Ketika Pertandingan Derby di Aljazair Membutuhkan Stadion Khusus

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Ketika Pertandingan Derby di Aljazair Membutuhkan Stadion Khusus

Semangat sepakbola Aljazair tidak pernah padam. Itulah yang membuat mereka menerima acungan jempol pada Piala Dunia 2014 di Brasil. Mereka mampu melangkah sampai babak 16 besar dan menyulitkan Jerman pada laga tersebut sampai menit akhir.

Sebenarnya, penikmat sepakbola Aljazair sendiri dikenal sangat militan di antara pendukung sepakbola lainnya di Benua Afrika. Apalagi nanti malam akan terjadi pertandingan Derby Algiers antara MC Alger menghadapi USM Alger pada pertandingan Liga Aljazair di Stadion July 5 1962, Selasa (7/11).

MC bertindak sebagai tuan rumah, tapi stadion yang akan menjadi tempat pertandingan itu bukanlah kandang mereka. Stadion July 5 1962 merupakan kandang alternatif dari Tim Nasional (timnas) Aljazair setelah Stadion Mustapha Tchaker. Markas asli MC Alger adalah Stadion Omar Hamadi yang berkapasitas 12 ribu penonton, stadion sederhana di tepi laut yang juga merupakan kandang dari USM Alger.

Dengan kecilnya kapasitas penonton stadion Omar Hamadi, derby ini selalu digelar di stadion timnas. Apalagi Derby Algiers cukup menarik dan cukup menunjukkan gairah sepakbola di negara tersebut.

MC Alger dengan USM Alger punya persaingan tersengit di Algiers, ibukota Aljazair. Bisa dibilang bahwa laga itu adalah pertandingan terpanas dan terbesar kedua di Aljazair setelah Algerian Clasico antara MC Algiers melawan JS Kabylie. Bahkan bisa menjadi paling panas di Aljazair walau kedua kubu punya sejarah perjuangan dan pemberontakan melawan kolonialisme Prancis.

Konon, hubungan d lingkungan mulai dari tetangga sampai komunitas bisa terpecah belah selama atmosfer pertandingan Derby Algiers. Seorang ayah pendukung MC Alger bisa melarang anaknya untuk bermain dengan pamannya yang mendukung USM Alger saat masih dalam suasana pertandingan.

Meski begitu, kedua pendukung kesebelasan ini pernah bahu-membahu dalam perjuangan kemerdekaan Ajazair dari 1954 sampai 1962 bersama Front Pembebasan Nasional (FNL). Kemerdekaan Aljazair sendiri diiringi dengan digelarnya kompetisi resmi sepakbola di negara tersebut dan USM Alger langsung menjadi juaranya, sedangkan MC Alger harus menunggu satu dekade berikutnya untuk memenangkan gelar pertamanya di Liga Aljazair.

Derby Algiers merupakan pertandingan dua kubu yang mewakili sejarah dari salah satu kota paling rumit di Aljazair. MC Alger adalah klub yang lebih tua karena didirikan pada 1921. MC Alger selalu menganggap bahwa mereka adalah kesebelasan sepakbola muslim pertama yang terbentuk di Aljazair dalam masa penjajahan. Apalagi kesebelasan mereka yang berbasis di kawasan Casbah dan Bab El Oued merupakan lingkungan muslim yang begitu mengakar di Kota Algiers.

Alhasil, pengakuan sebagai kesebelasan muslim pertama sangat dibanggakan pada waktu itu. Hal tersebut karena kuota pemain muslim di kesebelasan Aljazair dibatasi tiga orang saja selama masa penjajahan. Maka dari itu MC Alger diciptakan untuk melawan segregasi (pemisahan golongan) tersebut.

Bukan tanpa alasan juga MC Alger selalu merasa sebagai kesebelasan yang paling mewakili negara tersebut. Kelahiran kesebelasan itu disambut gembira sekaligus mendapatkan dukungan dari 48 provinsi di Aljazair. Hal tersebut bisa dijelaskan melalui logo kesebelasannya.

Warna merah dianggap sebagai tanda kecintaan kepada nasionalisme dan hijau merupakan warna tradisional islam dan harapan bagi masyarakat Aljazair. Perpaduan itu menandakan bahwa MC Alger merupakan kesebelasan yang mewakili negaranya.

Tidak mau kalah, USM Alger yang berdiri pada 1937 di pusat kota Algiers itu pun punya warna khas yang tak jauh berbeda, merah bergaris hitam. Penggunaan warna itu merupakan tanda berkabung atas dibantainya para demonstran anti penjajah oleh kepolisian Prancis pada 1945 silam.

Perbedaannya, USM didirikan atas semangat patriotik negara dalam mengatasi penjajahan Prancis. Hanya saja USM Alger dianggap meninggalkan hubungan religius setelah kemerdekaan. Anggapan itu dimulai saat USM Alger mengikuti instruksi FNL agar kesebelasan muslim melakukan boikot olahraga sejak perang Aljazair pada 1956. Berbeda dengan MC Alger yang tetap bertanding meskipun harus mendapatkan berbagai gangguan pertandingan.

Mengenai Derby Algiers ini, tidak jarang kekerasan sampai harus memaksa wasit untuk menghentikan pertandingan. Sentimentil itu masih bertahan sampai sekarang sehingga pertandingan Derby Algiers selalu menyedot penonton. Sebanyak 60 ribu tiket bisa terjual habis dalam beberapa jam setelah pengumuman penjualan.

Hal itulah yang membuat Stadion July 5 1962 menjadi peralihan dan panggung tersendiri bagi Derby Algiers. Stadion itu seperti colosseum modern dengan kapasitas 64 ribu penonton dan bahkan bisa mencapai 80 sampai 100 ribu penonton seperti rekor yang dipecahkan ketika Aljazair menghadapi Serbia pada 3 Maret 2010.

Di stadion ini, ketika kedua kesebelasan berjumpa, antara tribun stadion selalu dihiasi pernak-pernik dari masing-masing suporternya. Ketika pertandingan dimulai, masing-masing suporternya akan melakukan pertunjukan kembang api. Suasana itu menunjukkan bahwa Derby Algiers merupakan salah satu atmosfer terbesar di antara persaingan sepakbola arab lainnya.

Di Aljazair sepakbola lebih dari sekadar olahraga. Di sana, sepakbola juga menjadi lambang politik, identitas dan cerminan peradaban masyarakat lokal yang telah bebas dari penjajahan lokal Prancis pada 1962. Termasuk rivalitas antara MC dan USM ini. Tak heran laga ini menjadi salah satu laga panas di Aljazair.

Sumber: Al Araby.

Komentar