Menendang Rasisme Keluar dan Melarangnya Masuk ke Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menendang Rasisme Keluar dan Melarangnya Masuk ke Sepakbola

Oleh: R. M. Agung Putranto Wibowo

Kemenangan 2-1 Chelsea atas Leicester City dalam ajang Liga Primer beberapa waktu silam ternodai oleh ulah pendukung mereka sendiri. Nyanyian di tribun King Power Stadium mengandung ujaran anti-Semit. Siapa lagi kalau bukan ditujukan kepada Tottenham, rival sekota Chelsea yang terkenal sebagai klub Yahudi.

Pasca tandukan Morata yang berbuah gol, pendukung The Blues bersorak-sorai sehingga membuat beberapa pendukung mulai bernyanyi tentang Alvaro. Sangat disayangkan, konten nyanyian mengandung anti-Semit. Entah siapa yang merancang liriknya, meski ada perpaduan rima antara “he comes from Real Madrid” dengan “he f****** hates the Y**”, tetap saja hal itu tidak dapat dibenarkan.

Since I arrived, I have been able to feel your support every single day, you are amazing and I’d like to ask you to please respect everyone!”. Cuitan akun @AlvaroMorata, yang merupakan akun pribadi sang penyerang, menjadi bukti bahwa ia risih ujaran tak pantas itu diasosiasikan kepada dirinya. Ia secara langsung meminta kepada “you” (yang ditujukan kepada para pendukung Chelsea), untuk menghargai siapapun termasuk kaum Yahudi.

Saya sependapat dengan sikap Morata. Sebagai pendukung Chelsea, saya rasa ujaran itu absurd. Pertama, sang pemilik yakni Roman Abramovich adalah orang Yahudi. Saya tidak peduli apakah ia seorang pemeluk agama yang taat atau tidak. Bagi saya, mengolok-olok atau menyatakan kebencian kepada Yahudi berarti membenci pula sang taipan minyak dari Rusia. Tentu aneh sebagai pendukung setia, membenci pria yang sudah bersusah payah mengangkat klub ke level tertinggi.

Kedua, lawan yang dihadapi adalah klub yang bermarkas di kota Leicester, sekitar 160 Kilometer dari London Utara, markas Tottenham. Perlu waktu tempuh yang melebihi dua babak pertandingan sepakbola untuk memangkas jarak antarkota ini. Ternyata benar adanya, rasisme itu melampaui ruang dan waktu.

Dalam rangka memerangi rasisme, tak heran bila FIFA berkampanye “kick racism out of football”. Ahli bahasa seperti Ivan Lanin agaknya sepakat kalimat itu bercorak ofensif. Ketika kita mendengar orang lain berkata “tendang!” reaksi manusia normal tentu mengayunkan kaki ke depan dengan segenap tenaga yang dimiliki.

Hal itu mengindikasikan bahwa perbuatan rasis pantas disikapi demikian. Rasisme bukan hanya mencederai sportivitas, lebih dari itu, sikap rasis sama saja merendahkan derajat kemanusiaan. Segala bentuk rasisme wajib ditendang keluar dari sepakbola. Tetapi sebentar… memang rasisme berada di dalam olahraga ini? Mengapa jargon kampanye FIFA berupa kalimat suruhan yang mewajibkan rasisme ditendang keluar? Bukankah kalimat seperti “rasisme dilarang masuk!” juga memiliki makna yang sama?

Di awal tulisan ini saya menulis bahwa Tottenham sebagai klub Yahudi. Hal itu tidak mengada-ada. Franklin Foer lewat buku berjudul Memahami Dunia Lewat Sepakbola, dengan cukup baik menuliskan bagaimana Tottenham dan Yahudi bisa menyatu lantas menjadi identitas. Para pendukung Spurs, sudah sejak lama menjuluki diri mereka Yahudi. Bahkan sinonim seperti “Yid” atau “Yiddo” lahir dari mulut mereka sendiri.

Kata “Yid” pertama muncul ke ruang publik, kala geng fasis Inggris bernama Oswald Mosley melakukan pawai melewati kampung timur Yahudi di London pada 1936 silam. Saat itu mereka meneriakkan “mampus kau orang Yid”. Ketika nama itu keluar dari bibir mereka yang berlogat Cockney, terdengar seperti sumpah serapah, kasar, serta sama sekali tidak beretika. Namun memang, nama tersebut konotasinya tidaklah menyenangkan dan suporter Tottenham justru melekatkan kepada klub dengan penuh pujian serta rasa bangga.

Yid Army, suporter Tottenham Hotspur

Identitas itu kemudian meluas dan mendapat tempat perayaannya. Ketika para pemain Spurs sedang bermain menyedihkan, para suporter menggunggah mereka lewat nyanyian “siapa, siapa yang membiarkan Yahudi-Yahudi ini keluar?”. Para pendukung coba hibur pemain favoritnya dengan sebutan “Yahudi”, kendati tak ada satupun dari mereka yang layak menjadi Yahudi.

Juergen Klinsmann contohnya. Pria berkebangsaan Jerman ini sempat membela The Lilywhites pada musim 1994/1995. Para suporter lantas menghormatinya dengan bernyanyi, “Juergen dulunya Jerman, tetapi sekarang ia adalah Yahudi”. Ada kemungkinan perasaan bangga akan Yahudi begitu besar sampai-sampai para suporter mengasosiasikan setiap pemain sebagai bagian dari Yahudi.

Saya coba bayangkan, bagaimana reaksi keluarga korban tragedi Holocaust atau mereka yang selamat dari tragedi kemanusiaan itu mendengar kata-kata Jerman dan Yahudi dalam satu nyanyian. Tentu masalah sensitif seperti ini tidak perlu dibawa ke stadion. Karena hakikatnya, stadion berupa tempat yang menghibur. Saya tak habis pikir jika atribut suku, agama, dan/atau ras harus dirayakan dengan cara seperti itu. Bagi saya, membawanya masuk ke dalam akan mereduksi aspek penghiburan itu sendiri.

Rasisme secara sadar diasuh dalam sepakbola. Ketika dunia sempat heboh makan pisang a la Dani Alves sebagai dukungan melawan rasisme, salah seorang pentolan Chelsea Headhunters bernama Alan Garrison, justru merayakan rasisme dengan suka ria. Berdasarkan pengamatan Foer, Garrison adalah seorang Yahudi yang tidak Yahudi. Dia mencela tim-tim lawan dengan hinaan anti-Semit dengan sangat meyakinkan.

Garrison seperti tidak berdamai dengan dirinya sendiri. Maklum ayahnya adalah seorang perwira Jerman yang kebetulan kawin dengan suster Yahudi-Skotlandia. Penyatuan darah antara ras Arya dan ras Yahudi itulah yang membuat kehidupan Alan tidak stabil. Kebencian dirinya terhadap Yahudi sudah melembaga sejak remaja, kala ia menolak ritual Bar Mitzvah.

Sepakbola ikut memperparah rasa benci itu. Lingkungan pergaulan Alan yang brutal tidak mampu ia kendalikan. Bahkan bisa dikatakan perbuatan rasis yang selama ini ia lancarkan untuk menyerang tim-tim lawan, diajarkan melalui olahraga ini. Itulah sebabnya FIFA memaksa rasisme agar ditendang keluar dari sepakbola. Rasisme tak hanya tumbuh subur, tetapi juga mendapat penghormatan sekaligus pemujaan.

Dani Alves, pemain yang pernah mendapatkan perlakuan rasisme kala main di Barcelona

Semua publik sepakbola tentu mengenal Karim Benzema. Penyerang asal Prancis yang bermain untuk Real Madrid itu punya torehan prestasi bersama Los Galacticos yang cukup memukau. Meski tampil konsisten bersama klub, saat perhelatan Piala Eropa 2016 lalu dirinya tidak dipanggil timnas. Benzema merasa Didier Deschamps, pelatih Les Bleus saat itu telah berlaku rasis. Dia melihat gelagat bahwa Deschamps tunduk pada tekanan rasis yang dilancarkan oleh partai-partai politik.

Bukan kebetulan partai sayap kanan Prancis mengusung kebijakan anti imigran yang dikaitkan dengan diri Benzema yang seorang Muslim. Alasan pencoretan Karim dari timnas memang beraneka ragam. Mulai dari keterlibatan dirinya dengan skandal video seks, tidak cocok dengan gaya taktik, hingga pergerakan politik sayap kanan. Lagi-lagi hal ihwal sepakbola tidak terlepas dari masalah politik rasial. Kalau sudah begini, tentu FIFA tidak bisa menendang keluar rasisme dari sepakbola. Jika benar alasan penolakan Benzema hanya karena ia seorang Muslim, maka rasisme juga harus ditekel dari pikiran sebelum sempat merasukinya.

Jauh sebelum gonjang-ganjing Karim Benzema, bangsa Indonesia pernah menjadi korban politik rasial saat zaman kolonial. Demi menjaga kesucian sepakbola-nya, NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) melarang klub-klub bentukan pribumi untuk bermain di liga profesional (kita kenal sekarang dengan sebutan Liga 1). Hanya klub Belanda dan klub-klub yang berada di bawah asosiasi sepakbola keturunan Tionghoa saja yang boleh mendaftar. Padahal saat itu sudah ada beberapa klub lokal yang didirikan seperti PSV (Padang Sport Vereniging) atau WSVB (West Sumatera Voetbal Bond).

Tentu sangat menggelikan jika praktik politik rasial masih diterapkan di zaman modern seperti ini. Namun mengapa tidak? Mungkin tanpa sadar, PSSI juga tengah melakukan itu. Saya penasaran berapa banyak pemain keturunan Tionghoa yang sudah pernah atau sedang membela pasukan Garuda. Dulu saya sempat membaca artikel tentang Sutanto Tan, pemuda keturunan Tionghoa yang dikabarkan masuk dalam proyeksi Indra Sjafri.

Seiring berjalannya waktu, nama itu redup bersamaan dengan prestasi yang diraih pasukan Merah-Putih di kejuaraan manapun. Semoga gagalnya Sutanto dalam membela timnas murni karena kalah bersaing secara teknis, Sekalipun ada aspek non-teknis, semoga dan semoga bukan karena dirinya berasal dari etnis Tionghoa.

Tiap-tiap organisasi pasti punya skala prioritas. Semoga usaha FIFA dalam melawan rasisme, sama seriusnya dengan upaya Diego Costa untuk kembali berseragam Atletico Madrid. Semoga FIFA menempatkan rasisme sebagai kejahatan keji yang tak hanya melukai sportivitas, namun juga kemanusiaan.

Jika ini bisa dilakukan, tidak hanya rasisme saja yang bisa ditendang keluar, tetapi juga berhasil membentengi pikiran kita dari aneka macam bentuk rasisme, hingga pada akhirnya mencegah rasisme masuk ke dalam sepakbola. Agar jangan sampai, seorang pecinta sepakbola berlaku rasis sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Jujur saja, itu mengerikan.

Tulisan ini dibuat agar sepakbola dirayakan dengan penuh suka cita tanpa rasa takut dihina.

Penulis adalah seorang lawyer. Biasa berkicau di akun Twitter @agungbowo26


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar