Tidak Ada yang Pasti di Bursa Transfer

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tidak Ada yang Pasti di Bursa Transfer

Bulan Juli atau Januari akan menjadi waktu paling sibuk bagi semua elemen di sepakbola Eropa. Sebab, saat memasuki dua bulan tersebut maka kesebelasan-kesebelasan khususnya yang berasal dari Eropa bisa mendatangkan pemain baru. Tentunya kesibukan kemudian melanda para agen yang sibuk lobi sana, lobi sini untuk mencarikan klub bagi pemainnya.

Kemudian media yang sibuk melempar rumor hingga memberitakan kepastian proses perekrutan pemain, dan yang pastinya adalah klub serta pemain itu sendiri yang memegang peran utama dalam pertunjukan drama berjudul bursa transfer.

Semarak bursa transfer tak jarang membuat sebuah kesebelasan kalap, bahkan membuat beberapa dari mereka berani menggelontorkan dana besar untuk mendatangkan pemain buruannya itu. Hal tersebut yang kemudian membuat pada setiap musimnya memunculkan pemain dengan label termahal dunia, yang pada musim lalu disandang oleh Paul Pogba.

Gelandang asal Prancis itu didatangkan atau lebih tepatnya dipulangkan Manchester United dari Juventus dengan mahar sebesar 89.3 juta paun. Nilai tersebut melampaui rekor transfer Gareth Bale yang didatangkan Real Madrid dari Tottenham Hotspur dengan harga mencapai 77 juta paun.

Gegap gempita tentunya akan menyelimuti seluruh anggota tim, tak terkecuali para suporter ketika pemain incaran berhasil didapatkan. Apalagi kalau pemain yang berhasil didatangkan itu punya reputasi yang sangat bagus. Sehingga tak heran kalau ekspektasi membuncah pada sang pemain agar bisa memberikan kejayaan bagi sebuah kesebelasan.

Tapi semua masih sebatas harapan, karena realitasnya baru bisa dirasakan saat jendela transfer ditutup dan kompetisi kembali bergulir. Beberapa pemain sukses memenuhi ekspektasi klub dan penggemar dengan penampilan memukau, hingga sukses memberikan kejayaan.

Namun tak sedikit pula pemain yang justru hanya mengundang kekecewaan karena penampilannya tidak sesuai harapan. Alih-alih memberikan prestasi, memberikan kontribusi yang setidaknya mampu mengangkat performa tim yang telah merekrutnya pun tak bisa.

Kasus seperti itu bukan hal yang aneh dalam sepakbola, bahkan di kompetisi Eropa yang notabene dikenal paling kompetitif. Bahkan tidak sedikit status pembelian gagal itu dicap pada pemain yang didatangkan dengan harga mahal.

Contohnya adalah Andy Carroll yang didatangkan Liverpool dari Newcastle United dengan mahar 35 juta paun pada tahun 2011 lalu. Bagi The Reds itu adalah dana terbesar yang pernah mereka keluarkan untuk membeli pemain.

Keberanian Liverpool memboyong Carroll saat itu dengan harga mahal tak terlepas dari penampilan apik penyerang jangkung itu bersama Newcastle sebelumnya. Sayang, ekspektasi yang membumbung pada sosok Carroll kemudian sirna.

Kontribusi penyerang Inggris itu dinilai minim kontribusi, dari total 58 penampilan, ia hanya mencetak 11 gol. Carroll kemudian dijual pada musim 2013/2014 ke West Ham United dengan harga 15 juta paun.

Pada musim 2016/2017 beberapa klub juga mengalami kerugian karena pemain yang didatangkan gagal memenuhi ekspektasi. Barcelona misalnya yang menderita kerugian secara materil karena beberapa rekrutannya seperti Jasper Cillesen, Denis Suarez, Lucas Digne, hingga Paco Alcacer gagal bersinar di Nou Camp. Mereka bahkan jarang diturunkan.

Ada Beberapa Faktor

Tidak ada yang patut untuk disalahkan atau menanggung beban dosa dalam kasus pembelian gagal yang dilakukan oleh sebuah kesebelasan. Sebab tidak ada hitungan pasti soal performa seorang pemain ketika berada di klub baru.

Selain itu gagal meningkatnya performa pemain setelah pindah dari satu klub ke klub lain juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya ketidakcocokan atau kesulitan beradaptasi dengan skema yang diterapkan oleh pelatih di klub barunya.

Atau bahkan dengan gaya permainan atau atmosfer kompetisi yang berbeda. Contohnya adalah Claudio Bravo yang sebelumnya begitu tangguh di bawah mistar Barcelona. Namun ketika pindah ke Manchester City pada 2016 lalu, penjaga gawang asal Chili itu lebih banyak dijadikan pelapis bagi Willy Caballero oleh Joseph Guardiola.

Ada pula yang meredup sinar kebintangannya karena sang pemain gagal bersaing dengan pemain lama. Contohnya adalah Jese yang menjadi pembelian gagal Paris saint Germain (PSG) pada musim lalu. Penyerang asal Spanyol itu kalah saing dengan beberapa penyerang PSG seperti Edinson Cavani, Angel Di Maria, atau bahkan Lucas Moura. Selain itu, Jese juga kerap tampil di bawah form terbaiknya. Akibatnya ia kemudian kesulitan mendapat tempat dan akhirnya dipinjamkan ke Las Palmas.

***

Menilai kegagalan atau keberhasilan transfer yang dilakukan kesebelasan memang hanya bisa dilihat dari performa dan kontribusi dari pemain itu sendiri, saat kompetisi sudah bergulir. Artinya tidak ada yang pasti dalam sebuah proses transfer.

Tidak ada jaminan bahwa pemain dengan label harga mahal juga statistik mengagumkan di klub sebelumnya bisa bersinar di tim barunya. Intinya tidak ada yang pasti dalam sepakbola, sekalipun itu soal pemilihan pemain di bursa transfer.

Meski sulit dihindari, namun kesalahan di bursa transfer sebenarnya bisa sedikit diminimalisir. Salah satunya dengan meredam ego atau gengsi untuk merekrut pemain berlabel bintang dengan harga mahal.

Sebab tidak semua pemain dengan label tersebut bisa memberikan jaminan kejayaan bagi sebuah klub. Selain itu dibutuhkan pula kejelian dari seorang pelatih dalam urusan melihat potensi pemain buruannya itu, apakah cocok dengan skema yang ingin diterapkan atau tidak.

Komentar