Perang Nasionalisme dalam Duel El Super Clasico Meksiko

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Perang Nasionalisme dalam Duel El Super Clasico Meksiko

Sepakbola bisa dibilang olahraga terbesar penikmatnya di Meksiko. Dan rakyat Meksiko selalu menantikan satu pertandingan sepakbola terbesar yang bertajuk El Súper Clásico. Membayangkan nama El Súper Clásico, kita mungkin melihat campuran antara laga El Clásico (Barcelona vs Real Madrid) dengan Superclásico (Boca Juniors vs River Plate) yang membuat laga ini akan sangat panas.

Meskipun kenyataannya tidak demikian, laga yang mempertemukan antara Club América dengan C.D. Guadalajara ini tetap menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Kedua kesebelasan itu adalah kesebelasan yang paling sukses di Liga Meksiko.

Masing-masing mengoleksi 12 gelar Liga Meksiko yang belum bisa disamai kesebelasan lain. Kesebelasan yang hampir menyamainya sejauh ini hanya Toluca dengan 10 gelar. Club América dan Guadalajara sama-sama memiliki pendukung yang besar di Meksiko. Apalagi kedua kesebelasan itu berasal dari dua kota besar di negara tersebut.

Club América merupakan kesebelasan dari Mexico City yang merupakan ibu kota Meksiko. Di sanalah roda perekonomian Meksiko berputar yang harus menghidupi sekitar 20.892 jiwa lebih. Kota tersebut menjadi tempat di mana kita selalu bisa bertemu dengan orang lain setiap kaki kita melangkah. Tapi, pemandangan akan lebih sepi jika berjalan pada akhir pekan. Sebagian masyarakat di sana akan lebih memilih istirahat dari rutinitas penuh di ibu kota. Atau lebih memilih menyaksikan Club América di Stadion Aztec yang merupakan gelanggang sepakbola terbesar di Meksiko dan bahkan Amerika Latin.

Club América didirikan pada 1916 ketika sepakbola sedang populer-populernya di kalangan mahasiswa di Mexico City. Kemudian mahasiswa dari Colegio Mascarones dan Colegio Marista de la Perpetua membentuk kesebelasan sepakbola dengan nama Record dan Colon. Mereka selanjutnya sepakat bergabung membuat kesebelasan baru yang bernama Club América. Nama kesebelasan itu diambil karena bertepatan dengan hari Christoper Colombus menemukan Benua Amerika pada 12 Oktober.

Club América pun menjadi satu-satunya kesebelasan sepakbola di Mexico City pada waktu itu sebelum adanya Cruz Azul. Maka cukup lama Club América membangun kesebelasannya ditambah dengan situasi perekonomian ibu kota yang membuatnya semakin besar. Situasi itu membuat Club América bisa dibilang sebagai kesebelasan terkaya di Liga Meksiko sampai saat ini. Club América lebih mampu mendatangkan pemain-pemain asing terkemuka.

Claudio Lopez, Ivan Zamorano, dan pemain-pemain top yang pernah berkarier di Eropa lainnya pernah didatangkan Club América. Tapi kekayaan dan kepopuleran Club América pun bisa dibilang menjadi kesebelasan paling dibenci di Meksiko. Selera Club América membeli pemain asing berbeda dengan kesebelasan lain yang pada umumnya memproduksi bakat-bakat sepakbola negara itu sendiri. bukan kebetulan juga Guadalajara menjadi kesebelasan yang paling membenci Club América.

Guadalajara berasal dari kota terbesar kedua di Meksiko setelah Mexico City. Tapi jumlah populasi penduduknya kalah jauh dari ibu kota tersebut. Penduduk di Jalisco mencapai 4.796 lebih. Tapi jumlah itu mengalahkan kapasitas penduduk dari kota-kota lain seperti Monterrey, Puebla, Toluca, dan lainnya. Walau sama-sama dari kota besar soal antusiasme dan prestasi sepakbola, Guadalajara berbeda filosofi dengan Club América.

Mereka memiliki tradisi lebih mengandalkan pemain hasil tempaannya sendiri daripada belanja pemain asing. Contoh pemain-pemain produksi mereka adalah yang saat ini masih aktif bermain seperti Carlos Salcido, Carlos Vela, Francis Rodriguez, Javier "Chicharito" Hernandez, Marco Fabian, dan Omar Bravo. Padahal Guadalajara didirikan Edgar Evaraert yang merupakan pemilik Club Brugge KV dari Belgia pada 1906.

Baca juga: Rodrigo Bentacur dan Impiannya Bermain di Kesebelasan Top Eropa.

Kesebelasan ini juga yang pertama dari gabungan pemain-pemain Meksiko, Belgia, dan Prancis. Sebagian besar pemain mereka adalah karyawan toko di Jalisco. Barulah dua tahun kemudian, Guadalajara berkomitmen akan lebih mengandalkan pemain-pemain dari negerinya sendiri. Hal itu tidak lepas dari adanya penindasan dari warga non-Meksiko yang marak di Jalisco sekitaran 1908.

Kendati mengandalkan mayoritas pemain asli Meksiko, Guadalajara tetap mampu menyamai raihan 12 gelar juara Liga Meksiko milik Club América. Bersama Club América, mereka juga belum pernah degradasi dari Liga Meksiko. Dan jika kedua kesebelasan tersebut bertanding, penggemar sepakbola di Meksiko seolah terbagi dua. Pertemuan kedua antara kedua kesebelasan paling populer dan sukses di Meksiko ini bernama El Súper Clásico.

Pertandingan tersebut menjadi yang paling besar di CONCACAF (Konfederasi Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Kepulauan Karibia) dan berada di peringkat ke-12 sebagai pertandingan terbesar versi FourFourTwo.

Peringatan El Súper Clásico pertama

Kemarin adalah peringatan pertandingan pertama El Súper Clásico yang digelar pada 1 Agustus 1943. Laga itu dimenangkan Guadalajara dengan skor 1-0. Tapi pertandingan baru panas ketika pertemuan kedua pada 1943 karena Guadalajara justru kalah dengan skor 7-2.

Kekalahan besar itu memicu rasa malu dan marah di jajaran Guadalajara yang usianya lebih tua sekaligus memenangkan pertemuan perdananya. Dari situlah Guadalajara selalu ngotot di setiap pertandingan El Súper Clásico sehingga permainan menjadi panas di atas lapangan. Barulah pada 1950-an dan 1960-an, Guadalajara mendominasi juara Liga Meksiko yang lebih profesional.

Sementara Club América terus membangun kekuatan, salah satunya karena keluarga Azcarraga selaku pemilik kesebelasan terus menyuntikkan dana besar-besaran. Uang itu dipakai untuk merekrut bakat-bakat dari luar negeri dan membangun Stadion Aztec sejak 1966. Stadion itu pun rampung setelah Club América memenangkan gelar juara 1965/1966. Kemudian barulah Club América lebih mendominasi Liga Meksiko 1970-an dan 1980-an.

Bangkitnya Club América membawa kebencian kesebelasan lain terutama Guadalajara. Mereka sering mengkritik gaji tinggi para pemain asing rivalnya tersebut. Atas ketatnya persaingan Club América dengan Guadalajara itulah yang menciptakan nama El Súper Clásico di setiap pertemuannya. Bahkan ada nama lain, yaitu Clásico Nacional karena kedua kesebelasan tersebut mewakili popularitas sepakbola di Meksiko.

Sampai terjadilah kerusuhan besar yang dinamai La Bronca del 83 (Kekacauan 83). Kerusuhan itu terjadi pada 1983 yang melibatkan pemain, jajaran pelatih, dan pendukung kedua kesebelasan sampai membuat pertandingan dihentikan 18 menit. Hasilnya, 22 pemain dihukum akibat La Bronca del 83. Itu adalah tragedi pertemuan dengan intensitas paling tinggi dan belum terulang lagi sampai sekarang di El Súper Clásico.

Kendati demikian, pertarungan El Súper Clásico selalu memiliki atmosfer panas walau sebetulnya pemain kedua kesebelasan saling mengenal dan akrab di luar pertandingan. Gullermo Ocoha yang pernah memperkuat Club América pun mengakui memiliki banyak teman di Guadalajara. Apalagi harus bahu membahu ketika memperkuat tim nasional Meksiko. Tapi ia tetap ngotot untuk mempertahankan kemenangan di setiap pertandingan El Súper Clásico.

"Di akhir pertandingan, tidak buruk untuk memeluk lawan. Tapi saya tidak akan menukar jersey saya meskipun karena itu ada sesuatu kedekatan dengan Anda. Saya tidak ingin memiliki jersey Guadalajara," cetus Ochoa yang sekarang memperkuat Standard Liege, seperti dikutip dari Soccer 365.

Walau Liga Meksiko jarang terjamah, tapi pertandingan El Súper Clásico akan selalu menjadi persaingan nasional abadi bagi penikmat sepakbola di sana. Sebab pertemuan itu menggabungkan unsur regionalisme, ekonomi, kebanggaan nasionalisme serta sejarah panjang sepakbola klasik di Meksiko.

Komentar