Pentingnya Seorang Komentator Bola bagi Kaum Difabel 

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pentingnya Seorang Komentator Bola bagi Kaum Difabel 

Oleh: Robandi

Mulanya adalah sebuah ungkapan kekesalan seorang kawan terhadap peran komentator. Menurutnya, komentator itu sangat mengganggu setiap kali menikmati pertandingan sepakbola saat nonton bareng di sebuah warung kopi di Yogyakarta.

Ia menganggap peran komentator tidak lebih mulia dari seorang pemungut bola di tepi lapangan. Sok analitis, berisik, melucu tapi tidak lucu, nggaya, cerewet, dan lain sebagainya. “Itu semua sangat menjengkelkan,” umpat seorang kawan ditujukan kepada komentator yang tentu tidak ditanggapi sang komentator sama sekali.

Tentu saya menghargai itu karena setiap orang memiliki pendapat subjektifnya masing-masing, tapi sebelum dia mendengar pengalaman saya perihal betapa pentingnya keberadaan komentator di sebuah pertandingan sepakbola. Berikut kisah yang saya ceritakan kepada teman saya. Begini kisahnya.

“Seorang muslim mendapat pahala ketika ia membacakan satu huruf Al-Quran saja. Begitu juga dengan para komentator bola”.

Saya masih ingat dua kalimat di atas diucapkan Uwa (istilah sebutan paman dalam bahasa Sunda) ketika saya berusia tiga belas tahunan usai menonton sebuah pertandingan sepakbola antar gang di lapangan kampung halaman di Cirebon. Awalnya saya menganggap dua kalimat itu pembuka ceramah Uwa sebagaimana orangtua seusianya yang gemar menasehati anak muda seusia saya. Sampai kemudian dua kalimat itu menjadi terang-benderang setelah Uwa menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya.

Lelaki tua yang sudah berusia kepala lima yang biasa saya panggil Uwa Roji itu seorang penggemar sepakbola sampai sekarang, terlebih kepada Manchester United. Ia adalah teman saya dan saya temannya yang setia menemaninya menikmati setiap pertandingan sepakbola di lapangan kampung, atau di sebuah siaran “radio batu-baterai”-begitu saya menyebutnya-sebelum akhirnya kami membeli televisi 14 inci yang dipajang di ruang tamu.

Ada yang aneh pikirku pada waktu itu dari cara Uwa menikmati setiap pertandingan sepakbola, entah itu pertandingan langsung di kampung, radio batu-baterai, atau televisi. Sebagai seorang pemuda yang sedang dirundung banyak pertanyaan dan rasa penasaran dan nakal, keanehan itu sekonyong-konyong saya sampaikan begitu saja dalam kalimat tanya yang kini saya sadari sangat lancang.

“Bagaimana Uwa bisa menikmati sepakbola kalau mata Uwa tidak bisa melihat?”

“Mendengar komentator bola,” jawabnya dengan santai sambil menghisap rokok di tangan kanannya yang memercikkan bara jatuh di pangkuan kakinya yang bersila. Ia tersentak. Saya hanya manggut-manggut.

Pernah suatu kali siaran pertandingan sepakbola di televisi mengalami kesalahan teknis yang mengakibatkan suara komentator lenyap seketika dan hanya menyisakan gemuruh para suporter. Saat itu pula Uwa menyuruh saya menggantikan posisi sang komentator untuk mendeskripsikan kondisi pertandingan yang masih berlangsung sampai suara sang komentator terdengar kembali. Melalui suara sang komentatorlah ia mengetahui si kulit bundar sedang di mana, dengan siapa, dan berbuat apa.

Pun saat ada pertandingan sepakbola di lapangan. Kehadarian Mang Akri sebagai komentator bola sangat dibutuhkan. Uwa sangat fokus mendengarkan suara Mang Akri yang mendeskripsikan dengan lantang jalannya pertandingan melalui pengeras suara yang dipinjam dari mushola.

Uwa bisa ikut bersorak-sorai ketika Mang Akri berteriak “Goooollll” atau “si penyerang sedang mengambil ancang-ancang untuk menendang” atau ikut melenguh ketika sang komentator juga melenguh “oh sayang sekali si kulit bundar melebar ke sisi gawang”. Bagi Uwa setiap kata informasi yang disampaikan seorang komentator menjadi pahala bagi mereka.

Pengalaman itu terus saya ingat sampai beranjak dewasa dan merantau ke kota lain. Di kampus saya banyak belajar dari teman-teman difabel netra yang tidak kalah dari seorang fanatik sebuah tim sepakbola. Mulai dari info transfer pemain, jadwal, skor, taktik, analisis suatu pertandingan, sampai memiliki tim favorit masing-masing. Angger Hendro Wibowo salah satunya.

Hendro-begitu ia dipanggil-seorang Manchunian tulen asal Tegal yang tidak pernah melewatkan pertandingan-pertandingan United. Ia senantiasa memperbaharui informasi seputar bola di portal-portal berita yang dikonversi ke dalam bentuk suara melalui aplikasi Jaws, atau sekadar menuliskan analisisnya usai menonton sebuah pertandingan.

Bagi Hendro, menonton atau mendengar adalah dua hal yang sama, hanya cara yang membedakan esensi seorang manusia untuk mengetahui sesuatu. Mengetahui merupakan hasil dari memahami sesuatu lewat tanda. Jika saya memahami tanda dengan penglihatan, ia memahami tanda melalui pendengaran.

Tanda itulah yang ada dalam peran para komentator seperti Bung Towel, Bung Titis, atau Bung Hadi Gunawan, dan lainnya saat di awal, tengah, dan akhir babak, sangat membantu Hendro dan Uwa saya mengetahui jalannya pertandingan.

Hendro tertawa saat saya menceritakan pengalaman dengan Uwa Roji. Ia bilang “bukan pahala, tapi memang itu sudah menjadi kewajiban para penyelenggara yang harus menyediakan kenyamanan bagi penontonnya”. Sepakbola semestinya bisa dinikmati semua kalangan, baik sebagai bagian dari aktifitas olahraga, sebuah kompetisi, penonton, dan lain sebagainya.

Union of European Football Associations (UEFA) merilis semacam panduan serta penjelasan tentang kebutuhan kaum difabel, salah satunya difabel netra dengan ketersediaanya audio. Rilis dengan judul Access For All tersebut bisa diunduh melalui portal UEFA sendiri. Dari Hendro pula, saya belajar banyak bagaimana mengenali kebutuhan kaum difabel. Menurutnya ada tiga poin dasar minimal yang mesti dipahami dalam konteks apapun, termasuk penyelenggara penayangan pertandingan sepakbola di Indonesia.

Pertama, akseptabilitas atau keberterimaan eksistensi difabel dalam dunia persepakbolaan yang harus tertanam dalam pemahaman penyelenggara sepakbola, sebagai contohnya adalah adanya gelaran Paralimpiade. Tanpa itu, sepakbola menjadi sebentuk hal eksklusif yang menyisihkan hak difabel sebagai subjek yang memiliki kebebasan.

Kedua, aksesibilitas yang memberikan kemudahan kaum difabel dalam mendapat sesuatu. Seperti adanya rambatan dan ram untuk difabel daksa pengguna kursi roda, guiding block di sepanjang jalan pintu masuk gerbang gedung stadion, serta adanya komentator bola bagi difabel netra. Contoh-contoh tersebut merupakan sebagian dari elemen penting bagi kaum difabel yang perlu adanya sebuah “desain universal” lanjut Hendro.

Ketiga, reasonable aksesibilitas yang mengharuskan partisipasi kaum difabel langsung dalam menyediakan, membuat, dan mengukur “desain universal” sebuah gedung stadion sepakbola. Hal itu untuk menghindari kekeliruan seperti: rambatan ram terlalu tinggi, guiding block yang berbelok-belok, dan lain sebagainya. Karena difabel sebagai orang yang mengalami dan mengaksesnya.

Maka dari itu, mengakhiri kisah pengalaman saya kali ini, sekali lagi, peran komentator sangat penting mengingat sebagai bagian dari elemen kebutuhan difabel netra dalam menikmati pertandingan bola khususnya. Jadi buat bung-bung komentator, saya adalah salah satu suporter yang mengagumi eksistensi bung-bung sekalian di setiap pertandingan. Bung-bung ada bukan untuk tidak berguna, tapi bagian dari upaya memberikan kenyamanan pertandingan sepakbola. Salam perkomentatoran sepakbola Indonesia.

foto: wharfedaleobserver.co.uk

Penulis adalah relawan di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Biasa berkicau di akun Twitter @Roba_ndi


Tulisan ini merupakan hasil dari kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar