Man City-nya Pep Sebagai Jelmaan Modern Man United-nya Ferguson

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Man City-nya Pep Sebagai Jelmaan Modern Man United-nya Ferguson

Manchester City baru saja menelan kekalahan pertamanya pada musim 2017/2018. Ya, kekalahan pertama City musim ini terjadi menjelang tengah musim, pada pertandingan ke-23 musim ini dari segala ajang. Pada 22 laga sebelumnya, City menang 21 kali dan sekali imbang.

Tapi perlu diketahui, kekalahan City dari Shakhtar Donetsk (6/12) terjadi ketika mereka tidak menurunkan skuat terbaik. Sang manajer, Pep Guardiola, hanya memainkan tiga pemain inti, yaitu Ederson Moraes, Fernandinho, dan Leroy Sane. Pemain-pemain muda seperti Tosin Adarabioyo, Phil Foden, dan Brahim Diaz juga mendapatkan kesempatan tampil. Hal ini dilakukan karena City sudah pasti jadi juara Grup F dan akan menghadapi laga penting akhir pekan nanti, melawan Manchester United.

Kekalahan City dari Shakhtar ini memang tak mengurangi superioritas City. Setidaknya bagi saya, City masih menjadi kesebelasan idaman. Saya bukan fans City (meski kita semua punya alasan untuk menjadi fans City), tapi apa yang terlihat dari skuat Pep ini mengingatkan saya pada masa keemasan Manchester United ketika masih dilatih oleh Sir Alex Ferguson (saya juga bukan fans United).

Secara permainan, City menunjukkan permainan yang enak ditonton. Kemenangan demi kemenangan diraih. Sebelum Manchester Derby akhir pekan ini (10/12/2017), City sedang unggul delapan poin dari peringkat dua Liga Primer, Man United. Mereka belum terkalahkan di Liga Primer dan menjadi kesebelasan dengan gol terbanyak, serta kebobolan sedikit kedua.

Menjadikan kualitas dan mahalnya skuat City sebagai alasan utama mereka superior tidaklah cukup. Mereka memang menghabiskan lebih dari 600 juta paun dalam tiga musim terakhir. Tapi hanya dengan mengumpulkan pemain hebat tidak serta merta menjadikan sebuah kesebelasan menjadi hebat juga. Contohnya AC Milan musim ini, Real Madrid 2014/2015, Manchester United 2014/2015, bahkan City musim lalu.

Pep selain mengeluarkan biaya lebih dari 200 juta paun pada musim ini, ia membeli pemain yang tepat guna untuk strateginya. Ia membuang pemain yang tak perlu ada di timnya dan benar-benar membangun skuat yang benar-benar bisa memainkan sepakbola yang ia inginkan. Sementara itu, sepakbola yang diinginkan Pep tidak sekadar permainan penguasaan bola, pressing agresif, dan umpan-umpan pendek semata.

Baca juga: Evolusi Man City Dimulai dari Bek Sayap

Ada sesuatu di luar taktis permainan yang berhasil dibenahi dari City; mental juara. Hal ini yang membuat strategi Pep lebih sempurna pada musim ini dibandingkan pada musim lalu. Dengan mental juara, bisa dibilang, ia bisa membuat para pemainnya mencapai batas maksimal potensi dan bakat terbaiknya.

Ini terlihat ketika Man City mulai tidak lagi mudah dalam memenangkan pertandingan. Pada empat laga terakhir sebelum City dikalahkan Shakhtar, empat laga tersebut berakhir dengan kemenangan tipis. Padahal sebelum itu, City terbiasa pesta gol; 7-2 melawan Stoke, 5-0 melawan Crystal Palace, 6-0 menghancurkan Watford, 4-0 membungkam Feyenoord, dan 5-0 mempermalukan Liverpool.

Yang menarik dari empat laga City sebelum melawan Shakhtar adalah City kerap menang berkat gol-gol yang tercipta menjelang pertandingan berakhir. Gol kemenangan melawan West Ham tercipta pada menit ke-83 (David Silva), gol kemenangan melawan Southampton tercipta di menit ke-95 (Raheem Sterling), gol kemenangan melawan Huddersfield dicetak pada menit ke-84 (Sterling), sedangkan gol tunggal yang memenangkan City atas Feyenoord dibuat oleh Sterling pada menit ke-88. Bahkan saat melawan Shakhtar, City baru mencetak gol pada menit ke-91.

Makna dari gol (kemenangan) yang tercipta pada menit-menit akhir ini bisa sangat positif. Pertama, itu membuktikan jika Pep punya respons taktikal mumpuni dan para pemainnya bisa menerapkan apa yang diinstruksikan olehnya. Kedua, para pemain City punya stamina yang cukup untuk bisa terus meneror pertahanan lawan hingga detik terakhir waktu tambahan. Ketiga, dan mungkin yang paling penting, para pemain City punya ambisi besar untuk menyamakan skor jika dalam kondisi tertinggal dan memenangkan pertandingan seperti apapun kondisinya; entah itu dengan kondisi kelelahan, lini pertahanan lawan yang rapat karena menumpuk 10 pemain di kotak penalti atau pun waktu yang semakin menipis.

Hebatnya lagi, gol-gol yang diciptakan City pada menit akhir pertandingan tidak menunjukkan rasa frustrasi atau kepanikan mereka yang membuat serangan menjadi lebih sporadis. Gol yang diciptakan tetap dengan Pep Style; umpan-umpan pendek dari depan kotak penalti dalam menembus pertahanan lawan.

Yang dilakukan Pep dalam mengakali rapatnya pertahanan lawan memang bukan dengan menempatkan pemain-pemain jangkung di kotak penalti lalu bermain route one dengan terus mengirimkan umpan panjang agar tercipta kemelut.

Contoh sahihnya ketika Sterling mencetak gol kemenangan City pada menit ke-95 di laga melawan Southampton. Mantan penggawa Liverpool itu tidak terburu-buru mengirimkan bola ke kotak penalti. Ia malah melakukan dribble sambil menunggu momen untuk mengoper, yang kemudian ia memberikan umpan pendek pada Kevin De Bruyne. Lantas ketika bola kembali padanya, dengan tenang juga ia melepaskan placing, padahal ketika itu pemain-pemain Southampton siap mengepungnya.

Dari 15 laga di Liga Primer, 46 gol dicetak City. 36 di antaranya tercipta melalui proses open play. Jumlah ini tertinggi di Liga Primer (Liverpool berada di urutan kedua dengan 26 gol open play). Artinya, skema permainan open play Pep berjalan hampir di semua gol City musim ini; tidak bergantung pada penalti, tendangan bebas, atau sepak pojok.

Tapi gol-gol di menit akhir City menjadi hal yang paling menarik perhatian. Ini mengingatkan Liga Primer Inggris pada Manchester United yang meraih kejayaan bersama Sir Alex Ferguson. Penyebab United menjadi kesebelasan besar dan ditakuti oleh semua klub Inggris lain, juga klub di luar Inggris, adalah perjuangan tanpa henti para pemain asuhan Fergie hingga menit akhir untuk mengincar gol penyama kedudukan atau gol kemenangan.

Maka dari itu muncul istilah "Fergie Time", karena United kerap mencetak gol, bahkan gol-gol penting, menjelang pertandingan berakhir.

"Saya mendengar tentang Fergie Time, saya tidak ada di sini [di Inggris] pada periode itu tapi kalian (para media) mengalaminya," ujar Guardiola memberikan pendapatnya tentang Fergie Time pada Guardian usai laga melawan Southampton. "Apa yang kami tunjukkan di beberapa laga terakhir adalah kami tidak pernah menyerah. Jika kami bisa menyerupai Fergie Time, saya menyambutnya dengan senang hati."

Lebih dari itu, mantan pemain Man United, Phil Neville, melihat bahwa Man City saat ini mengingatkannya pada United yang ia bela, khususnya soal Fergie Time.

"Saya memenangi Liga Primer enam kali bersama Man United di antara 1996 hingga 2003, dan kelebihan kami adalah memastikan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik hingga akhir pertandingan," kata Phil dalam tulisannya di kolom BBC. "Mencetak gol telat adalah faktor terbesar kami pada kesuksesan tersebut, daripada sepakbola menyerang yang menjadi label kami."

"Itu adalah cara manajer kami, Sir Alex Ferguson, melihat pertandingan. Ini artinya ia ingin punya tim yang tidak akan pernah menyerah. Karena itulah kami akan terus bertarung hingga pertandingan berakhir di setiap laga. Dan ada beberapa tanda itu di skuat City yang saat ini dilatih Pep Guardiola," sambungnya.

Phil juga menjelaskan bagaimana perayaan gol City saat Sterling mencetak gol kemenangan di laga melawan Southampton sebagai tanda bahwa seluruh tim, termasuk pemain cadangan dan staf pelatih, punya semangat dan kebersamaan yang tinggi. Lagi-lagi momen itu mengingatkannya pada skuat United ketika ia masih bermain.

"Gol menit 96 mereka melawan Southampton pada Rabu tidak hanya memperlihatkan semangat para pemain yang ada di lapangan, tapi juga Guardiola, staf pelatihnya, hingga semua pemain termasuk pemain cadangan (Benjamin Mendy yang cedera pun sampai berlari meski terpincang-pincang untuk merayakan gol tersebut)," kata Phil. "Di United, hal seperti itu adalah hal penting. Kami harus selalu menunjukkan semangat kami dan kebersamaan kami di setiap pertandingan."

Baca juga: Jadi, "Etihad" Itu Artinya "United"?

United, seperti yang kita tahu, berhasil disulap Ferguson menjadi kesebelasan terbaik dunia di masa keemasannya, yang masih berdampak hingga saat ini. Apa yang dikatakan Phil di atas cukup menjelaskan bahwa mentalitas juara yang ditularkan Fergie pada pemainnya punya peranan besar selain kemampuan taktikal sang manajer sendiri. Hal ini juga dikatakan Fergie dalam bukunya, Leading.

"Saya selalu mengatakan pada pemain saya bahwa nenek moyang atau seseorang di keluarga mereka pernah menjadi seorang kelas pekerja, yang akan bekerja setiap hari untuk bisa bertahan hidup. Sementara saya hanya meminta mereka bekerja keras selama 90 menit ketika mereka mendapatkan bayaran tinggi. Selain itu, saya juga selalu berkata pada mereka, `Setiap menit saat kalian tidak berusaha lebih keras dibanding tim lain, kalian tidak akan menjadi Manchester United`," tulis Fergie dalam bab Recognising Hunger.

Maka dari itu, City yang dilatih Pep saat ini punya skuat yang, selain cocok dengan skema permainannya, juga punya ambisi yang besar untuk menang dalam kondisi apapun, seperti United di masa keemasan Ferguson. Itulah kenapa skuat Man City asuhan Pep pada musim ini menunjukkan mereka, setidaknya bagi saya, sebagai kesebelasan sempurna; selain punya pelatih, pemain dan permainan yang mumpuni, mereka juga punya mentalitas sebagai kesebelasan juara.

Mentalitas sebagai kesebelasan juara? Apakah itu berarti Man City akan menjadi juara di akhir musim nanti? Bukan saja akhir musim nanti, karena jika Pep terus melakukan hal-hal semacam ini dan kesebelasan lain tidak mampu menandinginya, jangan heran jika City bisa terus tampil superior sampai kontrak Pep berakhir di 2019.

Baca juga: Kisah Masa Buruk Zlatan Ibrahimovic bersama Pep Guardiola

Komentar