Daniel Agger dan Konsumsi Obat yang Menghancurkan Kariernya

Backpass

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Daniel Agger dan Konsumsi Obat yang Menghancurkan Kariernya

Delapan tahun di Liverpool FC bukanlah waktu yang sebentar bagi Daniel Agger. Ia menjalani 232 pertandingan bersama Liverpool setelah hijrah dari Brondby yang dibelanya sejak berusia 19 tahun pada 2004 silam.

Agger sebenarnya hampir bergabung dengan Everton FC karena manajernya saat itu, David Moyes, sengaja datang ke Brondby untuk menemuinya. Tapi pada akhirnya transfer ke Everton batal karena pada saat itu Moyes mengurungkan niat untuk memboyong Agger.

"Dia (Moyes) bertanya pada kami, apakah dia bisa bertemu dengan orang tua saya setelah pertandingan, dan kami mengatakan tentu saja bisa," ujar Agger seperti dikutip dari The Guardian. "Per Steffensen (agen Agger) datang tapi kemudian Per menelepon mengatakan bahwa David Moyes tidak akan datang lagi. Dia (pergi) ke bandara karena dia tidak berpikir bahwa saya siap menghadapi Liga Primer," sambung Agger.

Setelah bursa transfer musim panas itu, akhirnya Agger justru bergabung dengan Liverpool pada Januari 2006. Tapi Agger lebih banyak dibelit cedera selama memperkuat Liverpool, mulai dari masalah lutut, paha, otot betis, tulang rusuk, hingga punggung. Penampilan terbanyaknya bersama Liverpool di Liga Primer Inggris cuma terjadi pada musim 2012/2013. Ia dimainkan sebanyak 35 kali yang merupakan penampilan paling banyak bersama Liverpool di sepanjang kariernya pada musim tersebut.

Tapi kesebelasan berjuluk The Reds itulah yang membuatnya menjadi pemain terbaik Denmark 2007 dan 2012. Sampai pada akhirnya ia pulang ke Brondby pada bursa transfer musim panas 2014 karena beratnya tuntutan fisik di Liverpool.



Rupanya masalah utama Agger karena tubuhnya tidak lentur dan mulai terasa berat akibat cedera punggung yang ia derita sejak 2007. Cedera itu diperburuk ketika menjalani pra musim 2008 di Thailand karena bantalan tulangnya mengalami pergeseran. Cedera punggungnya itu membuat Agger rajin mengonsumsi obat penahan nyeri atau biasa disebut anti-inflamasi. Biasanya, obat itu dipergunakan untuk mengobati rematik. Tapi menjadi fatal karena Agger mengonsumsi obat itu melebihi doses maksimum yang disarankan dokter sehingga membahayakan kesehatannya.

"Saya terlalu banyak mengonsumsi anti-inflamasi di dalam karier saya. Meskipun saya tahu bahwa itu sudah sangat cukup (dosis) dan itu menyebalkan. Tapi saya pada akhirnya menghentikannya. Saya tidak mendapatkan apapun secara pribadi. Dari perkataan ini, saya hanya bisa melakukan yang dilakukan atlet lain. Bisa jadi yang lainnya mengonsumsi satu pil atau dua lebih sedikit," ungkap Agger.

Mengonsumsi obat ini dengan dosis tinggi sering kali dilakukan Agger. Salah satunya pada laga terpenting Brondby ketika bertandang ke FC Copenhagen di Stadion Parken pada 8 Maret 2015. Seharusnya Agger tidak dimainkan Brondby menghadapi rival terbesar kesebelasannya itu. Hal itu karena pemain berposisi bek tengah itu mendapatkan cedera ringan pada pekan sebelumnya. Tapi Agger depresi dan sangat ingin bermain pada laga penting tersebut. Maka dari itu ia mengonsumsi anti-inflamasi melebihi dosis maksimal selama satu pekan sebelum pertandingan.

Dikabarkan Agger bisa menenggak enam pil setiap harinya. Padahal jumlah itu merupakan dosis untuk selama tiga hari karena maksimal adalah dua pil di setiap harinya. Efek sampingnya adalah ia sering merasa lesu setelah minum obat tersebut. Dampak lainnya adalah Agger menjadi lebih sering mengonsumsi kopi untuk menghilangkan lelah, lesu dan kantuknya, serta tentu saja cederanya terasa lebih baik.

Begitu pun pada waktu pertandingan Derby Copenhagen itu tiba. Pemain kelahiran 12 Desember 1984 itu menelan dua pil saat pagi hari. Kemudian dua pil lagi ketika sampai di tempat pertemuan skuat Brondby. Rasa lemas yang didapatkan Agger membuatnya tertidur selama 15 menit di dalam bus ketika perjalanan menuju Stadion Parken. Martin Ornskov yang merupakan rekan setimnya merupakan orang yang membangunkannya dan belum pernah melihat Agger seperti itu sebelumnya.

Meski sempat tertidur, Agger tetap merasa mengantuk sehingga ia meminum kopi dan minuman berenergi sebelum pemanasan. Di sisi lain, Agger sempat berpikir untuk menyerah tidak dimainkan walau akhirnya ia memaksakan tetap berlaga. "Saya hanya punya satu pikiran dan itu tetap di ruang ganti setelah pemanasan. Tapi kemudian saya mengambil baju dan memutuskan untuk bermain," akunya.

Tapi nyatanya Agger tidak seperti biasanya. Pembicaraannya sedikit tidak masuk akal ketika sebelum pertandingan meskipun ia terus berjuang di lapangan. Tapi visi permainannya seolah tidak selaras dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Salah satunya ketika ia mencoba untuk menyundul umpan silang lawannya yang justru mengenai lengannya sendiri.

Kemudian Agger justru tumbang pada menit 29 sehingga terpaksa harus digantikan. Selanjutnya ia dibawa ke ruangan fisioterapis dan seperti tidak ingat kejadian-kejadian di lapangan. Malam itu pun ia langsung pulang ke keluarganya dan istrinya tidak berkata apapun kepada Agger karena sudah lelah untuk mengingatkanya.

"Istri saya mengatakan berkali-kali bahwa saya harus berhenti meminum obat. Tapi perkataan itu hanya pergi ke satu telinga dan keluar dari telinga lain. Jadi ketika saya memutuskan untuk berhenti bermain, dia ikut senang karena rasa sakit yang saya alami dan konsumsi obat yang begitu banyak untuk tetap berdiri telah berakhir," beber Agger.

Memang ia selalu mempertanyakan apakah perlu meminum obat itu sepanjang kariernya. Sampai pada akhirnya Agger mulai mengurangi mengonsumsi obat itu sejak Maret 2015 dan menyadari sudah waktunya untuk berhenti.

"Tubuhku tidak bisa mengatasinya lagi. Dosis maksimum harus dimakan selama tiga hari. Tubuh bereaksi terhadap apa yang dimasukkan ke dalamnya dan itu adalah cara tubuh saya untuk mengatakan bahwa itu sudah cukup. Bila kepala tidak bisa mengatasinya, maka tubuh harus melakukannya," kata Agger.

Agger memutuskan pensiun dan mencoba berhenti total mengonsumsi anti-imflamasi pada Juni 2016. Saat itu sudah waktunya ia merasakan kecukupan secara mental dan fisik. Agger juga tidak bisa terus memaksakan tubuhnya agar bermain di dalam standar dengan ketergantungan kepada obat.

Bek tengah yang pernah menjadi wonderkid di dalam permainan Football Manager itu pun pensiun pada usia 31 tahun, usia yang sejatinya masih sangat muda bagi pensiunan sepakbola. Tapi itulah pilihannya karena tidak ingin pensiun saat kariernya sedang terpuruk-terpuruknya.

Komentar