Derbi Sporting, Kebencian yang Tak Pernah Memicu Peperangan

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Derbi Sporting, Kebencian yang Tak Pernah Memicu Peperangan

Selama lebih dari 100 tahun, publik sepakbola Lisbon terbagi ke dalam dua warna yang saling membenci satu sama lain: merah dan hijau. Merah merupakan ciri para pembela Sport Lisboa e Benfica; hijau warna kebesaran partisan Sporting Clube de Portugal. Perbedaan kelas menjadi pemantik yang menyulut api kebencian antara Benfica dan Sporting.

Benfica merupakan kesebelasan yang lebih pro rakyat dan memiliki basis pendukung yang besar di Portugal. Benfica didirikan pada 1904 oleh sekelompok pelajar yang mendanai pembentukan klub tersebut secara mandiri. Di tahun-tahun awal pembentukannya, Benfica kerap mengalami krisis keuangan. Hal tersebut memaksa para pemilik klub berjuang mencari tambahan uang untuk memberi penghidupan yang layak bagi para pemainnya.

Sementara itu Sporting didirikan seorang aristokrat muda bernama Jose de Alvalede. Melalui bantuan dana dari kakeknya, Visconde de Alvalade, Jose pun pada 1906 mendirikan Sporting dengan segala kemewahan yang dimiliki. Jose yang merupakan seorang Viscount (salah satu gelar bangsawan Eropa) mendirikan Sporting dengan cita-cita yang mengawang tinggi. Ia, ingin menjadikan Sporting sebagai kesebelasan hebat dengan nama besar. Hingga cukup masuk akal bila keluarga Alvalede tak segan menggelontorkan dana melimpah untuk pembentukan klub tersebut.

"Sporting adalah klub yang lebih elitis, dan mereka berjalan dengan cara yang sangat khusus. Sementara Benfica adalah klub terbesar di Portugal, mereka lebih mencirikan sebagai `klub rakyat` dengan basis penggemar yang besar, dan karena itu harapan mereka selalu lebih menuntut," kata Joao Pinto, pesepakbola yang pernah menjadi bagian dari kedua kesebelasan tersebut.

Terbentuknya Sporting dua tahun setelah kelahiran Benfica sebenarnya belum menimbulkan percik-percik kebencian antara kedua kesebelasan. Pada 1 Desember 1907, saat Sporting dan Benfica bentrok dalam satu pertandingan, api kebencian antara kedua kesebelasan mulai tersulut. Percikan yang menyulutnya adalah ulah Sporting yang mendatangkan delapan pemain Benfica sebelum derbi Lisbon dipertandingkan untuk kali pertama.

Delapan pemain Benfica yang didatangkan Sporting disebut sebagai pemain andalan Benfica kala itu. Melalui kekuatan finansial yang dimiliki, delapan pemain tersebut diminta bergabung dengan iming-iming gaji besar dan fasilitas yang lebih layak. Tawaran tersebut sulit ditolak, hingga kedelapan pemain tersebut pun memutuskan pindah ke Sporting. Benfica meradang, mereka menganggap bahwa Sporting telah membajak delapan pemain mereka.

Tidak hanya itu, perbedaan kelas antara Benfica dan Sporting pun terlihat saat pertandingan berlangsung. Bermain di bawah guyuran hujan membuat permukaan lapangan menjadi becek dan seragam kedua kesebelasan kotor dipenuhi lumpur. Saat jeda menuju babak kedua, para pemain Sporting mengganti seragam mereka yang kotor. Sementara itu Benfica tetap melanjutkan pertandingan yang berkesudahan dengan skor 2-1 untuk kemenangan Sporting itu dengan seragam yang dipenuhi lumpur.

Kebencian yang Tak Menyulut Peperangan

Penghinaan Sporting kepada Benfica lebih parah terjadi pada 18 Juli 1911. Saat itu Benfica dijadwalkan bertandang ke markas Sporting. Namun para pemain Sporting menolak kedatangan Benfica. Mereka menyebut para penggawa Benfica tak layak tampil di stadion mereka.

Meski di awal kelahirannya Benfica lebih banyak menderita daripada Sporting, akan tetapi soal prestasi klub berjuluk Águias itu jauh lebih unggul ketimbang rival sekotanya. Dari medio 1930-an hingga saat ini, Benfica telah memenangi gelar juara kompetisi utama Portugal sebanyak 36 kali, sementara Sporting baru 18 kali. Kemudian di kancah Eropa, Benfica memenangi gelar Europa Champions Cup (Liga Champions) sebanyak dua kali. Prestasi terbaik Sporting di Eropa adalah satu gelar di ajang European Cup Winner’s Cup.

Rivalitas antara Benfica dan Sporting telah berlangsung selama ratusan tahun lamanya. Percikan kebencian secara turun-temurun melekat pada seluruh elemen tim, tak terkecuali suporter. Meski begitu pendukung dari kedua kesebelasan jarang terlibat bentrokan di luar lapangan.

Sebelum pertandingan dimulai, suporter Sporting dan Benfica lebih tertarik menjalani ritual pra pertandingan masing-masing dengan makan sandwich babi dan menyeruput bir botol kecil, daripada menyulut emosi satu sama lain sebelum pertandingan derbi berlangsung. Kondisi tersebut setidaknya telah menjadi tradisi pra pertandingan yang dijaga selama ratusan tahun lamanya.

Tapi, bukan berarti rivalitas antara Benfica dan Sporting bersih dari yang namanya tragedi. Pada 1974, di pertandingan final Piala Portugal, salah seorang oknum Ultras Benfica merayakan gol yang dicetak tim kebanggaannya dengan berlebihan. Ia menyalakan petasan roket yang tepat mengenai dada salah seorang penggemar Sporting, Rui Mendes. Seketika Rui meninggal dunia, dan para pendukung Sporting menumpahkan kemarahannya dengan menyerukan teriakan “ pembunuh, pembunuh, pembunuh” kepada sekelompok Ultras Benfica. Meski telah terjadi sebuah insiden yang mengakibatkan tewasnya seorang suporter Sporting, pertandingan tetap dilanjutkan dan berakhir dengan skor 3-1 untuk kemenangan Benfica.

Seusai laga kedua kelompok suporter melakukan aksi berkabung. Mereka menyatu seolah tak mengenal pemisah bernama permusuhan. Selang beberapa hari setelah kejadian, kepolisian Portugal menangkap Hugo Inacio, pelaku pelempar petasan roket yang menewaskan Luis. Hugo diganjar hukuman empat tahun penjara.

Salah satu jurnalis terkemuka Portugal, Antonio Lobo Antunes, menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, kelompok suporter Sporting dan Benfica selalu berusaha keras untuk menjaga perdamaian, meski tak dimungkiri rasa benci menyelimuti kedua kelompok tersebut. Terutama para pendukung Benfica yang disebut Antunes lebih vokal dalam menyuarakan perdamaian daripada menyebabkan kekerasan:

"Saya melayani dalam perang dengan Angola pada tahun 1960an dan saya melihat beberapa hal yang luar biasa. Saat Benfica bermain, kami menyalakan radio, mengarahkan speaker ke arah hutan, dan kami tidak pernah diserang. Bahkan MPLA [partai Angola berjuang untuk kemerdekaan] mendukung Benfica," tukasnya.

Komentar