amat, namun pada tahun pertama PSPS belum mampu naik divisi.

Dan akhirnya, pada tahun kedua di Divisi I, PSPS berhasil kembali promosi ke Divisi Utama. Namun sialnya saat itu—tahun 2008—terjadi perombakan piramida kompetisi. Divisi Utama bukan lagi divisi tertinggi, melainkan divisi kedua karena pada tahun tersebut muncul Indonesian Super League (ISL) sebagai divisi tertinggi. PSPS harus berjuang kembali untuk dapat naik ke divisi paling atas.

Namun tanpa diduga, pada Divisi Utama 2008/09 ini PSPS tampil kesetanan hingga menduduki peringkat ketiga dan berhak mendapat tiket promosi ke ISL 2009/10. Yang paling diingat tentu pertandingan perebutan peringkat ketiga, di mana PSPS ditantang Persebaya Surabaya yang lebih diunggulkan. Tak diduga, PSPS berhasil menggulung Persebaya dengan skor mencolok 5-1. Tahun tersebut juga menandakan lahirnya seorang pemain asing yang kelak menjadi legenda hidup PSPS, Herman Dzumafo Epandi. Beliau juga menjadi pencetak gol terbanyak pada tahun tersebut.

Pada ISL 2009/10 nama PSPS kembali menjadi sorotan oleh penikmat sepakbola Indonesia. Hal ini dikarenakan prestasi impresif PSPS sebagai tim promosi. PSPS mengakhiri musim di peringkat ketujuh dengan sebuah catatan apik, hanya sekali kalah di kandang, itu pun oleh tim juara tahun itu, Persipura Jayapura. Dari rataan penonton kandang pun saat itu seingat saya PSPS menjadi salah satu yang terbaik. Animo penonton di Riau saat itu sedang tinggi-tingginya.

PSPS di ISL 2009/10

Tahun berikutnya prestasi PSPS masih lumayan walau turun dibanding tahun sebelumnya. PSPS menempati peringkat kesebelas klasemen akhir pada ISL 2010/11. Posisi PSPS kembali turun pada gelaran 2011/12, yaitu di posisi 13 klasemen akhir. Dan lagi-lagi, nasib nahas harus kembali dialami oleh PSPS. Pada ISL 2013, PSPS harus menjalani musim yang buruk, bahkan bisa dibilang musim terburuk PSPS selama berkiprah di Liga Indonesia. PSPS menempati posisi juru kunci dengan poin 17 dan kebobolan hingga 107 gol! Askar Bertuah harus rela kembali kehilangan tuahnya dan terdegradasi ke Divisi Utama.

Dari tahun 2014 hingga sekarang, prestasi PSPS cenderung konsisten—konsisten biasa-biasa saja. Pada Divisi Utama 2014, PSPS berhasil menembus babak 16 besar namun terhenti di fase tersebut. Pada ISC B 2016, PSPS berhasil sampai di babak 8 besar namun kembali kandas. Dan yang paling anyar, pada gelaran Liga 2 2017, sebenarnya PSPS sudah sangat dekat dengan divisi tertinggi. Dengan persiapan yang baik dan materi pemain yang bisa dibilang cukup mumpuni, PSPS berhasil melaju hingga babak 8 besar. Namun lagi-lagi kandas, kali ini PSPS disisihkan oleh PSIS Semarang dalam laga penentuan bertensi tinggi di Gelora Bandung Lautan Api.

Tahun ini, saya dan ribuan pecinta PSPS lainnya tentu berharap tim kebanggaan kami kembali dapat menunjukkan prestasi yang dapat dibanggakan pada gelaran Liga 2 2018. divisi tertinggi adalah harga mati. Sudah 5 tahun sejak terakhir kali PSPS bermain di divisi tersebut; sebuah selang waktu yang cukup lama.

Dan bagaimana pun, dengan prestasi yang naik turun alias tidak konsisten, PSPS tetaplah PSPS. Sebuah kebanggaan bagi masyarakat Riau yang sedikit banyak merepresentasikan Negeri Melayu tercinta. Dan sampai kapan pun, kebanggaan akan tetap jadi kebanggaan!


Putra asli Riau yang berprofesi sebagai graphic designer dan selalu setia menemani kemana pun PSPS pergi. Berkicau lewat akun Twitter @SonyAndrio dan dapat dihubungi lewat alamat surel sonyandrio@gmail.com.

Komentar