Bapak dan Sepakbola dalam Kenangan Suporter Layar Kaca

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Bapak dan Sepakbola dalam Kenangan Suporter Layar Kaca

Oleh: Kristiawan Balasa

Malam, 21 Maret tahun lalu, harusnya saya dan Bapak menyaksikan laga persahabatan Indonesia vs Myanmar. Saya leluasa menjemputnya di kantor—sebelum pukul 16.00 WIB—karena timnas baru akan main pukul 7 malam. Kami berdua suporter layar kaca yang tekun dukung Garuda.

Sejak pagi, saya sudah memikirkan laga tersebut selain karena laga perdana sang pelatih Luis Milla, dia juga memboyong timnas U-22 untuk melawan timnas Myanmar yang mayoritas diisi pemain senior. Di daftar nama yang dipanggil, ada Evan Dimas Darmono dan Ilham Udin Armaiyn, dua nama yang sering Bapak puji penampilannya dari awal memperkuat timnas U-19.

Tapi malam itu, saya tidak menonton apa pun. Entah Bapak. Rumah kami ramai dengan tetangga, handai tolan dan saudara takziah. Bapak meninggal bakda zuhur di kantor. Lepas makan, mengeluh ngantuk dan jatuh dari duduk. Seketika. Tiba-tiba. Saya tidak lagi ingat laga Garuda muda. Sejak itu, saya tidak pernah menonton siaran sepakbola.

Sepakbola selalu mengingatkan saya pada Bapak.

Setidaknya, ada dua hal yang jadi ritus kami berdua: bersepeda dan sepakbola. Sepakbola jadi agenda resmi duduk bersama di depan televisi sejak Piala Tiger 2004. Saya punya adik lelaki, tapi tak hobi bola kaki. Nama-nama macam Hendro Kartiko, Ismed Sofyan, dua beradik Ortizan Solossa dan Boaz Solossa, Ponaryo Astaman, Ilham Jaya Kesuma, dan Kurniawan Dwi Yulianto bagi kami adalah pahlawan. Dari mereka saya kenal sepakbola Indonesia. Dari mereka saya tahu sepakbola bukan sekadar olahraga.

Beranjak remaja, saya hampir tak pernah menonton laga timnas di luar rumah. Ajakan teman untuk nonton bareng di warung kopi jarang saya iyakan. Saya lebih senang menonton di rumah dengan Bapak. Walau sering bicara, sepakbola adalah bahasa lain yang lebih intim. Saya merasa lebih dekat tanpa didekap. Kami sama-sama teriak, kecewa, dan goblok-goblokin wasit juga.

Pernah suatu ketika, Mamak tengah sakit gigi. Saya lupa pertandingan apa malam itu, yang jelas Liga Indonesia—kami memang lebih sering tonton liga lokal. Dalam satu kesempatan, gol tercipta. Kami teriak sekencangnya. Itu gol yang indah seingat saya. Sejurus kemudian Mamak keluar kamar dengan pipi ditopang. Dia mengomel. Dan seperti dibekukan, kami diam. Gerutu campur marah itu selesai dan Mamak kembali ke peraduan. Saya dan Bapak saling pandang. Tertawa sambil menjaga diam.

Di Liga Indonesia, kami tak punya tim andalan. Tapi Bapak senang kalau Evan Dimas dan Ilham Udin main. Nama yang disebut terakhir, sering dia panggil “Pak Itam”. Jika sudah bawa bola girangnya Bapak bukan-bukan. Sebelumnya, laga-laga yang ada Si Kurus Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jaya Kesuma, dan Boaz Solossa yang buatnya begitu.

Sekitar 2014, Bapak diantar pulang-pergi kantor. Waktu ibadah bola kami berubah tempat. Jika pertandingan mulai jam 15.00 WIB, sebisa mungkin saya jemput lebih awal. Babak pertama kami habiskan di kantor Bapak dengan televisi 21 inch yang kadang lebih banyak semutnya ketimbang suporter di stadion. Jeda antar babak kami pulang. Laga dilanjutkan di rumah.

Kebiasaan ini berlangsung sampai Bapak meninggal.

Sebenarnya kami juga menonton sepakbola di stadion. Jika sempat dan ada laga Persipon Pontianak, kami pasti duduk di tribun Stadion Sultan Syarif Abdurrahman. Tapi jumlah pertandingan itu bisa dihitung jari. Persipon sempat tampil di Divisi Utama. Kebetulan saya bertugas meliput laga-laga tersebut sejak akhir April 2017. Namun saat itu Bapak sudah tiada. Entah kenapa saya merasa pertandingan itu biasa.

Sepeninggalan Bapak, saya tak pernah tahan menonton sepakbola barang 15 menit. Berada di depan televisi pun rasanya sulit. Selain kegemaran kami goblokin wasit, saya selalu ingat dengan komentar-komentar Bapak yang kadang sok tahu. Mulai dari posisi pemain, klub yang dibela, sampai nama mereka. Memang di Liga Indonesia seorang pemain lumrah pindah tim setahun sekali. Soal tukar posisi pun sama. Tapi kengototan Bapak yang tak bisa bikin lupa. Dan seringnya, Bapak akan balik bertanya dengan muka tanpa dosa, “oh, iye ke?”

Kami pernah menghabiskan lima belas menit babak pertama pertandingan Arema dengan cuma-cuma, lantaran Bapak bersikeras Cristian Gonzales bermain untuk Persib Bandung. Padahal, saat itu tahun 2014 dan El Loco merumput di Maung Bandung tahun 2009–2010.

Bicara Gonzales, dia juga salah satu pemain kesukaan Bapak di timnas Indonesia. Tapi jika tidak mencetak gol di paruh pertama, pasti dibilang terlalu tua untuk masuk skuad Garuda. Untuk posisi penjaga gawang, pilihannya Kurnia Meiga. Namun sejak ada Awan Setho Raharjo di U-19, nama pemain ini lebih sering disebut. Alasannya sepele. Wajah kiper Bhayangkara FC ini mirip tetangga kami, Paman Kaput.

Laku-laku itu tak berhenti di situ. Bapak sering sungut kalau pertandingan tak kunjung mulai. Dari komentator yang kebanyakan omong, sampai iklan yang tak kunjung selesai, habis diomeli. Apalagi jika dirasanya jeda antar babak terlalu lama.

Suara-suara macam itu yang tidak ada lagi sekarang. Dulu saya sempat merasa terganggu, tapi kini malah rindu.

Sejatinya, jika dibandingkan, saya lebih anteng ketimbang Bapak untuk urusan nonton bola. Saya menerima apa adanya gambar di televisi. Ada semut-semut sedikit tak jadi soal, asal masih bisa dibedakan mana tim A, mana tim B. Kalau Bapak, lebih nyaman gambar jernih. Mungkin terdengar seperti anak durhaka, tapi memang lebih sering Bapak yang keluar untuk putar antena.

Potongan adegan itu terus hadir. Sialnya, kita tak bisa melawan takdir.

Mungkin ada masa-masa saya merasa Bapak sok tahu. Tapi saat ini Bapak pasti tahu, selepas kepergiannya laga-laga sepakbola di layar kaca tak lagi jadi idola. Teriakan berubah jadi jerit kerinduan. Tawa dan suara-suara semangat itu suram menyedihkan. Waktu memang tidak bisa diulang, tapi kenangan lebih sering buat air mata menggenang. Sakitnya lebih dari Indonesia yang berulang kali gagal di laga final.

Liga 1 2018 akan mulai 23 Maret mendatang. Mungkin Bapak akan menontonnya di surga. Saya hanya bisa menemani dengan Al-Fatihah.


Penulis berdomisili di Pontianak, Kalimantan Barat. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @balasaJr.

Komentar