Geliat Sepakbola Suriah di Tengah Kecamuk Perang

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Geliat Sepakbola Suriah di Tengah Kecamuk Perang

Suriah menjadi tim kejutan di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 konfederasi AFC. Mereka mantap berada di posisi tiga klasemen akhir Grup A dengan 13 poin, tertinggal dua angka dari Korea Selatan yang berada di posisi dua. Tapi mereka unggul selisih gol dari Uzbekistan yang berada di peringkat empat juga dengan raihan 13 poin dari 10 pertandingan.

Hasil tersebut memang belum sepenuhnya membuat Suriah menggenggam tiket lolos ke Piala Dunia di Rusia, tapi kesempatan itu masih terbuka lebar andai mereka berhasil melewati babak play-off Interkontinental. Bagi kesebelasan lain yang punya tradisi bagus di Piala Dunia seperti Korea Selatan, Jepang, atau mungkin Arab Saudi, tampil di babak play-off mungkin merupakan sebuah bencana, tapi bagi Suriah ini adalah setitik berkah yang patut disyukuri.

Terlepas dari ‘kegagalan’ mereka lolos otomatis ke Piala Dunia, penampilan Suriah di babak kualifikasi tetap mendapat atensi luar biasa. Memang, siapa juga yang menduga kalau Suriah bisa berbicara banyak di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2018, Rusia, Zona Asia?

Pertanyaan tersebut mungkin lebih bersifat skeptis dan agaknya meremehkan, tapi cukup wajar mengingat kondisi negara mereka yang terbelenggu perang. Kondisi kehidupan sosial di Suriah sangat mencekam, orang-orang mungkin menganggap Suriah sebagai negara yang pahit karena konflik.

Tapi sepakbola telah menjadi salah satu elemen penting bagi masyarakat Suriah sehingga baik dalam kondisi apapun, sepakbola tetap berdenyut sebagai komoditas utama hiburan masyarakatnya yang setiap hari disuguhi suara-sara ledakan mortir senjata militer yang menggema di setiap malam.

Kompetisi yang Tetap Berjalan dengan Segala Keterbatasan

Denyut sepakbola di Suriah tetap bergelora meski tak bisa dimungkiri berada dalam keterbatasan geografis dan ekonomi. Dalam kurun waktu yang cukup lama, meski perang melanda, kompetisi tetap berjalan, meski hanya ada dua kota yang menjadi poros penyelenggaraan kompetisi di sana.

Damaskus dan Latakia adalah pusat dari nadi sepakbola yang terus berdenyut di Suriah. Dua kota tersebut dianggap menjadi wilayah paling aman lantaran berada dalam kontrol Pemerintah. Sementara lainnya, masih dikuasai oleh pemberontak sebagai oposisi Pemerintahan Presiden Bashar Assad.

Pada bulan Januari 2017, perlahan namun pasti pemerintah berhasil merebut beberapa kota dari para pemberontak, yang salah satunya adalah Aleppo. Setelah mati suri selama lima tahun, sepakbola di Aleppo kembali berdenyut karena perang, pertandingan antara Al Ittihad SC melawan Al Hurriya sebagai derbi Aleppo bisa dibilang sebagai penanda dari kebangkitan sepakbola di Aleppo. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu beberapa wilayah kemudian berhasil diambil alih pemerintah, salah satunya adalah Horms.

Kembalinya sepakbola ke daerah-daerah menunjukkan semangat dan keinginan pemerintah untuk menggunakan permainan tersebut sebagai visual dari kehidupan masyarakat Suriah yang telah kembali normal di tengah perang yang berkecamuk. Tapi kondisinya tentu saja tidak semenggembirakan yang dibayangkan.

Perang masih berkecamuk, ekonomi Suriah belum stabil. Jangankan untuk mendanai sepakbola, untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya pun agaknya masih terlalu sulit mengingat penurunan mata uang mereka yang melonjak tajam.

Pendanaan dari swasta sangatlah minim untuk pendanaan kompetisi. Federasi pun tidak memiliki banyak dana untuk menghidupi kompetisi. Salah satu sumber pendanaan agar sepakbola tetap berdenyut melalui pemerintah.

Tapi, itu pun tidak terlalu signifikan. Dilansir dari BBC, gaji rata-rata seorang pemain Suriah yang di liga domestik hanya 200 US Dolar per-bulan, sekitar Rp. 2.600.000. Tapi bagi standar kehidupan di Suriah itu adalah upah yang cukup tinggi.

Sementara untuk kesebelasan yang memenangkan gelar juara liga hadiah yang diterima hanya 10 ribu US Dolar atau setara Rp. 133 juta. Hal tersebut membuat kesebelasan pun tak memiliki dana lebih untuk menggaet pemain asing.

Bermain di Luar Negeri

Meski begitu, siasat untuk mengembangkan sepakbola di Suriah tidak hanya mengandalkan kompetisi domestik sebagai poros utama pembentukan tim nasional. Para pemain asal Suriah yang memiliki kualitas di atas rata-rata disarankan untuk bermain di luar negeri. Selain karena penghasilan yang didapat akan jauh lebih besar, mereka juga akan mendapatkan pelatihan dan fasilitas olahraga yang lebih layak.

Timnas Suriah yang tampil di kualifikasi Piala Dunia 2018 berkekuatan 23 pemain, mayoritas dari jumlah tersebut bermain di luar negeri. Beberapa bahkan menjadi banyak pemain bintang di negeri orang. Salah satunya adalah Ahmad Al Salih, yang bermain untuk Henan Jianye di Tiongkok. Kemudian Firas Al-Khatib salah satu pemain yang paling berpengalaman untuk Al Kuwait, lalu Omar Kharbin yang bermain di Arab Saudi bersama Al-Hilal, dan masih banyak lainnya.

"Kami ingin pemain kami bermain di luar Suriah, kami membutuhkan pemain kami untuk bermain di luar Suriah,” kata asisten pelatih timnas Suriah, Tarek Jabban, seperti dikutip dari BBC.

"Secara umum situasi ekonomi di Suriah sekarang sulit dan tentu saja ini mencerminkan olahraga. Saya mengenal banyak anggota tim dan saya berhubungan dengan mereka dan mereka semua menghadapi kondisi kehidupan yang sangat sulit,” lanjut salah satu pesepakbola Suriah, Mohannad Ibrahim.

“Begitu banyak dari mereka yang mencari kesempatan untuk pergi dan bermain secara profesional di luar negeri sehingga mereka bisa pergi dan membawa keluarga mereka keluar dari negara untuk memiliki kehidupan yang lebih baik," sambung Ibrahim.

Mencari Bibit Pesepakbola Unggulan dari Kamp Pengungsian

Tak bisa dimungkiri bahwa Suriah memiliki pemain-pemain sepakbola yang bagus, tapi pertanyaannya saat ini adalah bagaimana cara mereka untuk meregenerasi pemain-pemain seperti Ahmad Al Salih atau Firas Al-Khatib di masa yang akan datang? Jawabannya, meski dalam kondisi kehidupan yang tengah bergejolak karena perang, Suriah tetap memiliki basis pembinaan pesepakbola muda dengan caranya sendiri.

Perang di Suriah telah merenggut sebagian besar kebahagiaan yang dimiliki oleh masyarakat di sana. Banyak keluarga yang terpisah dan kehilangan tempat tinggal karena perang. Namun setidaknya mereka masih memiliki harapan untuk menata kembali kehidupan yang hancur. Di beberapa wilayah di daerah perbatasan, berdiri banyak kamp pengungsian bagi masyarakat Suriah yang tempat tinggalnya telah menjadi puing-puing karena dihantam mortir.

Di kamp tersebut sepakbola tumbuh berkembang sebagai salah satu wahana bagi anak-anak untuk melepaskan trauma mereka dari perang. Melalui bantuan yang diberikan UEFA dan program pengembangan pemain muda Asia di beberapa wilayah pengungsian, program sepakbola di dorong untuk membuat anak-anak bisa melepaskan trauma dan ketakutan akibat perang.

Namun di beberapa wilayah seperti misalnya, Tarmac, program pembinaan sepakbola dilakukan dengan sistem dan metode yang jauh lebih serius. Anak-anak di sana diajarkan teknik dasar sepakbola dengan seorang pelatih lokal yang punya pengalaman yang bagus dalam bidang tersebut.

"Semua anak ini melihat perang. Perang, bahkan untuk orang dewasa sekalipun akan sulit dilihat, semua pembunuhan dan semua darah. Ketika kali pertama mereka datang ke sini, sulit bagi mereka untuk meninggalkan karavan mereka, tapi setelah itu mereka mulai menyesuaikan diri dengan situasi ini,” kata Adullah al Nahhasis, koordinator proyek tersebut.

"Awalnya untuk anak laki-laki tapi ketika kami melihat beberapa gadis tertarik, kami menawarkannya kepada mereka, jadi pada akhirnya kami bisa membuat semua anak perempuan dan anak laki-laki begitu bahagia sekarang," sambungnya.

Selama empat tahun proyek tersebut berjalan, perkembangannya sudah semakin pesat saat ini. Tercatat secara terorganisir ada 12 kesebelasan yang mewakili berbagi distrik di kamp pengungsian masyarakat Suriah, Bahkan LSM dan Badan amal juga memiliki beberapa tim sepakbola yang membuat geliat permainan 11 lawan 11 itu bagi anak-anak di Suriah berdenyut.

"Olahraga tidak ada hubungannya dengan politik, Kita harus maju dan olahraga memiliki sebuah pesan dan kita harus menyampaikan pesan ini. Jika tim Suriah bermain dengan negara lain, pasti dan dari lubuk hatiku aku akan mendukungnya,” kata Al Khalaf, salah satu pelatih di kamp pengungsian Suriah.

***

Saat ini Suriah masih berjuang untuk lolos ke Piala Dunia 2018, masih cukup berat karena lawan-lawan tangguh masih menanti mereka di babak play-off. Selain itu, tentu cukup menarik juga untuk mengetahui bagaimana perjuangan mereka selama berkiprah di babak Kualifikasi. Selengkapnya, bisa dilihat dalam tulisan berjudul "Perjuangan Berat Suriah di Babak Kualifikasi Piala Dunia 2018"

Foto: Worldsoccer, BBC, Hindustan Time

Komentar