Adel Taarabt Berhasil Mengalahkan Musuh Terbesar dalam Kariernya: Dirinya Sendiri

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Adel Taarabt Berhasil Mengalahkan Musuh Terbesar dalam Kariernya: Dirinya Sendiri

Di tengah persaingan ketat Serie A musim 2017/2018, terdapat sosok yang terlahir kembali. Ia adalah Adel Taarabt. Di Serie A musim ini, ia cukup diandalkan Genoa. Padahal sebelum itu, karier Taarabt nyaris berakhir lebih cepat karena ia tidak bisa mengatasi dirinya sendiri.

Setelah melintang bersama lima klub berbeda, Taarabt mencoba peruntungannya di Benfica mulai Juni 2015 lalu. Tapi kondisi fisiknya mengalami penurunan sehingga ia tidak satu kali pun dimainkan Benfica.

Kesempatan terbaiknya di Benfica hanya dimainkan tujuh kali pada skuat cadangan. Sampai pada akhirnya, Taarabt memilih kembali ke Italia pada Januari lalu. Kali ini destinasinya berada di tangan Genoa dengan status pinjaman dari Benfica. Sepakbola Italia tidaklah asing bagi Taarabt karena pernah memperkuat AC Milan sejak Januari 2014 sampai akhir musim.

"Saya merindukan Italia dan sekarang saya merasa sehat secara fisik meski sudah satu setengah tahun sejak terakhir saya bermain (di skuat senior). Saya ingin menjawab kepercayaan Genoa kepada saya," kata Taarabt ketika resmi bergabung dengan Genoa seperti dikutip dari Sky Sports.

Membela tujuh klub dalam usia 27 tahun sebenarnya pengalaman luar biasa. Tapi bisa dibilang tidak baik juga bagi seorang pesepakbola. Sejatinya, Taarabt adalah salah seorang warga pengungsi Maroko yang mendapatkan warisan berupa pendidikan dan gaya sepakbola Prancis. Meski lahir di Maroko, ia bersama keluarganya pindah ke Berre-I`Etang di kawasan tepi laut Prancis ketika ia masih kecil.

Di sanalah Taarabt mulai mengenal sepakbola dengan memainkannya bersama anak-anak lain di lingkungan rumahnya. Sejak saat itu juga di dalam pikirannya muncul cita-cita ingin menjadi pesepakbola profesional. Tidak seperti pemain lain pada umumnya, Taarabt tidak memiliki orang tua yang menyukai sepakbola.

"Ayah saya tidak pernah mengikuti sepakbola dan dia tidak terlalu tertarik dengan yang saya lakukan. Dia pergi bekerja dan ketika dia kembali, orang-orang mengetuk pintu rumah kami dan memberi tahunya betapa bagusnya saya bermain sepakbola. Saya ingat pertandingan pertama ketika ayah saya datang adalah ketika saya berusia 11 tahun," celoteh Taarabt seperti dikutip dari These Football Times.

Taarabt pun semakin betah dengan dunia sepakbola. Berbeda dengan remaja seusianya yang fokus melakukan transisi dari sekolah tingkat dasar ke menengah. Ia justru sibuk mencari sekolah sepakbola profesional sampai pada akhirnya bergabung dengan akademi Lens yang terkenal pada 2004.

Taarabt pun mulai berkembang di akademi Lens dan melakukan debut pertandingan junior pada 2005 silam. Teknik sepakbolanya pada saat itu begitu alami ketika bola berada di kakinya. Ia digadang-gadang menjadi maestro sepakbola Maroko suatu saat nanti atas kemampuan menggiring bola dan gerak tipu lawan yang memesona. Maka tidak mengherankan jika gaya permainannya saat remaja dianggap titisan dari Zinedine Zidane.

Satu tahun kemudian, Taarabt dipromosikan ke skuat senior. Sejak saat itu ia mendapatkan beberapa tawaran dari kesebelasan-kesebelasan Liga Primer Inggris.

Salah satunya adalah Arsenal yang paling intens sehingga mengirimkan pemandu bakatnya bernama Damien Comolli untuk memantau Taarabt. Namun Comolli justru berkhianat ke Tottenham Hotspur di tengah pemantauan Taarabt. Alhasil Taarabt berhasil dibawa ke tempat kerja barunya itu yang merupakan rival abadi Arsenal.

Karir Penting Adel Taarabt di Queens Park Rangers (QPR)

Taarabt diboyong dengan status pinjaman pada tenggat transfer 2006 dan baru dipermanenkan senilai 2 juta paun setelah musim 2006/2007 berakhir. Namun Taarabt tidak mendapatkan tempat sejak Juande Ramos menangani Tottenham pada Oktober 2007. Bahkan pada musim berikutnya, manajernya itu memberitahu Taarabt tidak masuk ke dalam rencananya bersama Ben Alnwick, Hossam Ghaly, Kevin-Prince Boateng, Paul Stalteri dan Ricardo Rocha. Jika pun ingin masuk ke dalam skuat utama, mereka harus membuktikan diri dahulu melalui bangku cadangan bahkan berlaga di skuat muda.

Faktor itulah yang membuat Taarabt tidak memiliki pilihan selain beralih ke Queens Park Rangers (QPR) dengan status pinjaman pada Maret 2009. Ia pun memulai pentingnya bersama QPR. Diawali dengan kemajuan yang cukup pesat untuk kesebelasan itu sampai berakhirnya Divisi Championship 2008/2009.

Tapi kemajuannya itu sempat terganggu oleh cedera tulang rawan saat latihan sehingga harus dioperasi. Kariernya yang turun ke Divisi Championship dan cederanya itu pun tidak menyembunyikan rasa frustrasinya. Baginya, Liga Inggris bukanlah tempat untuknya dan menganggap La Liga Spanyol merupakan kompetisi yang lebih baik untuknya. Padahal saat itu muncul ketertarikan dari Bolton Wanderers, Stoke City dan Wolverhampton.

"Itu tidak ada poinnya untuk saya. Saya membenci gaya sepakbola Inggris. Saya berharap bisa bermain di salah satu empat klub top di Spanyol pada musim berikutnya. Real Madrid, Barcelona, Valencia atau Sevilla. Saya melakukan kontak dengan tim-tim bagus itu dan saya tahu mereka menginginkan saya," sesal Taarabt.

Nyatanya tidak ada tawaran yang benar-benar tiba kepadanya dari Spanyol atau liga selain Inggris. Sebagai gantinya, Taarabt terpaksa rela dipermanenkan QPR dengan biaya 1 juta paun dengan kontrak tiga tahun. QPR pun menjadi tempat yang tepat pada saat itu karena ia semakin berkembang.

Puncaknya adalah saat ia mencetak 19 gol dari 44 pertandingan pada musim ketiganya bersama kesebelasan tersebut. Kontribusinya itu berhasil mempromosikan QPR sehingga menjadi pemain terbaik Divisi Championship 2010/2011. Hal itulah yang memunculkan rumor ketertarikan dari Paris Saint-Germain (PSG) kepadanya.

"Kami berbicara dengan Paris Saint-Germain. Kami sangat dekat, tapi jika tidak ada kesepakatan yang tecapai, maka saya akan tetap bermain untuk QPR di Liga Primer," ucap pemain kelahiran 24 Mei 1989 tersebut.

Ia pun tetap bertahan di QPR karena tidak ada kesepakatan yang tercapai. Namun Taarabt justru menjalani Liga Primer Inggris 2011/2012 dengan tidak nyaman karena adanya konflik dengan Joey Barton dan manajernya, Neil Warnock. Perselisihan dengan Warnock dimulai ketika Taarabt digantikan pada babak kedua saat dikalahkan Fulham dengan skor 6-0. Kemarahan Taarabt merembet kepada Barton yang menyindir kejadian tersebut.

"Ini (Liga Primer Inggris) adalah tingkat tertinggi sepakbola dunia. Dan jika Anda tidak siap bekerja keras, Anda akan tampil dengan sangat singkat. Jika saya adalah Adel (Taarabt) dan memiliki kemampuan sepertinya, saya tidak ingin tampil singkat hanya karena tidak bekerja cukup keras. Dia disebut seorang jenius, tapi saya belum pernah melihatnya," sindir Barton.

Dampaknya, Taarabt sempat dicadangkan oleh Warnock untuk waktu yang lama, meskipun Taarabt sempat dipuji karena mencetak gol penting ketika mengalahkan Arsenal dan Tottenham. Ia hanya dimainkan ketika ada gelandang yang berhalangan tampil. Hubungan Taarabt dengan manajer sempat membaik ketika Harry Redknap menangani QPR sejak November 2012.

"Dia memiliki kemampuan tidak seperti banyak orang yang pernah Anda lihat dalam hidup Anda. Dia seperti Di Canio. Saya rasa itu adalah pertunjukan hebat sepanjang masa," puji Redknapp ketika Taarabt mencetak gol dalam kemenangan pertama QPR di Liga Primer Inggris 2012/2013.

Tapi konflik antara Taarabt dengan manajernya kembali pada musim berikutnya. Apalagi QPR terpuruk dan harus terdegradasi pada akhir musim. Ia enggan kembali berkiprah di Divisi Championship ditambah atas konfliknya bersama Redknapp. Taarabt pun menerima tawaran pinjaman dari Fulham yang berkiprah di Liga Primer Inggris 2013/2014.

"Yang saya pikirkan saat ini, kami kalah di pertandingan, dia (Redknapp) mulai marah dan membuat alasan. Dia adalah manajer berpengalaman dan seharusnya bisa mengendalikan situasi. Saya seorang profesional. Ini bukan tentang pembalasan, ini tentang perlindungan reputasi saya," keluh Taarabt.

Pergi ke Fulham membuatnya bertemu kembali dengan Martin Jol. Jol adalah manajer pertamanya ketika bergabung dengan Tottenham. Tapi masa pinjamannya berlangsung singkat karena keinginannya tampil di luar Liga Inggris terkabul setelah mendapatkan tawaran pinjaman dari AC Milan.

Taarabt begitu optimis dengan kepindahannya ke Italia, apalagi Milan sedang berjuang di Liga Champions 2013/2014 yang akan menjadi pengalaman barunya. Tapi pergantian pelatih dari Clarence Seedorf kepada Filippo Inzaghi membuatnya terdepak dari kesebelasan berjuluk I Rossoneri tersebut.

Baca juga: Keisuke Honda, Matahari Terbit di Kota Milan.

"Pengalaman itu menghancurkan saya secara psikologis. Saya telah bermain dengan baik bersama Rossoneri dan kami hampir menandatangani kontrak, kemudian Pippo Inzaghi datang dan membuat pilihan lain. Kembali ke QPR setelah bermain di Liga Champions bersama bintang seperti Kaka itu bena-benar menyakitkan," imbuh Taarabt seperti dikutip dari goal internasional.

Dari situlah Taarabt mencari petualangan baru yang bisa menjaga reputasinya. Gelandang serang yang bisa bermain di sayap kanan itu kemudian direkrut Benfica dengan gratis dan dikontrak selama empat musim. Tapi pembeliannya justru menjadi penyesalan presiden kesebelasan tersebut, Luis Filipe Vieira.

"Taarabt adalah kesalahan saya dan Rui Costa. Saya tidak mengerti apa-apa tentang sepakbola, tapi saya menyaksikan permainannya. Ada beberapa hal yang kurang darinya. Dia tiba dengan (berat badan) kelebihan 6 pon. Dia pasti tidak akan memakai seragam Benfica lagi," jelasnya.

Konon, Taarabt masih belum bisa lepas dari kehidupan malam sehingga ditendang Benfica. Ia digadang-gadang sempat akan bergabung dengan 1860 Munich, tapi perjudian justru diambilnya dengan kembali ke Italia bersama Genoa pada Januari 2017. Tapi sejak bergabung dengan Genoa, Taarabt menjadi pemain yang berbeda dari sebelumnya.

Menemukan Jati Diri dan Menjadi Idola di Genoa

Ivan Juric yang menjadi pelatihnya di Genoa saat ini mengapresiasi usaha Taarabt yang berhasil menurunkan berat badannya sebanyak 10 kilogram. Pelatih asal Kroasia tersebut menganggap bahwa gelandangnya itu telah belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya.

"Ketika saya pertama kali tiba di Genoa, saya tidak berguna dan merasa ada masalah, tapi saya sadar saya harus pergi ke arahnya dan saya memulai pembicaraan. Saya tidak tahu apakah kami bisa saling memanggil teman lain, tapi dia pasti mengubah hidup dan tubuh saya, saat saya kehilangan 10kg," beber Taarabt.

"Menurunkan berat badan selalu menjadi masalah bagi saya. Ketika saya masih muda dan lajang, saya biasa pergi dengan teman-teman ke restoran. Anda tidak bisa melakukannya pada usia 28. Anda butuh mengubah gaya hidup dan itulah yang saya lakukan. Saya menemukan kembali cinta kepada sepakbola untuk diri saya sendiri," sambungnya.

Kedatangannya berhasil menghindarkan Genoa dari zona degradasi. Enam penampilan perdananya membuahkan tiga asis. Kemudian pada musim ini ia semakin menjadi idola para pendukung Genoa. Sudah dua gol dan satu asis disumbangkannya untuk Genoa dari 11 pertandingan Serie-A 2017/2018. Hal yang membuatnya digilai pendukung Genoa adalah aksi giringan bolanya.

Giringan bolanya sering menipu lawan dan kemampuannya saat mengolongi lawan semakin membuat para pendukung Genoa terkesima. Taarabt sendiri merupakan pemain keenam paling banyak melakukan dribel sukses di Serie-A sejauh ini. Total, sudah 24 kali ia melakukan dribel sukses dengan rasio keberhasilan 77 persen. Jumlah itu hanya kalah dari Alejandro Gomez, Diego Perotti, Paulo Dybala, Josip Ilicic dan Adem Ljajic.

"Saya pikir tidak akan bisa kembali sebaik-baiknya, tapi dengan bentuk fisik baru ini, saya bisa mulai menang lagi dan bermain bagus dengan Genoa. Menyenangkan rasanya mendapatkan nyanyian untuk diri saya sendiri dari para pendukung Genoa," tutur Taarabt seperti dikutip dari Get West London.

Terakhir, ia berhasil membawa Genoa mengalahkan Crotone, Sabtu (19/11). Taarabt akhirnya sadar bahwa egonya membuat bakatnya semakin jauh dari sosok Zidane. Bahkan tidak mencapai setengahnya dari pahlawan sepakbola Prancis tersebut.

"Pada awal karier saya, saya hanya mengandalkan bakat. Saya tidak percaya kepada kerja keras atau bermain untuk tim. Saya hanya ingin menang. Sekarang saya menyadari bahwa sepakbola adalah olahraga kolektif, bahwa untuk menjadi pemain yang lengkap, Anda harus rela mengorbankan diri sendiri," ujarnya

Sepanjang kariernya harus dijalani secara nomaden. Pendukung di Prancis, Inggris, Italia dan Portugal pernah menyambutnya karena tergoda dengan keahliannya. Tapi sebagian besar justru menyerah kepada rasa frustrasinya yang terasa menyiksa dan menyakitkan.

Sulit membayangkan ketika kariernya harus selesai pada usia 27 tahun ketika memperkuat Benfica. Pada saat itu hampir tidak ada kesebelasan yang percaya dan mengandalkan kemampuannya lagi. Padahal usia 27 sampai 28 tahun seharusnya ia sedang mendekati puncak kekuatan fisiknya.

Masih ada satu dekade tersisa lagi di dalam kariernya setelah tahun-tahun terakhirnya yang pedih. Taarabt telah menjadi musuh terburuk bagi dirinya sendiri dalam waktu yang lama. Tanpa ada penyesuaian diri yang signifikan karena temperamen selalu tidak terhindarkan atas semua sifat buruknya. Tapi tanpa kebiasaannya itu, dunia tidak akan mengenal Taarabt yang sebenarnya.


Sumber lain: Dream Team.

Komentar