Kevin-Prince: Manusia, Manusiawi

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kevin-Prince: Manusia, Manusiawi

Karier Kevin-Prince Boateng sebagai pemain AC Milan baik-baik saja sampai timnya bertandang ke Stadio Carlo Speroni di Busto Arsizio pada Kamis, 3 Januari 2013. Milan menjalani pertandingan persahabatan melawan Aurora Pro Patria 1919, klub divisi keempat. Kandang Aurora Pro Patria kecil. Interaksi antara pemain dan suporter bisa seintim saling menatap mata satu sama lain.

Dan benar itu yang terjadi. Mata beberapa pendukung Pro Patria terkunci tatapan Boateng saat sang pemain menghardik mereka.

Kejadiannya pada menit ke-26. Boateng yang sedang menggiring bola berhenti seketika. Ia memungut bola, membalik badan, dan menendang bola ke tribun. Sasarannya: para pendukung Pro Patria yang menirukan suara monyet saat ia menguasai bola.

Wasit menghentikan laga untuk sementara. Para pemain Milan berusaha menenangkan Boateng. Para pemain Pro Patria berusaha berbicara kepadanya -- Dario Alberto Polverini adalah yang paling gigih. Namun tak peduli apa yang dilakukan mereka semua, Boateng tetap mengambil sikap. Ia memilih untuk meninggalkan lapangan.


“Aku bisa mendengar suara monyet dari tribun dan itu terus terjadi selama kurang-lebih 25 menit,” ujar Boateng berkisah saat diwawancarai oleh CNN pada pertengahan Maret 2013. “Setiap aku memegang bola aku bisa mendengar suara-suara. Aku bilang ke diri sendiri, di lingkungan seperti ini, di situasi seperti ini, aku tidak lagi mau bermain sepakbola.

“Aku masuk ke ruang ganti dan aku yang pertama, dan melihat satu [rekan], lalu yang kedua, dan kemudian seluruh tim masuk. Aku sangat terkejut dan kemudian merasa sangat bangga. Aku berterima kasih kepada mereka semua karena mengikutiku.”

Para pemain Milan kemudian menaiki bus tim dan pulang ke markas latihan. Begitu mereka tiba, Boateng mengajak rekan-rekannya berlatih. Marahnya masih terasa. Berlari adalah penawarnya.

FIFA Tolol

Pernyataan sikap Boateng memicu reaksi dari seluruh dunia. Pimpinan Federasi Sepakbola Italia, Direktur Eksekutif FARE (jaringan anti-rasisme), surat kabar, pemain-pemain ternama, dan masih buka suara dan ikut mengutuk diskriminasi yang menimpa Boateng. Sewajarnya demikian. Yang tolol, Sepp Blatter ikut berbicara.

“Meninggalkan lapangan? Tidak. Saya rasa bukan itu solusinya,” ujar Blatter, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden FIFA, di sela-sela kegiatannya di Timur Tengah, sebagaimana dikutip dari The National, surat kabar Uni Emirat Arab.

“Tapi Federasi Sepakbola Italia belum memberi FIFA laporan mendetail tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya rasa kita tidak bisa menghindar, karena jika begitu tim harus membatalkan pertandingan. Isu ini adalah persoalan yang sangat sensitif, namun saya ulangi lagi, tidak ada toleransi sama sekali untuk rasisme di stadion, kita harus menentang itu.”

Pernyataan Blatter menjijikkan tapi tidak mengejutkan. Moral Blatter, kita ketahui bersama, memang pantas dipertanyakan. Aturan FIFA memang menyatakan hanya wasit yang boleh menentukan berlanjut atau berhentinya pertandingan, namun reaksi Boateng sangat manusiawi.

Juga adalah benar FIFA memiliki pernyataan sikap terhadap rasisme dan segala bentuk diskriminasi. Namun jargon FIFA hanya omong kosong besar jika dibandingkan dengan tindakan Boateng.

Masih pada 2013, setelah kejadian yang menimpa Boateng memicu reaksi berkepanjangan, Blatter membentuk satgas anti-rasisme FIFA -- nama resminya FIFA Task Force Against Racism and Discrimination. Boateng diangkat menjadi duta pertama satgas tersebut, sementara Jeffrey Webb ditunjuk menjadi kepala satgas.

Pada Minggu, 25 September 2016, FIFA membubarkan satgas tersebut lewat surat, dengan klaim “telah sepenuhnya menyelesaikan misi sementaranya” -- ketololan lain, yang sama-sama menjijikkan dan sama-sama tak mengejutkan.

“Saya harap saya bisa mengatakan bahwa saya terkejut dengan keputusan ini, namun sayangnya tidak,” ujar Osasu Obayiuwana, salah satu anggota satgas, sebagaimana dikutip dari AP. “Masalah rasisme di sepakbola masih membara, sangat serius, dan aktuil, dan membutuhkan perhatian terus-menerus.

“Saya pribadi merasa masih ada banyak pekerjaan serius yang harus diselesaikan oleh satgas ini -- Piala Dunia 2018 di Rusia salah satunya. Namun jelas administrasi FIFA berpendapat lain.”

Ketidakseriusan FIFA membenahi masalah rasisme di sepakbola semakin jelas terbongkar setelah Obayiuwana, dalam kesempatan yang sama, mengungkap bahwa selama tiga tahun satgas tersebut berjalan, tidak sekali pun Webb menggelar rapat kerja.

Yang lebih kacau lagi: tak ada penghormatan kepada Boateng dalam pembubaran satgas. Boateng selaku duta satgas tersebut bertugas menyiapkan laporan dan membantu menyusun rencana tindakan. Namun ketika satgas dibubarkan, tak ada telepon atau pesan dari FIFA. Tidak ada pihak FIFA yang berbicara kepada Boateng, yang merasa bahwa pekerjaan melawan rasisme tak akan pernah selesai.

“‘Kami sudah mencapai apa yang ingin kami capai’,” kata Boateng menirukan pengumuman yang tidak ditujukan kepadanya saat diwawancarai Sid Lowe dari The Guardian pada awal 2017. “Aku tidak tahu apa maksudnya, namun jelas-jelas kami (satgas) tidak melawan rasisme sesuai bayanganku. Kami punya banyak gagasan namun tidak mengubah apa pun. Hanya mengatakan tolak rasisme dalam iklan tidak berpengaruh: itu bagus, tapi kita hanya melihatnya di Liga Champions.

“Dan sekarang mereka mencopotku. Aku rasa karena aku di Las Palmas sekarang, tidak bermain di Liga Champions, namun ini pesan tentang rasisme, bukan Liga Champions. Tentu ada pemain-pemain besar seperti [Zlatan] Ibrahimovic, Neymar, [Lionel] Messi, [Cristiano] Ronaldo karena mereka memiliki jangkauan namun apa yang mereka lakukan tentang rasisme? Lucu -- aku satu-satunya pemain yang berpidato di PBB dan mereka mencopotku.”

Pidato di Jenewa

Jenewa, 21 Maret 2013. Memenuhi undangan PBB dalam rangka International Day for the Elimination of Racial Discrimination, Boateng berpidato didampingi Navi Pillay, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Perasaannya campur aduk saat itu. Ia bangga tetapu juga merasa terkoyak karena harus menceritakan hal yang menyakitkan.

Boateng di PBB. Sumber: tz.de

Boateng -- yang menguasai banyak bahasa dan pandai mengutarakan pikiran -- sempat merasa kesulitan bicara. Namun itu hanya sesaat. Ia memulai pidatonya dengan bercerita tentang insiden di pertandingan melawan Pro Patria, lengkap dengan video kejadian. Kemudian:

“Hadirin yang terhormat, kita berada di tahun 2013 dan rasisme masih bersama kita, dan masih menjadi masalah. Rasisme tidak bisa hanya menjadi argumen untuk saluran sejarah atau sesuatu yang tempatnya di masa lalu atau sesuatu yang hanya terjadi di negara lain. Rasisme itu nyata, rasisme ada di sini dan saat ini.

“Tidak ada vaksin untuk melawan rasisme dan tidak ada antibiotik untuknya. Rasisme adalah virus berbahaya dan menular, yang diperkuat oleh pengabaian dan kelambanan.

“Ketika saya bermain untuk Ghana, saya belajar untuk melawan malaria. Vaksin sederhana tidak cukup. Kita juga perlu mengeringkan area tempat nyamuknya berkembang biak. Saya rasa rasisme dan malaria memiliki banyak kesamaan.

“Stadion-stadion dapat menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dengan warna kulit berbeda berkumpul, atau dapat pula dilihat sebagai genangan tempat orang-orang sehat terjangkit rasisme.

“Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi di hadapan kita. Stadion-stadion sepakbola, seperti banyak tempat lain, penuh oleh orang-orang muda. Jika kita tidak melawan genangannya, banyak orang yang hari ini sehat dapat terjangkit oleh salah satu penyakit paling berbahaya saat ini.

“Banyak olahragawan seperti saya dan rekan-rekan saya, seniman dan musisi, semuanya memiliki kesempatan unik untuk didengar. Kami punya kemungkinan untuk menjangkau tempat yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh pidato politik.

“Sejarah menunjukkan betapa pentingnya kontribusi atlet ternama. Dapat saya katakan, fakta bahwa warna kulit Presiden Amerika sama dengan warna kulit saya, dipengaruhi tidak hanya oleh Martin Luther King, tetapi juga oleh Muhammad Ali.”

Harapan Sederhana Seorang Ayah

San Siro, 12 Mei 2013. Milan menjamu AS Roma dalam pertandingan penting. Menang berarti aman di peringkat ketiga hingga musim berakhir. Kurang dari tiga poin berarti masih harus berjuang di laga penutup, tandang melawan Siena. Para pendukung Roma mengintimidasi lawan. Sebagian kecil dari mereka kelewat batas.

Para pembuat onar adalah minoritas di hari itu namun mereka cukup jelas terdengar, pertama kali di pertengahan babak pertama. Pengeras suara stadion memperingkatkan bahwa jika tindakan diskriminatif terhadap pemain kulit hitam terus berlanjut, pertandingan akan dihentikan. Keonaran mereda sementara. Kemudian berlanjut. Pengeras suara kembali memberi peringatan yang sama.

Mario Balotelli tidak tahan lagi. Ia berjalan menghampiri tribun tempat suara-suara monyet berasal dan menaruh telunjuknya di bibir. Wasit Gianluca Rocchi menghentikan pertandingan. Francesco Totti meminta para pembuat onar bersikap baik. Pertandingan berlanjut setelah 97 detik terhenti. Namun dari saat itu hingga laga berakhir, suara-suara monyet masih timbul-tenggelam.

Pertandingan berakhir tanpa gol. Milan menghadapi pekan penutup sebagai laga penentuan. Mereka menang dua gol tanpa balas pada akhirnya, dan lolos ke play-off Liga Champions 2013/14. Boateng bertahan dan membantu Milan menyingkirkan PSV, namun pindah ke FC Schalke 04 beberapa hari setelahnya.

Dalam pernyataan publik, Boateng yang memainkan peran penting di Milan mengatakan ia pulang ke Jerman karena alasan olahraga saja. Pernyataan Peter Peters (chief financial officer Schalke) kepada SpotBildPlus, walau demikian, bertentangan: “Karena insiden rasis, Boateng ingin meninggalkan Italia. Ia menjalin kesepakatan dengan presiden Silvio Berlusconi bahwa ia boleh meninggalkan AC Milan jika mereka lolos ke fase grup Liga Champions.”

Italia sangat “putih” dan kota-kota di sana berusia lebih tua dari negara. Perjuangan melawan diskriminasi di Italia, tidak bisa tidak, sangat berat.

Boateng sempat kembali membela Milan setelah kontraknya di Schalke habis pada Desember 2015. Namun kembalinya Boateng ke Milan tak lama. Pada Agustus 2016, ia pindah ke Las Palmas. Sejak Agustus 2017, Boateng kembali tinggal di Jerman sebagai pemain Eintracht Frankfurt.

Boateng dan piala penghargaan Krone 2017. Sumber: eintracht.de

Belum lagi setengah tahun di Jerman, tepatnya pada Desember 2017, Boateng diganjar penghargaan. Stasiun radio 1Live menganugerahkan penghargaan Krone 2017 kepada Boateng -- kali pertama Krone diberikan kepada pesepakbola -- untuk perlawanannya yang terus-menerus terhadap rasisme.

Seperti undangan PBB dan tugas sebagai duta satgas FIFA, penghargaan Krone 2017 tidak mengubah pendapat Boateng bahwa perlawanan terhadap rasisme masih dan harus terus berlanjut hingga rasisme benar-benar musnah dari muka bumi.

“Aku menangani masalah ini,” kata Boateng kepada CNN pada pertengahan tahun 2013, “karena aku ingin putraku tumbuh di tempat baik dan bukan di mana ia harus menghadapi rasisme.”

Komentar