Transfermarkt dan Cepatnya Berita Bohong Tersebar

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Transfermarkt dan Cepatnya Berita Bohong Tersebar

Hoaks atau berita bohong menjadi hal yang paling diperbincangkan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan hoaks saat ini telah menjadi ancaman serius karena punya dampak negatif yang amat besar bagi masyarakat Indonesia secara umum.

"Tak peduli bagaimana pun Anda membendungnya, kebohongan selalu menang," kata Deb Roy, mantan chief media scientist Twitter, pada country105.com.

Apa yang dikatakan Deb Roy sejalan dengan hasil riset dari Massachusetts Institute of Technology. Setelah meneliti 126 ribu topik yang terkait dengan jutaan tweet pada 2006 hingga 2016, peneliti mereka menyimpulkan jika hoaks menyebar enam kali lebih cepat dibanding kebenaran. Saat itu mereka melakukan penelitian untuk mengukur hoaks yang beredar sebelum Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang baru.

Twitter juga punya kalkulasi yang tak jauh berbeda dengan hasil penelitian di atas. Masih dalam country105.com, ilmuwan di Twitter sendiri menyebut jika hoaks bisa menyebar ke 1500 pengguna hanya dalam tempo 10 jam saja, dibanding berita benar yang membutuhkan 60 jam untuk sampai pada 1500 pengguna. Tak heran hal itu disayangkan oleh salah satu pendiri Twitter.

"Kita sudah melihat penyalahgunaan, penyiksaan, tentara troll, manipulasi lewat bot, koordinasi (negatif) antarmanusia, kampanye informasi palsu, dan ruang gema yang semakin memecah-belah," cuitan co-founder dan CEO Twitter, Jack Dorsey. "Kami tidak bangga melihat orang-orang memanfaatkan servis kami, atau kelemahan kami, untuk menyebarkan itu dengan cepat."

Twitter hanya satu dari sekian contoh bagaimana sebuah platform media sosial bisa mempercepat tersebarnya sebuah berita (bohong). Oleh karenanya dengan adanya platform lain seperti Instagram atau Facebook, sebuah berita (bohong) memang bisa dengan mudah dan cepat tersebar. Pertanyaannya, mengapa orang begitu semangat menyebar berita bohong?

***

Transfermarkt adalah sebuah situs asal Jerman yang menyajikan data pemain secara lengkap, baik itu dari statistik, rekam jejak hingga harga pasar (market value) pemain tersebut. Di Jerman sana, Transfermarkt sendiri menjadi satu dari 25 situs yang paling populer atau memiliki pengunjung tertinggi.

Sekarang bayangkan misalnya terdapat sebuah media yang menuliskan tentang daftar 10 pemain asing termahal di Indonesia mengacu pada harga pasar yang tertera pada Transfermarkt. Dengan kredibilitas Transfermarkt, kemungkinan besar orang-orang akan percaya akan daftar tersebut, bukan?

Tapi tahukah kalian jika harga pasar di Transfermarkt tidak bisa begitu saja kita percayai? Ya, meski Transfermarkt merupakan situs besar di Jerman dan digunakan oleh banyak media di seluruh dunia, tidak menutup kemungkinan juga konten yang dihasilkan berdasarkan harga pasar dari Transfermarkt akan menghasilkan berita bohong atau hoaks.

Media di Indonesia seringkali menggunakan harga pasar dari Transfermarkt ketika pemain asing baru direkrut sebuah kesebelasan. Sebagai contoh, Jonathan Bauman yang baru didatangkan Persib Bandung dengan harga pasar 300 ribu euro di Transfermarkt, akan diberitakan bahwa Persib merekrut pemain dengan banderol 5 miliar rupiah.

Berita tersebut sebenarnya bisa dikatakan berita hoaks. Pada kenyataannya Transfermarkt tidak punya algoritma khusus untuk mengukur banderol seorang pemain. Harga pasar pemain yang tertera di Transfermarkt nyatanya berdasarkan perkiraan versi mereka sendiri. Itu saja membuat akurasinya patut dipertanyakan; apalagi di Indonesia gaji pemain tidak diungkap ke media.

Bauman (99) saat diperkenalkan sebagai penggawa Persib Bandung pada launching tim beberapa waktu lalu.

Di Wikipedia, profil Transfermarkt ditulis seperti ini: "Situs ini memuat pencetak gol, hasil akhir, berita transfer, jadwal, dan harga pasar. Meskipun harga pasar, dan juga beberapa fakta lain, merupakan perkiraan, peneliti dari Centre for Economic Performance telah menemukan bahwa rumor transfer pemain [di Transfermarkt] kemungkinan besar akurat."

Ada penekanan bahwa yang akurat hanyalah rumor transfer semata, sementara harga pasar dan beberapa fakta lain hanya perkiraan. Sekarang, bagaimana bisa kita membuat berita yang berdasarkan perkiraan semata?

Kolumnis asal Jerman, Peter Ahrens, kepada Spiegel Online secara gamblang menyebut jika Transfermarkt hadir untuk meramaikan bursa transfer. Menurut mereka, situs tersebut tak lain sebatas pemberi informasi soal berita rumor atau spekulasi alias informasi yang belum tentu kebenarannya.

"Masa transfer — sebuah kata sihir untuk para fans untuk mengisi kekosongan libur musim panas — menjadi nadi untuk koran-koran setiap harinya, terutama di Eropa selatan," tulis Ahrens pada 2010. "Spekulasi lahir karena industrinya sendiri menawarkan hal tersebut. Portal semacam transfermarkt.de memberikan asupan harian untuk itu, di mana mereka memunculkan kalimat-kalimat seperti: Ibrahim Affelay ke Schalke 04? Hugo Almeida ke Real Madrid? Di transfermarkt.de sendiri punya rubrik bernama `rumor mill`."

Valuasi untuk menentukan harga pasar seorang pemain di Transfermarkt nyatanya memang berdasarkan perkiraan semata. Manajer pemasaran Transfermarkt di Austria, Thomas Lintz, mengakui hal itu dalam sebuah wawancara dengan media Norwegia. Ia mengatakan bahwa tidak ada formula khusus untuk menentukan harga pasar pemain.

"Ada sebuah pedoman kecil untuk semua orang, dimulai dari moderator, pemantau informasi dan para pengguna, yang harus dipatuhi," kata Lintz. "Pada prinsipnya, ini bekerja sedemikian rupa sehingga melahirkan benang untuk nilai transfer pemain. Tentu saja penampilan para pemain dihitung, dengan penampilan terbaru yang dinilai lebih tinggi. Konsistensi, tekanan untuk tampil dari dalam tim, fleksibilitas dan sebagainya juga diperhitungkan."

"Tetapi ada kriteria lain juga, seperti pengalaman internasional, misalnya. Faktor lainnya adalah gengsi. Pada dasarnya, selalu ada banyak argumen tentang semua ini. Ketika saya memuji pemain Austria Wina terlalu banyak, misalnya, maka lima penggemar lain yang tidak menyukai Austria Wina akan langsung membantahnya. Itu sebabnya ada dua moderator yang menerapkan kriteria untuk mengumpulkan informasi. Tentu saja, hanya orang-orang yang sepenuhnya objektif yang bisa melakukan itu," sambungnya.

Yang perlu diperhatikan dari pernyataan Lintz adalah, selain berdasarkan kualitas pemain, adanya moderator, adu argumentasi, dan faktor likes and dislikes akan menentukan harga pasar pemain. Ini tentu saja tidak akan membuat sebuah hasil nilai pasar menjadi murni.

Untuk menghitung valuasi pemain memang tidak bisa mudah begitu saja didapatkan. Transfermarkt, atau siapa pun itu, selain mengetahui memperkirakan atau membandingkan kualitas pemain, perlu melihat nilai gaji sang pemain termasuk durasi kontraknya. Bukankah aneh jika Transfermarkt menilai jika Rezaldi Hehanusa (22 tahun) dan Valentino Telaubun (33 tahun) dihargai sama yakni 125 ribu euro?

Pada beberapa forum seperti Reddit atau Red Cafe, tak sedikit yang menyangsikan keabsahan data valuasi pemain pada Transfermarkt meski data-data selain itu cukup valid. Bahkan tak sedikit juga yang menilai bahwa pemain A dianggap punya nilai pasar terlalu rendah.

Lintz, dalam wawancara yang sama, juga mengakui bahwa keluhan terhadap situs Transfermarkt sering terjadi. Keluhan yang diberikan pun seputar harga pasar pemain yang dinilai terlalu rendah. "Itu [keluhan] sering terjadi ketika beberapa orang tidak setuju dengan nilai pasar mereka. Sebagai contoh, beberapa penasihat pemain sering tidak puas dan meminta kami mengubahnya, khususnya di Jerman; tidak banyak di Austria."

Pelajaran dari Transfermarkt di atas menunjukkan bahwa kita tidak bisa percaya serta merta percaya begitu saja akan sebuah informasi. Lagipula harga pasar seorang pemain tak begitu penting di Indonesia karena harga pasar ada kaitannya dengan nilai transfer, sementara pemain-pemain Indonesia didatangkan dengan gratis tanpa nilai transfer.

Maka jika ada media yang memberitakan pemain A menjadi pemain termahal di Indonesia, atau daftar pemain asing termahal di Indonesia berdasarkan valuasi Transfermarkt, jangan mudah percaya; toh mereka tidak punya formula atau algoritma khusus untuk menentukan harga pemain, hanya berdasarkan perkiraan.

Akan tetapi bukan berarti Transfermarkt merupakan situs yang tidak kredibel. Dalam beberapa hal seperti statistik pemain, rekam jejak pemain, dan angka-angka pasti yang bisa dicari, situs yang berdiri sejak tahun 2000 tersebut sangat kompeten. Akan tetapi soal nilai pasar pemain yang mereka tampilkan, baiknya tidak digunakan mentah-mentah sebagai data untuk sebuah informasi dan berita karena bisa jadi itu berita bohong karena kebenarannya tidak terjamin.

Baca juga: Cara Mengetahui Kebohongan Media Terkait Rumor Transfer

***

Manusia, tanpa disadari, memang antusias menyebar berita bohong. Sebagai contoh, pendukung Perseru Serui mungkin akan semangat menyebarkan sebuah berita yang menyebut jika pemain asingnya merupakan pemain termahal di Indonesia, yang ternyata itu berdasarkan hasil valuasi Transfermarkt.

Hal itu tak lepas dari kelemahan otak manusia dalam menerima informasi yang mereka sukai. Selama otak menyukainya, tanpa melihat informasi itu benar atau salah, maka otak akan menerima hal tersebut sebagai informasi "benar" dan ia akan berbagi pada yang lain. Carlos A. Rivera, psikolog yang banyak membahas tentang psikologi politik dan psikologi sosial politik, menyebut hal itu dengan "post-truth". Dalam tulisannya di Huffington Post, ia menyebut bahwa "Post-Truth" adalah sisi gelap dari otak manusia.

Manusia menyukai hal positif meski itu merupakan informasi palsu. Contoh sederhananya adalah cerita fiktif Yusuf Mansur. Pada Mei 2013, di Jakarta, saat berdakwah ia bercerita jika ada teman perempuannya yang baru menyelesaikan strata satu di Amerika Serikat dan pascasarjana di Prancis yang kaya raya dan cantik, menikahi seorang laki-laki miskin yang badannya hanya separuh dengan alasan, kata Mansur, perempuan tersebut ingin ibadah dan yang dilakukannya karena kehendak Allah.

Mansur mengunggah cerita tersebut di akun Instagramnya yang diikuti oleh lebih dari 1,5 juta pengikut pada 17 Juli. Hasilnya kisah inspiratif tersebut disukai banyak orang dan disebar oleh banyak orang.

Setelah ditelisik, meski disampaikan oleh seorang ahli agama, ternyata kisah itu palsu alias hoaks. Darso, yang membuat buku Yusuf Mansur Menebar Cerita Fiktif, Menjaring Harta Umat dan Banyak Orang Bilang: Yusuf Mansur Menipu, mendatangi langsung laki-laki dalam cerita Mansur tersebut.

Pria bernama Muhammad Wahyono itu membantah dilamar oleh wanita cantik, kaya dan terpelajar seperti yang diceritakan oleh Mansur. "Cerita itu tidak benar. Enggak ada itu. Lha, wong saya tahun ini saja baru 18 tahun. Kalau normal sekalipun saya belum pantas kawin," kata Wahyono.

Sekali lagi, manusia, sadar ataupun tidak sadar, menyukai hoaks selama hal itu sesuai dengan apa yang disukainya. Karena itu juga hoaks seringkali dengan cepat mudah tersebar.

Untuk meminimalisasi hoaks semakin menyebar, agar kita juga tidak termakan oleh hoaks karena kita menyukai suatu hal, memang diperlukan sikap skeptis, kritis, dan rasa penasaran yang tinggi agar kita bisa benar-benar mendapatkan kebenaran yang nantinya bisa dibagikan pada orang lain. Karena filter ini pula, mungkin, kebenaran lebih lambat tersebar ketimbang kebohongan.

Komentar