Hapus Saja "Rivalitas" dari Kamus Sepakbola!

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Hapus Saja "Rivalitas" dari Kamus Sepakbola!

Oleh: Joko Priyono

Sejauh ini saya hanya bisa menjelaskan istilah “rivalitas” dengan menyitir dari apa yang dikatakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Memang, sangat sulit sekali dalam mengartikan makna kata tersebut.

Toh, pada akhirnya, setelah tidak mendapatkan referensi, kita akan menganggap KBBI sebagai sebuah kitab suci yang dengan apa saja yang ada di sana sebagai hal yang harus dipercaya dan diyakini. Bahkan seringkali dijadikan sesuatu yang bersifat dogmatis. KBBI, setidaknya menyebutkan arti “rivalitas” ke dalam beberapa hal, yaitu; perihal rival; pertentangan; permusuhan; dan persaingan.

Setidaknya, dalam kamus di dunia persepakbolaan, kata “rivalitas” sangat sering sekali digunakan. Penggunaan tersebut berakar pada dua kesebelasan yang terdefinisi dari: persaingan antara kesebelasan yang satu dengan yang lainnya, sejarah berdiri masing-masing kesebelasan, jumlah trofi yang telah didapatkan, loyalitas kelompok pendukungnya, hingga catatan-catatan paling terbaik ataupun paling buruk yang pernah diukir dari pertemuan yang telah dilakukan kesebelasan-kesebelasan tersebut. Imbasnya, adagium “musuh bebuyutan” menjadi frasa yang melekat dalam pemahaman “rivalitas” itu sendiri.

Namun, sampai kapankah kita memaknai “rivalitas” dengan terus-menerus mendangkalkan otak? Rivalitas pada akhirnya hanya bermuara pada kesebelasan yang satu akan selalu bertentangan dengan kesebelasan rivalnya, para kelompok pendukung kesebelasan yang satu akan selalu bertentangan dengan kelompok pendukung kesebelasan rivalnya, hingga pelatih maupun ofisial kesebelasan yang satu selalu bertentangan dengan pelatih maupun ofisial kesebelasan rivalnya.

Yang ada dari sikap tersebut hanyalah emosi semata, suka menyulut kemarahan, pertengkaran, saling mengancam, bertindak subversif, maupun bersikap semena-mena. Dari kesemuanya itu membuat kita lupa satu hal yaitu: aspek kemanusiaan.

Apakah kebencian-kebencian yang dihasilkan dari kesalahan dalam menafsirkan istilah “rivalitas” ini akan terus kita pupuk? Sampai kapankah kita tidak mau belajar dari perihal maupun sikap-sikap bodoh yang pernah kita lakukan dengan mengatasnamakan “rivalitas”? Ataukah memang, inilah yang banyak terjadi di persepakbolaan kita dalam memandang istilah “rivalitas”?

Apakah pemaknaan “rivalitas” itu bahwasanya kita gemar emosi, suka menyulut kemarahan, senang bertengkar, saling mengancam, bertindak subversif dan bersikap semena-mena sejak dalam pikiran dan perbuatan?

Sepakbola merupakan olahraga kolektif yang banyak menaruh perhatian dari para penghuni di muka bumi ini. Ia merupakan permainan yang terdiri dari banyak orang, dengan satu syarat yang niscaya: adanya lawan. Bukan musuh. Karena lawan itu hanya kita hadapi ketika kita bermain dalam sebuah tempat yaitu lapangan sepakbola. (Selengkapnya: Empat Hal Keliru dari Suporter Sepakbola Indonesia)

Selebihnya? Jika memang pertandingan usai, kita harus kembali pada sediakala. Hal yang utama dalam sepakbola adalah lawan. Urusan menang maupun kalah merupakan hal yang kesekian kalinya. Bukankah itu merupakan hal sebenarnya yang disebut keindahan dari sepakbola itu sendiri? Bukankah menikmati pertandingan itu lebih baik ketimbang mencela pertandingan saat kita tidak mendapatkan kepuasan dalam sepakbola?

Belajar dari Sejarah

Di salah satu bagian dari buku dengan judul How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization atau terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu Memahami Dunia Lewat Sepakbola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi, Franklin Foer menceritakan pengamatannya di salah satu pertandingan yang mungkin lazim kita kenal sebagai salah satu pertandingan dengan bumbu rivalitas yang kentara. Pertandingan tersebut mempertemukan Glasgow Celtic melawan Glasgow Rangers.

Menurutnya, hari pertandingan antara Celtic dengan Rangers selalu menjadi hari yang paling rawan gesekan. Pertikaian antara kedua seteru yang menghuni satu kota ini telah menghasilkan kisah-kisah horor persepakbolaan. Hal tersebut bisa tergambar pada beberapa contoh, di antaranya adalah ada yang ditolak bekerja karena mendukung kesebelasan lawan, serta ada suporter yang dibunuh karena mengenakan jersey di lingkungan yang salah. Seakan-akan, yang terjadi adalah tidak ada yang lebih dibenci selain tetangga sendiri.

Ironis, dalam perkembangannya, perseteruan di antara kedua kesebelasan tersebut sudah bukan berada pada batas kebencian. Tapi lebih dari itu. Bagaikan perseteruan yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan Reformasi Protestan, yel-yel yang begitu dogmatis, yaitu “lutut kami berkubang darah orang Feni” identik dengan pendukung kesebelasan Glasgow Rangers yang Protestan.

Saat berada di kandang, di Stadion Ibrox, mereka leluasa dalam menyusun narasi yel-yel. Salah satunya yang pernah dilakukan adalah “kalau kau benci bangsat-bangsat Feni tepuk tanganlah!”. Istilah “Feni” ini merujuk pada pendukung kesebelasan Glasgow Celtic yang turun-temurun Katolik.

Pada akhirnya, kalau kita hanya terus menerus merawat kebebalan, anti-pemahaman dalam menafsirkan istilah “rivalitas” maka selamanya kita hanya akan berkutat pada tindakan semacam emosi, konflik, kemarahan, pertengkaran, perpecahan, tindakan rasis, saling mengancam maupun intimidasi, bertindak subversif, bersikap semena-mena dan semaunya sendiri hingga yang terparah adalah tindakan pembunuhan. Jadi, kalau memang begini, hapus saja istilah “rivalitas” dari kamus sepakbola!

Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Fisika di salah satu kampus di daerah Surakarta. Peminat Kajian Sains dan Teknologi. Berumah di @jokoprii


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar