Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek (Bagian 4)

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek (Bagian 4)

Tahun 1990-an dan awal 2000-an, pendukung Persebaya Surabaya bernama Bonek atau Bondho Nekat (modal nekat) dianggap ancaman sekaligus bahan lawakan. Dikatakan ancaman karena Bonek dicap sebagai suporter sepakbola yang akrab dengan kerusuhan, terutama ketika mengikuti pertandingan tandang Persebaya.

Jika ada jadwal tandang Persebaya dan diikuti para Bonek, kebanyakan warung-warung merasa terancam karena aksi-aksi penjarahan yang dilakukan mereka. Belum lagi kejadian konfrontasi antara Bonek dengan suporter-suporter kesebelasan lain yang daerahnya terlewati. Atau gesekan bisa tercipta dengan suporter yang menjadi tuan rumah pertandingan seperti yang terjadi dengan delapan besar Liga Indonesia 2005 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) kawasan Senayan, Jakarta.

Di sisi lain, Bonek yang nekat, sesuai kepanjangan nama mereka yaitu Bondho Nekat, menempuh ratusan kilometer dengan uang seadanya, tanpa alas kaki dan membawa gitar mini ukulele sebagai hiburan atau alat pencari uang di jalanan, menjadi bahan ejekan di setiap guyonan suporter kesebelasan sepakbola Indonesia lainnya.

Tapi di balik guyonannya, tetap saja Bonek merupakan salah satu kelompok suporter yang diwaspadai hampir seluruh suporter sepakbola di Indonesia atas aksi-aksi kenekatannya. Namun siapa yang sangka juga bahwa Bonek menjadi salah satu simbol perlawanan dan kepahlawanan Surabaya saat ini?

Pada 8 Januari lalu, status Persebaya resmi dipulihkan Federasi Sepakbola Indonesia (PSSI) setelah sekitar empat tahun vakum karena tidak diakui pada Kongres Luar Biasa (KLB) 2013. Dan Bonek adalah pemegang peran dalam pengembalian status dan hak Persebaya yang sesungguhnya karena sebelumnya diambil alih PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB). "Bahwa Surabaya ini Kota Pahlawan, harus berani membela kebenaran," tegas Andie Peci selaku juru bicara Bonek ketika diwawancara esklusif di Warung Kopi Pitulikur, Surabaya.

Sudah sekitar empat tahun Bonek melakukan berbagai aksi perjuangannya. Dalam kurun waktu itu juga ragam aksi dilakukan Bonek agar Persebaya yang asli dipulihkan statusnya di kompetisi resmi sepakbola Indonesia. Status sudah dipulihkan, rasa syukur dan pelaksanaan nazar ramai dilakukan. Semua sudah dilakukan oleh Bonek demi harga diri kepahlawanan Kota Surabaya dan Persebaya. Siapakah Bonek? Semua berawal dari....

Tret Tet Tet...!!!

Jauh sebelum terompet vuvuzela dianggap mengganggu pertandingan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, gemuruh bising itu justru menjadi cikal bakal dan ikon tersendiri bagi para pendukung Persebaya. Bunyi terompet menjadi gema dukungan di setiap pertandingan-pertandingan Persebaya pada kompetisi perserikatan yang digelar sejak 1930-an sampai awal 1990-an. Tet! Tet!! Tet!!! Kebisingan itu menjadi keramaian suasana dukungan pendukung Persebaya di kandang maupun tandang, terutama di kompetisi Perserikatan 1980-an.

Kemudian pada babak enam besar kompetisi perserikatan 1986/1987, bunyi dari terompet itu dijadikan seruan bagi halaman depan Jawa Pos di sebelah pojok kiri bawah sampai menghabiskan dua kolom. "Kita bentangkan kain rentang yang lebih besaaaaaar lagi. Kita tiupkan terompet yang lebih nyaring. Kita pukul genderang yang lebih keras. Mari kita kembali ke Jakarta: Tret tet teeettt!," begitu kiranya tulisan yang dicantumkan pada Jawa Pos edisi 4 Maret 1987 itu.

Kemudian Tret Tet Tet yang diciptakan Dahlan Iskan yang menjabat Pimpinan Redaksi Jawa Pos pada waktu itu pun menjadi istilah laga tandang tersendiri bagi pendukung Persebaya.

Mungkin zaman sekarang Tret Tet Tet bagi suporter sepakbola pada umumnya lebih dikenal dengan istilah laga tandang, bertandang atau away days. Tapi bagi kalangan pendukung Persebaya, istilah ikonik melancong ke kandang lawan adalah Tret Tet Tet. Bahkan sampai sekarang pun beberapa kelompok pendukung Persebaya atau media-media Surabaya masih memakai istilah Tret Tet Tet ketika kesebelasannya bertandang ke kandang lawan.

Bagi pendukung Persebaya, hadir memberi dukungan di kandang lawan sudah menjadi tradisi sejak kompetisi perserikatan. Di mana pun Persebaya bertanding, selalu diikuti para pendukungnya. Dukungan semakin deras ketika Persebaya bangkit pada kompetisi Perserikatan 1986/1987 hingga menjadi juara kedua. Pada laga puncak itulah nama Tret Tet Tet semakin sah menjadi ikon dari pendukung Persebaya yang menyaksikan pertandingan di luar Kota Surabaya. Apalagi saat partai puncak melawan PSIS Semarang, tentu saja banyak pendukung Persebaya yang ingin menjadi saksi sejarah secara langsung di GBK.

Saat itulah Jawa Pos membuka pendaftaran bertema Tret Tet Tet yang menjadi fenomena di kalangan pendukung Persebaya. Pendaftaran dibuka dengan berbagai harga bermacam-macam, dimulai 15.000 sampai 125.000. Berbagai macam harga itu memiliki paket mendapatkan tiket pertandingan, slayer, makan dan baju berwarna hijau bertulis Green Force yang bergambar wajah memakai ikat kepala bertulis "Persebaya".

Nama Green Force merupakan pemberian dari Zainal Muttaqien dari Jawa Pos yang sekarang menjadi pimpinan di Kaltim Pos. Adanya penyeragaman dan pengelolaan para pendukung Persebaya saat itu tidak lepas dari ilmu yang didapatkan Dahlan setelah studi tentang suporter di Inggris.


Baca juga: Kekerasan Masih Warnai Sepakbola Indonesia.


Penyeragaman yang digalakan Dahlan dimaksudkan agar pendukung Persebaya memiliki identitas karena suporter dianggapnya sebagai elemen penting bagi kebangkitan sebuah kesebelasan sepakbola. "Yang hebat dari Persebaya dan suporternya waktu itu adalah tahun-tahun itu belum ada suporter yang pakai seragam. Persebaya itu jadi pionir suporter yang memakai seragam, tret tet tet 135 bus berangkat dari Surabaya ke Senayan, itu suporter lain belum ada yang seperti itu. Bisa disebut suporter modern itu diawali dari Surabaya," kata Slamet Oerip Prihadi, mantan jurnalis dan redaktur Jawa Pos, ketika kami wawancara di kediamannya di Kawasan Tropodo Indah, Waru, Kabupaten Sidoarjo.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar