Suka dan Duka yang Membentuk Ronaldo

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Suka dan Duka yang Membentuk Ronaldo

Saat ini, siapa yang tak mengenal nama Cristiano Ronaldo? Ia adalah selebriti dari lapangan hijau. Kekayaannya tak terbatas. Prestasinya segudang. Kariernya mengilap. Soal itu, laman Wikipedia sampai membuat “Daftar Pencapaian Karier Cristiano Ronaldo”.

Meski begitu, deretan prestasi dan gelimangan hartanya saat ini tak terbayang oleh Ronaldo sebelumnya. Karena jauh sebelum ini, jauh sebelum ia mengenal sepakbola, ia adalah seseorang yang lekat dengan kemiskinan, bahkan dekat dengan kematian.

***

Percaya atau tidak, kelahiran Ronaldo sebenarnya tak direncanakan oleh kedua orangtuanya. Saat itu, kedua orang tuanya sudah memiliki tiga anak. Kemiskinan membuat mereka kerepotan mengurus ketiga anaknya tersebut. Apalagi ibu Ronaldo, Maria Dolores dos Santos, hanya bekerja sebagai tukang masak sementara sang ayah, Jose Dinis Aveiro, bekerja sebagai tukang kebun.

Keluarga Aveiro hidup di Kota Madeira, Portugal. Letaknya 860 kilometer dari Lisbon. Meski merupakan salah satu kawasan favorit turis karena keindahan laut dan gunungnya, tapi keluarga Aveiro hidup di daerah pinggiran, jauh dari kemewahan. Badai sering merusak rumah mereka.

Dolores dan Dinis sebenarnya sempat memiliki bungalow kecil. Namun karena kepentingan pemerintah setempat, rumah tersebut dihancurkan sebagai upaya mempercantik Pulau Madeira. Untuk menghidupi kedua anaknya saat itu, sama seperti ribuan keluarga lain yang juga menjadi korban, Maria Dolores dan Dinis diungsikan ke Prancis selama tiga bulan. Di Prancis, Dolores memanfaatkan kemampuannya dalam memasak untuk mendapatkan penghasilan sebagai pembantu rumah tangga.

Dolores mengandung Ronaldo sembilan bulan setelah kelahiran anak ketiganya, Katia. Ini artinya, ketika Dolores dan Dinis masih harus mengurus Katia yang masih bayi, Ronaldo yang merupakan anak keempat tersebut sudah berada dalam kandungan ibunya. Ronaldo kemudian lahir pada 5 Februari 1985.

Saking tidak siapnya Dolores dan Dinis menyambut kelahiran Ronaldo, Dolores pernah berencana menggugurkan Ronaldo. Bahkan mereka sempat tak memiliki ide untuk menamai Ronaldo. Dolores dan Dinis pun setuju-setuju saja ketika kakak perempuan Dolores mengusulkan jika anak laki-lakinya dinamai Cristiano.

Sementara itu, nama Ronaldo sendiri diambil dari Presiden Amerika Serikat saat itu, Ronald Reagan, yang merupakan sosok favorit Dinis. Dengan tambahan nama keluarga Dolores dan Dinis, akhirnya Ronaldo dinamai Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro.

“Kakak perempuan saya, yang bekerja di panti asuhan, berkata jika anak saya laki-laki maka sebaiknya dinamai Cristiano,” kata Dolores. “Saya pikir itu pilihan yang bagus. Kemudian saya dan suami saya memilih nama Ronaldo, dari Ronald Reagan.”

Saat Ronaldo lahir, sang ayah sebenarnya memiliki dua pekerjaan. Saat itu selain menjadi tukang kebun halaman kota, ia juga bekerja sampingan sebagai kit man di salah satu kesebelasan amatir Portugal, CF Andorinha. Sang ayah tak memiliki bakat bermain sepakbola. Keahlian ayahnya saat itu mungkin hanya mengumpulkan dan membersihkan bola. Bahkan tak ada satupun dari keluarga Ronaldo yang menularkan kemampuan bermain sepakbola pada pemain yang kini akrab disapa CR7 ini.

Ronaldo baru mengenal sepakbola pada usia 2-3 tahun. Ketika ia mulai tumbuh, ia hidup dengan sepakbola jalanan di Lombardo Street. Ronaldo begitu jatuh cinta dengan sepakbola saat itu, sampai-sampai ia tidur pun sambil memeluk bola. Jadi ingat Captain Tsubasa.

“Pada satu Hari Natal, saya membelikannya mobil remote control,” kata Fernao Sousa, wali baptis Ronaldo, seperti yang tertulis dalam otobiografi Ronaldo, Ronaldo: The Obsession for Perfection. “Tapi ternyata ia [Ronaldo] lebih menyukai bola miliknya. Ia selalu tertidur dengan bola dalam pelukannya. Bola tersebut selalu berada di antara lengannya, di manapun ia berada bola selalu bersamanya.”

Sebagaimana anak-anak, Ronaldo tak memikirkan kondisi keluarganya yang serba kekurangan saat itu. Waktunya pun lebih sering dihabiskan dengan bermain sepakbola. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah bermain sepakbola. Ayahnya pun memasukkan Ronaldo ke tempat di mana ia bekerja sebagai kit man, Adorinha, pada usia tujuh tahun. Setelah dua tahun di sana, Ronaldo pindah ke kesebelasan Nacional.

Namun di Nacional, Ronaldo seringkali mendapatkan bully-an dari rekan-rekannya karena aksen Madeira-nya. Akibat perlakuan ini, Ronaldo pun mulai berubah menjadi seorang anak yang temperamental. Meskipun begitu, tak pelak juga ia kerap menangis saat ketika di-bully dan langsung meminta pada para pelatihnya untuk menelpon sang ibu agar segera dijemput pulang. Ronaldo kecil memang dikenal sebagai anak yang mudah menangis, terlebih jika timnya menelan kekalahan.

Sikapnya tersebut berpengaruh pada kehidupan sekolah Ronaldo. Meski ia dikenal karena kemampuan bermain sepakbolanya yang menonjol, namun ia tak memiliki masa-masa yang bagus selama di sekolah. Bahkan lebih buruk, Ronaldo dikeluarkan dari sekolahnya pada umur 14 tahun setelah melempar gurunya dengan kursi.

“Saya cukup dikenal di sekolah, tapi saya tidak begitu mengenal banyak teman. Saya tidak tertarik dengan sekolah,” aku Ronaldo pada Mirror di tahun 2011. “Saya dikeluarkan setelah melempar kursi pada guru saya. Ia tidak menghargai saya.”

Dolores pun sempat kebingungan melihat sikap putra bungsunya seperti itu. Namun akhirnya Dolores memutuskan bahwa Ronaldo difokuskan untuk melanjutkan karier di sepakbola saja. Terlebih saat itu ia sudah bergabung dengan akademi Sporting Lisbon. Ronaldo bergabung dengan Lisbon setelah menjalani trial selama tiga hari.

Setahun kemudian, semuanya justru berbalik memburuk bagi Ronaldo. Ia divonis mengidap penyakit jantung. Jantung Ronaldo memiliki kelainan karena sering berdetak sangat cepat. Karena penyakitnya ini, karier sepakbola Ronaldo bisa berakhir lebih dini.

“Jantungnya berdetak dengan sangat cepat padahal ia tidak berlari,” kata Dolores pada 2009 seperti yang dikutip Daily Mail. “Penyakit ini diketahui setelah pemeriksaan menggunakan laser. Saat itu saya sempat khawatir karena ada kemungkinan ia akan kehilangan kesempatan untuk bermain sepakbola lagi.”

Namun, saat itu Ronaldo tak terlalu memikirkan penyakitnya. Ia pun menginginkan upaya percepatan penyembuhannya. Ia pun bersedia melakukan operasi jantung meski taruhannya adalah nyawanya sendiri. Ronaldo hanya ingin segera memastikan bahwa apakah ia bisa melanjutkan kariernya lagi atau tidak.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Komentar