Penggabungan Galatama dan Perserikatan Penyebab Sepakbola Indonesia Tak Berprestasi?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Penggabungan Galatama dan Perserikatan Penyebab Sepakbola Indonesia Tak Berprestasi?

Oleh: Achmad Hasmy

Sejarah telah mencatat perjalanan sepakbola Indonesia dari masa ke masa berikut drama-drama legendaris yang tak jarang membawa jalan sepakbola kita berubah selamanya. Bangsa Indonesia yang besar dan majemuk ini memiliki sejarah yang panjang bagaimana sepakbola itu bergulir sepanjang tahun.

Dimulai dari era penjajah yang dipelopori oleh Soeratin yang legendaris itu, kemudian munculnya era perserikatan yang juga legendaris dengan bond-bond ternama seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persib Bandung hingga bond-bond dari ujung Indonesia seperti Persiraja Banda Aceh, Persipura Jayapura, PSA Ambon dan PSKK Kupang. Kemudian muncul Galatama dengan jawara jawara Pelita Jaya, Niac Mitra, Kramayuda Tiga Berlian hingga alumni-alumninya yang bertahan eksis hingga hari ini seperti Semen Padang FC dan Arema Malang, sebagai penyaluran pemikiran liga semi-profesional pendamping liga amatir Perserikatan.

Momen dramatis yang pernah dialami dunia sepakbola Indonesia adalah saat dua kutub kompetisi yaitu Perserikatan dan Galatama digabung. Alasan yang sering dikemukakan, Perserikatan memiliki fanatisme luar biasa dan Galatama memiliki profesionalisme walaupun belum utuh. Perserikatan tidak punya profesionalisme karena mereka statusnya amatir, sementara Galatama tidak punya fanatisme karena mereka berasal dari pengusaha. Kedua kutub yang berbeda namun luar biasa ini akhirnya digabung dengan konsep Ligina, Liga Indonesia.

Ternyata penggabungan ini melahirkan pro dan kontra yang luar biasa. PSSI di bawah ketum Azwar Anas bergeming, tetap melanjutkan penggabungan yang terlihat masih belum matang ini. Tim – tim perserikatan yang awalnya memang terbentuk sebagai perkumpulan klub – klub daerah dipaksa menjadi klub profesional mengikuti Galatama. Rumor yang beredar di balik penggabungan ini, Galatama selalu sepi penonton yang berimbas pada cash flow klub-klub persertanya yang compang-camping karena pemasukan tiket sepi. Sementara Perserikatan selalu ramai penuh seisi stadion karena yang mereka tonton adalah kesebelasan asal daerah mereka unjuk gigi melawan daerah lain. Kebanggaan besar bagi mereka apabila perserikatan daerah mereka berhasil menang atau bahkan menjadi kampiun kompetisi, menandakan betapa superiornya sepakbola di daerah mereka.

Fakta inilah yang menjadi alasan yang beredar saat itu di balik penggabungan dua kutub ini. Celakanya rantai dampak yang disebabkan oleh penggabungan ini tidaklah sederhana, tapi katastropik menyebar meluas ke semua aspek.

Tim – tim perserikatan yang selama ini menjadi peserta kompetisi perserikatan bukanlah sembarang tim. Mereka adalah produk dari kompetisi internal yang ada di daerah masing – masing, kompetisi yang selalu diikuti oleh klub-klub daerah anggota perserikatan yang bersangkutan. Singkatnya, di setiap daerah selalu berputar liga-liga kecil miniatur dari liga nasional, ada sistem divisi, ada sistem pemeringkatan bahkan ada sistem pembinaan. Pemain – pemain terbaik dari Liga Persija, Liga Persib, Liga Persebaya, Liga Persiraja, Liga Persipura, Liga PSA, Liga PSKK dan lain-lain itulah yang menjadi “tim nasional” daerah masing – masing untuk mengikuti kejuaraan nasional tingkat PSSI Pusat.

Kompetisi internal tiap daerah ini berputar tiap tahun, menjadi siklus besar yang menjadi irama sangat besar di seantero Indonesia hingga berakhir pada juara nasional Liga Perserikatan. Kompetisi ini juga menjadi ajang pembinaan daerah berikut klub-klub yang ada di daerah masing-masing untuk menjadi matang. Pembinaan alami yang terbentuk sendiri semenjak zaman penjajahan yang terbukti membawa nama Indonesia berkibar menjadi Macan Asia.

Bagaimana dengan Galatama? Sebagai kawan dari Perserikatan, kisah perjalanan Galatama juga diwarnai oleh drama dan nama harum. Terlahir sebagai keinginan PSSI untuk liga profesional, Galatama yang dijuluki Universitas Sepakbola Indonesia itu bahkan menjadi sokoguru Liga Jepang dalam membangun sepakbola. Jawara Asia itu terang – terangan menjadikan Galatama Indonesia sebagai contoh pembentukan liga profesional yang belum pernah ada di negeri mereka, walaupun sempat terjadi pro-kontra mengenai hal ini.

Tidak cukup sampai di situ, klub klub peserta Liga Galatama sukses membawa nama Indonesia berkibar sangat tinggi. Di ajang Liga Champions Asia, klub Kramayudha Tiga Berlian sukses menjadi juara tiga kompetisi akbar benua Asia tersebut. Pelita Jaya, Pupuk Kaltim dan Semen Padang juga demikian. Dua peserta pertama Liga Galatama tersebut melaju jauh ke babak empat besar Liga Champions Asia, sementara Semen Padang pernah mengalahkan tim elit Yokohama Marinos dari Jepang dengan skor 2-1. Banyak pendapat dari para penggawa sepakbola masa itu yang merasa dan mengakui bahwa kualitas Perserikatan dan Galatama sangat jauh di atas Liga Indonesia saat ini.

Drama keputusan PSSI untuk menggabungkan dua ujung tombak sepakbola Indonesia ini telah mengubah selamanya jalan sejarah timnas berikut klub dan prestasi sepakbola Indonesia. Tak hanya itu, penggabungan ini pun dianggap oleh banyak pihak sukses menghancurkan siklus pembinaan yang ada di Perserikatan dan tak juga bisa menemui tingkat profesionalitas yang pernah ada di Galatama.

Perserikatan sebagai akar pembinaan sepakbola Indonesia dipaksa menjadi klub otonom sendiri yang berbadan hukum dan lepas dari dana APBD. Hal ini sangat bertolak belakang dengan jatidiri perserikatan itu sendiri sebagai ibu dari pembinaan potensi daerah yang selama ini terjadi. Sementara Galatama sebagai pohon sepakbola Indonesia juga tak kunjung menjadi profesional sempurna dikarenakan regulasi PSSI berikut penegakannya yang sangat abu abu.

Dampak sangat fatalnya, siklus pembinaan daerah yang selama ini berlangsung terhenti seketika. Tidak pernah ada lagi pembinaan untuk klub klub lokal anggota perserikatan karena induknya dipaksa fokus jadi klub komersil. Tak pernah ada lagi kompetisi internal yang menggairahkan para putra-putra daerah untuk unjuk gigi mengeluarkan kemampuan terbaik. Mereka semua mati suri jika tak mau dibilang mati total. Pemaksaan entitas perserikatan menjadi klub menyerupai Galatama membuat segalanya berubah.

Sampai detik ini, bangsa Indonesia tak pernah menemukan formula pembinaan sebagus era Perserikatan dan tak pernah menemukan tim profesional solid seperti era Galatama. Penggabungan dua kutub sepakbola Indonesia itu nyatanya tak pernah bisa lagi mengantarkan Indonesia merajai titel Macan Asia sebagaimana sebelum penggabungan. PSSI terlihat seperti mengambil jalan pintas untuk menyelamatkan Galatama dengan mengorbankan Perserikatan.

Galatama sebelum penggabungan adalah liga yang digerogoti oleh praktik suap. Liga sokoguru di benua Asia yang dijuluki Universitas Sepakbola Indonesia tersebut tak berdaya praktik – praktik yang menghancurkan sendi profesionalitas yang pada akhirnya membuat Liga Galatama ditinggal oleh suporternya sendiri, karena mereka hanya melihat permainan sepakbola pesanan bukan sepakbola menghibur. PSSI salah mengambil jalan solusi, bukannya memusnahkan praktik nista tersebut tapi malah mengorbankan si ibu pembinaan Perserikatan. PSSI telah mencabut sendiri nyawa perserikatan dan pada akhirnya nyawa sepakbola Indonesia saat penggabungan tersebut tahun 1994.

Melihat apa yang terjadi sekarang, rasanya wajar bahkan patut dipertanyakan kembali terkait yang terjadi di dunia sepakbola Indonesia, terlebih prestasi besar masa lalu tak pernah terjadi lagi. Apakah penggabungan Perserikatan dan Galatama tahun 1994 menjadi Liga Indonesia yang eksis sampai sekarang adalah jalan yang benar bagi perkembangan sepakbola Indonesia?


Penulis adalah seorang karyawan swasta yang aktif di Twitter dengan akun @excel_boy. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar