Italia Tidak Layak Ditangani Gian Piero Ventura

Analisis

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Italia Tidak Layak Ditangani Gian Piero Ventura

Mosi tak percaya adalah kalimat yang terlintas ketika Gian Piero Ventura ditunjuk menjadi Pelatih Italia menggantikan Antonio Conte setelah Piala Eropa 2016. Alasannya sangat sederhana: Ventura belum pernah melatih kesebelasan besar di Serie-A. Napoli yang pernah dilatihnya pada musim 2004/2005 pun sedang berjuang di Serie-B.

Ventura menghabiskan kariernya dengan menangani kesebelasan kecil atau paling hebat bisa berada di papan tengah Serie-A. Maka dari itu ia tidak memiliki pengalaman melatih sebuah kesebelasan di Liga Champions Eropa. Prestasi terbaiknya pun adalah menjuarai Serie-C1 1995/1996 bersama Lecce. Catatan kecil prestasinya itu sudah cukup meragukan kualitas Ventura meskipun ia adalah maha guru bagi pelatih-pelatih hebat Italia generasi sekarang.

Saat ini, terbukti sudah bahwa Ventura tidak kompeten menangani timnas Italia setelah gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Meski begitu, Ventura tidak atau belum memutuskan untuk mengundurkan diri. Federasi sepakbola Italia, FIGC, juga tidak memutus kontrak mantan pelatih Torino tersebut yang baru berakhir 2020 nanti.

Salah satu faktor Presiden FIGC, Carlo Tavecchio, mempercayai kualitas Ventura adalah perihal kemampuannya memoleh para pemain muda. "Dia melatih banyak pemain yang terus bermain untuk Italia. Dia memiliki pengalaman hebat dalam melatih pemain muda dan saya percaya bahwa dia selalu memiliki rasa kesetiaan yang kuat," ungkapnya seperti dikutip dari situs resmi FIGC.

Rasanya terlalu berisiko jika itu adalah alasan penunjukan pria yang memulai karier kepelatihannya di Sampodira tersebut. Apalagi untuk sebuah tugas meloloskan sebuah kesebelasan negara yang besar ke Piala Dunia. Jelas-jelas bahwa kompetisi itu lebih bergengsi daripada Piala Eropa 2016.

Saat itu Ventura memang memiliki tradisi mengorbitkan banyak pemain Italia berkualitas. Begitu pun ketika menukangi Torino yang merupakan kesebelasan terakhirnya di Serie-A. Tumpuannya kepada pemain muda jugalah yang membuat Ventura berhasil membawa Torino berlaga di Liga Europa 2014/2015.

Gian Piero Ventura Terlalu Banyak Eksperimen

Ventura sudah diwarisi skuat yang mumpuni dari Conte atas penampilan indah Italia selama Piala Eropa 2016. Penampilan Italia ketika itu punya ciri khas dalam organisasi bertahan yang baik ditambah serangan balik kolektif nan mematikan. Tapi eksperimen taktik dan pemilihan pemain membuat skuat warisan muridnya itu perlahan memudar.

Teracatat bahwa Ventura sedikitnya sudah tiga kali mengganti formasi kesebelasan negaranya. Mulai dari 3-5-2, 3-4-2-1 (dipakai ketika melawan Belanda), sampai 4-4-2 yang bertranfsormasi menjadi 4-2-4. Alternatif terakhir adalah formasi yang pernah digunakan Ventura sekitar enam tahun lalu ketika melatih Bari.

Kemudian Ventura mengandalkan formasi tiga bek sejak melatih Torino pada 2011 lalu. Pada awalnya pun Ventura menggunakan formasi 3-5-2 ketika baru melatih Italia. Formasi itu juga yang digunakan Conte selama membawa Italia ke babak delapan besar Piala Eropa 2016.

Gaya permainannya pun tidak berubah dengan mengandalkan serangan balik. Hanya saja ada kebuntuan di lini depan Italia di bawah Ventura pada formasi itu, terutama suplai serangan dari sisi kiri karena Matteo Darmian tidak bermain cukup baik pada posisi bek sayap di area tersebut.

Lagipula Darmian cukup canggung ketika ditempatkan di sisi kiri dibandingkan area aslinya di sisi kanan seperti yang dilakoninya di Manchester United. Pemaksaan Darmian ini seolah ada pemaksaan tersendiri bagi Ventura. Mengingat di sisi kanan ada Davide Zappacosta dan Antonio Candreva yang bermain cukup baik.

Bisa dibilang sayap kiri adalah sektor yang perlu diperbaiki sejak Italia ditangani Conte. Selama Piala Eropa 2016, ia harus bergantian memasang pemain-pemain yang bukan ahlinya pada posisi tersebut. Mulai dari Darmian, Stephan El Shaarawy, sampai pada akhirnya pilihan jatuh kepada Mattia De Siciglio.

Masalah di sisi kiri Italia semakin terasa ketika ditahan imbang Spanyol 1-1. Begitu pun ketika menghadapi Makedonia yang sempat membuat Italia tertinggal 2-1 sampai menit 59. Gol pada menit itu dicetak Farhan Hasani yang berawal dari kelengahan sisi kiri Italia.

Kemudian Ventura mulai mencoba mengganti formasi 3-5-2 menjadi 4-2-4 setelah tertinggal itu dan akhirnya berhasil memenangkan laga dengan skor 3-2. Formasi 4-4-2 yang bertransformasi menjadi 4-2-4 pun dipakai sejak awal setelah laga menghadapi Makedonia, yaitu ketika melawan Liechtenstein.

Perubahan formasi dilakukan agar memiliki permainan yang lebih luas. Apalagi jika mengingat filosofi serangan Ventura mengandalkan pemain sayapnya untuk menciptakan peluang. Kecenderungan serangan itu diharapkan bisa memberikan umpan kepada dua penyerang utamanya.

Formasi 4-2-4 juga dimaksudkan agar serangan dan bertahan lebih seimbang karena pemain sayap tidak perlu terlalu jauh melakukan transisi menyerang maupun bertahan. Di sisi lain, formasi itu dimaksudkan Ventura untuk bisa memberikan peran terhadap banyaknya pemain sayap di serangan Italia pada akhir-akhir ini.

Pasalnya, pemain-pemain seperti Alessandro Florenzi, Antonio Candreva, Citadin Eder, Federico Bernardeschi, Lorenzo Insigne, El Shaarawy kurang sempurna ketika menjadi bek sayap pada formasi 3-5-2. Terkecuali Eder atau Bernardeschi yang dijadikan penyerang kedua pada formasi tersebut.

Sementara itu, masalah di full-back atau bek sayap sisi kiri Italia mulai teratasi seiring dengan munculnya Federico Chiesa dan Leonardo Spinazzola pada jeda internasional bulan Juni. Bisa dibilang pemanggilan dua pemain itu terlambat karena sudah bermain impresif sejak Serie-A musim lalu.

Penurunan Mental Italia Setelah Dikalahkan Spanyol

Perubahan formasi dan penemuan solusi di sisi kiri membuat Ventura semakin percaya diri menukangi Italia. Tapi formasi 4-2-4 itu menjadi bumerang ketika pertemuan kedua melawan Spanyol pada pekan ke tujuh Kualifikasi Piala Dunia 2018. Duet Daniele De Rossi dengan Marco Verratti di sektor gelandang Italia kelimpungan menghadapi dominasi penguasaan bola Spanyol di lini tengah.

Dominasi formasi 4-3-3 Spanyol di area tersebut membuat Italia tidak bisa mengembangkan serangan ke sisi lapangan. Bayangkan, dua gelandang Italia harus menghadapi tekanan dan penguasaan bola Spanyol yang dibangun Andres Iniesta, Koke dan Sergio Busquets.

Alhasil, Italia kalah tiga gol tanpa balas dari kesebelasan negara berjuluk La Furia Roja tersebut. Otomatis posisi Italia sebagai pimpinan klasemen grup pun tergeser oleh Spanyol. Sejak kekalahan itu, Ventura seolah menerapkan permainan bertahan bagi kesebelasannya.

Buktinya, Italia belum pernah mencetak lebih dari satu gol pada sisa pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Italia tampak bermain pragmatis bertahan dan filosofi sepakbola menyerang Ventura seolah menghilang. Bumerang semakin dirasakan ketika ditahan imbang Makedonia dengan skor 1-1 di kandangnya sendiri.

Italia langsung bermain bertahan setelah unggul 1-0 melalui gol Giorgio Chiellini pada menit 40. Sampai pada akhirnya Aleksandar Trajkovski berhasil menyamakan kedudukan pada menit 77. Pada laga itu juga Ventura mengubah formasi dasar kesebelasan negaranya.

Formasi dasar 4-4-2 yang masih memberikan kemenangan setelah melawan Spanyol (mengalahkan Israel dengan skor 1-0), justru diubah menjadi 3-5-2 ketika melawan Makedonia. Bahkan kesalahan lainnya adalah kembali memaksa Darmian pada posisi bek sayap kiri. Sementara Spinazzola justru dicadangkan selama 90 menit pertandingan. Keputusannya Ventura memaksakan dan mengistimewakan Darmian tampaknya tak lepas dari fakta bahwa Darmian adalah pemain yang dibesarkannya sewaktu di Torino.

Kemudian, formasi 4-4-2 dipakai kembali pada pertandingan penutup grup G ketika mengalahkan tuan rumah Albania sehingga Italia masih berkesempatan lolos melalui babak play-off melawan Swedia. Dan pada laga penentuan itu, Ventura justru mengulangi kesalahannya seperti melawan Makedonia. Otomatis sistem itu membuat Insigne dan El Shaarawy yang sedang impresif bersama kesebelasannya masing-masing justru disimpan di bangku cadangan.

Hal itu membuat Italia gagal lolos ke Piala Dunia karena kalah agregat 1-0 dari Swedia. Selain mentalitas, pilihan pemain Ventura juga menjadi elemen terpenting bagi kemunduran Italia. Perubahan-perubahan formasi membuat potensi sayap Italia terpendam.

Belum lagi ada keputusan kontroversi lain yang dilakukan Ventura ketika ia lebih memilih memanggil Roberto Inglese daripada Simone Zaza pada beberapa pertandingan terakhir kualifikasi. Padahal Zaza sedang produktif bersama Italia. Atau ia bisa memperhitungkan kembali kesuburan Mario Balotelli bersama OGC Nice.

Tak hanya di pos striker, apa yang Ventura lakukan ini sama seperti halnya Ventura tak mengindahkan ketersediaan Jorginho membela Italia ketika membutuhkan pengganti Marco Verratti yang mendapatkan cedera. Ventura justru mencoba memasang Nicola Barella yang masih hijau untuk situasi genting saat itu. Keputusannya memang tidak lepas dari niatan untuk menyegarkan skuat Italia, tapi rasanya percobaan tidak harus dilakukan ketika dalam situasi genting Italia saat itu.

Ventura justru melakukan perjudian dalam eksperimen formasi, pemanggilan pemain dan pemaksaaan posisi di dalam skuatnya. Mungkin Ventura cukup puas dengan kesempatan play-off yang bisa membuat bangga kesebelasan-kesebelasan tak berprestasi, bukan kesebelasan besar seperti Italia. Toh ia memang terbiasa menukangi kesebelasan biasa-biasa saja tanpa target yang sangat tinggi.

Seharusnya Ventura tahu bahwa Italia bukanlah kesebelasan negara medioker karena sudah mengoleksi empat gelar Piala Dunia. Italia juga belum pernah tidak lolos ke Piala Dunia sejak 1958. Maka bukan tanpa alasan kegagalan Ventura bersama Italia membuatnya menjadi pelatih terburuk sepanjang sejarah kesebelasan negara tersebut.

Pada akhirnya Ventura harus menerima kenyataan atas ketidakmampuannya memimpin kesebelasan besar. Atas mentalitas yang ditularkan pelatih berusia 69 tahun itu, Italia tidak lolos ke Piala Dunia 2018. Faktor krusial itu menjadi bukti bahwa Ventura rasanya tidak layak menangani kesebelasan sebesar timnas Italia.

Komentar