Rhian Brewster Berani Bercerita

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Rhian Brewster Berani Bercerita

Kita tahu persoalan yang terjadi sudah sebegitu serius ketika seorang Rhian Brewster meminta diwawancarai agar dapat bercerita mengenai pengalaman yang sama sekali tidak menyenangkan.

Brewster pemuda ceria yang bermain dengan tersenyum. Ia bisa saja bercerita mengenai banyak hal menyenangkan. Pencapaian-pencapaiannya sejauh ini, misalnya: menjuarai Piala Dunia U17 2017 dan menjadi pencetak gol terbanyak di kejuaraan tersebut. Bukan itu yang diceritakannya kepada Daniel Taylor, kepala penulis sepakbola The Guardian.

Taylor, dalam artikel dari hasil wawancaranya dengan Brewster, menulis: “UEFA, secara khusus, harus memerhatikan karena ini adalah teriakan minta tolong dan terasa sangat salah bagaimana dalam satu jam, seorang pesepakbola remaja yang belum menjalani debut profesionalnya, dapat menceritakan tujuh kejadian di mana ia menjadi korban tindakan rasis atau menyaksikan hal yang sama terjadi kepada rekannya. Lima kejadian di antaranya terjadi dalam tujuh bulan terakhir. Dua terjadi ketika ia bermain untuk Inggris dan satu terjadi di final Piala Dunia di mana, terlepas dari semua kenangan dalam keberhasilan mengalahkan Spanyol U17, Brewster dapat dengan jelas mengingat salah satu rekannya dipanggil ‘monyet’ oleh seorang pemain lawan.”

Brewster mendapat dukungan penuh dari banyak pihak: Mike Gordon (co-owner Liverpool), Jürgen Klopp, Steven Gerrard, dan Troy Townsend adalah beberapa di antaranya. Townsend adalah education manager Kick It Out, organisasi anti-rasisme, anti-diskriminasi di sepakbola. Selama wawancara, Brewster ditemani oleh Alex Inglethorpe, academy director Liverpool. Terlepas dari perhatian, dukungan, dan bantuan banyak pihak, perlu kita ingat bersama bahwa menjadi korban rasisme rasanya menyakitkan; menceritakan semua yang terjadi berarti mengorek luka.

Spartak Moscow tak menaruh hormat

Tindakan rasis terbaru terjadi kepada Brewster pada 6 Desember lalu. Liverpool menjamu Spartak Moscow di Prenton Park dalam pertandingan terakhir fase grup UEFA Youth League 2017/18.

“Aku dilanggar,” ujar Brewster kepada Taylor. “Aku masih dalam posisi jatuh dan memegang bola. Salah satu pemain mereka berbicara dengan bahasa Rusia kepada wasit. Aku katakan: ‘pelanggaran, bung, apa yang kau lakukan?’ Saat itu aku masih duduk. Lalu pemain mereka menunduk di depanku, dan tepat di wajahku ia berkata: ‘Hisap kontolku, dasar nigger, dasar negro.’

“Aku melompat berdiri dan wasit datang berlari karena jelas sekali ia menyadari sesuatu telah dikatakan. Wasit berkata kepadaku dia tidak bisa melakukan apa-apa karena ia tidak mendengar apa yang dikatakan, dan ‘satu-satunya hal yang dapat aku lakukan adalah melaporkannya’. Aku bilang: ‘Kalau begitu, ayo – ayo laporkan kejadian ini.’ Ia mulai melakukan hal lain dan aku berkata: ‘Tidak, sekarang.’ Kami menghampiri wasit keempat dan melaporkannya. Aku bilang kepada Steven [Gerrard] tentang apa yang terjadi dan kami melayangkan keluhan di tempat.”

Dalam artikel Andy Hunter yang dimuat di The Guardian pada hari yang sama, disebutkan bahwa kejadian tersebut adalah kali kedua di mana Spartak dilaporkan melakukan tindakan rasis kepada pemain Liverpool dalam dua pertandingan terakhir antara kedua kesebelasan. Insiden sebelumnya terjadi pada September, saat Spartak menjamu Liverpool. Pada kesempatan tersebut, para pendukung Spartak menujukan nyanyian-nyanian dan gerakan-gerakan rasis kepada Bobby Adekanye, pemain Liverpool kelahiran Nigeria.

Spartak dinyatakan bersalah oleh UEFA namun hukumannya hanya sebatas melarang setidaknya 500 tempat duduk di tribun penonton untuk digunakan pada pertandingan kandang berikutnya. Di tempat duduk yang dilarang dipakai tersebut, UEFA memajang spanduk Equal Game, kampanye kesetaraan UEFA.

“Itu bukan hukuman, kan?” ujar Brewster kepada Taylor. “Itu bukan apa-apa, hanya tepukan di pergelangan tangan. Kursi-kursi itu memang tak terpakai. Itu sama saja dengan meminta kami mengosongkan 500 kursi di Prenton Park, di tribun yang memang kosong. Hukumannya seharusnya lebih berat – bertanding tanpa penonton.”

Terus mengeluh, terus diabaikan

Satu insiden lain terjadi saat Brewster membela tim nasional Inggris dalam pertandingan melawan Ukraina pada ajang Piala Eropa U17, di Kroasia, Mei lalu. Brewster dilanggar dan mendorong pelanggarnya. Kedua pemain terlibat adu mulut, dan pemain lawan memanggil Brewster “nigger”. Pihak FA mengajukan pengaduan resmi kepada UEFA, namun UEFA menyatakan tanpa video, mereka tak punya cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman.

Panggilan yang sama kembali ditujukan kepada Brewster pada September. Liverpool menjamu Sevilla dalam pertandingan UEFA Youth League. Seperti sebelumnya, panggilan yang bersifat merendahkan tersebut dialamatkan kepada Brewster dalam adu mulut. Brewster marah dan berniat meninggalkan lapangan. Gerrard menyadarinya dan menanyakan apa yang terjadi. Staf pelatih Liverpool melapor kepada wasit keempat. Brewster mengurungkan niatnya untuk meninggalkan lapangan. Lagi-lagi, UEFA menyatakan tak ada cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman.

Dua pekan berselang, Liverpool bertandang ke Spartak dan di sanalah Bobby Adekanye menjadi korban. Suporter Spartak menirukan suara monyet ketika Adekanye masuk menggantikan Brewster.

Pada lain kesempatan, Brewster menyaksikan Morgan Gibbs-White menjadi korban. Insiden ini terjadi pada pertandingan final Piala Dunia U17. “Saat Morgan berlari, ia (seorang pemain Spanyol) memanggilnya monyet. Saat itu tendangan gawang dan aku sedang mencari posisi. ‘Morgan,’ kataku, ‘kau mendengarnya?’ Ia menjawab: ‘Ya, ya, aku pikir hanya aku yang mendengar.’”

Pihak FA melayangkan keluhan kepada FIFA. Seperti UEFA, tak ada tindakan apa-apa dari badan tertinggi sepakbola dunia tersebut.

Dari semua kejadian yang menimpa atau disaksikan Brewster, hanya pada satu kesempatan pelaku benar-benar dihukum. Itu terjadi pada 2015, saat Liverpool menghadiri kejuaraan usia muda di Republik Ceko. Pelaku mengakui ucapannya dan dihukum tak boleh tampil hingga kejuaraan selesai. Brewster baru berusia 15 tahun saat itu, namun kejadian pertama yang menimpanya terjadi saat ia masih berusia jauh lebih muda, saat Brewster masih bermain untuk Chelsea.

“Aku sedang pemanasan dengan beberapa rekanku,” ujar Brewster. “Kami semua bukan kulit putih dan kami mendengar tiruan suara monyet. Yang melakukannya sekitar sepuluh orang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku melapor kepada pelatihku dan ia marah. Pertandingan tetap berlanjut dan ia langsung mendatangi penyelenggara untuk mengatakan apa yang terjadi dan meminta para pelaku diusir. Aku baru 12 tahun saat itu.”

Serangkaian kejadian yang berulang di tahun-tahun berikutnya tak lantas membuat Brewster menjadi terbiasa, dan ia memang tak seharusnya mewajarkan tindakan-tindakan yang salah. Brewster selalu berusaha tenang dan melakukan hal yang tepat, namun kejadian terakhir membuatnya ingin main hakim sendiri karena ia sudah kehilangan kepercayaan kepada sistem. Rekan-rekannya mencegah.

“Pada (setiap) hari kejadian, malamnya aku tak bisa berpikir tenang,” ujar Brewster. “Aku hanya ingin dibiarkan sendiri. Aku hanya ingin menyendiri dan berpikir. Esoknya, aku masih akan berpikir tentang hal itu.”

Komentar