Asal Efektif, Menyerang atau Bertahan Tidak Masalah

Cerita

by redaksi

Asal Efektif, Menyerang atau Bertahan Tidak Masalah

Sudah dua hari setelah kemenangan tipis 1-0 Persib Bandung atas Persipura Jayapura berlalu. Namun, polemik soal kemenangan Persib atas Peripura masih saja ramai diperbincangkan khususnya di dunia maya. Banyak bobotoh menilai kalau kemenangan “Maung Bandung” atas “Mutiara Hitam” kurang bisa diterima karena permainan Persib yang cenderung bertahan, hingga membuat gaya main mereka terkesan monoton.

Seusai pertandingan, pelatih Persib, Djadjang Nurdjaman, mengakui hal tersebut. Pelatih yang akrab disapa Djanur itu memohon kepada bobotoh untuk lebih bersabar, sebab mempertontonkan permainan indah di dalam lapangan butuh proses. Apalagi, dengan adanya regulasi wajib memainkan tiga pemain muda sebagai starter.

“Saya mengakui regulasi tiga pemain muda ini membuat permainan kami masih belum nyaman. Mohon bersabar, buat kami sampai sekarang ini yang penting tiga poin," katanya seusai pertandingan.

Sebagai penggemar sepakbola, melihat permainan Persib saat menjamu Persipura di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu (7/5) lalu memang agak kurang menghibur. Namun, bila menelisik lebih dalam, terlihat bagaimana Persib mencoba untuk bermain lebih efektif. Mereka fokus mendisiplinkan lini pertahanannya dalam laga tersebut.

Terbukti, meski lebih banyak memegang bola, Persipura kesulitan untuk menembus kotak penalti Persib. Kejelian Supardi Nasir mengunci pergerakan Boas Solossa juga patut diacungi jempol, mantan pemain Sriwijaya FC ditugaskan berperan sebagai bek sayap kiri menggantikan peran Tony Sucipto. Penjagaan ketat Supardi, bisa membuat Boas tak berkutik. Akibatnya, “Mutiara Hitam” lebih banyak mengandalkan serangan dari sektor sayap kiri, yang dihuni pemain muda Friska Womsiwor.

Namun, terlepas dari hasil dan cara Persib untuk meraih kemenangan atas Persipura, terlihat masih adanya diskriminasi gaya bermain dalam dunia sepakbola. Saya menyebutnya diskriminasi taktik, ketika masih terlalu banyak supporter yang memuji-muji gaya permainan menyerang dan mengutuk tim yang tampil lebih bertahan.

Jose Mourinho bisa menjadi contoh lazim, karena gaya permainannya yang dianggap anti-football, karena cenderung bermain bertahan untuk mengamankan hasil. Tapi, apakah cara yang dilakukan Mourinho benar-benar mencederai nilai-nila dalam sepakbola?

Tidak salah memang, bila sebagai penggemar sepakbola lebih senang menyaksikan tim kesayangannya bermain menyerang seagresif mungkin untuk membuat gol sebanyak-banyaknya, sebagai tujuan utama dalam sepakbola. Dengan tampil lebih menyerang, kemungkinan untuk menciptakan gol akan lebih terbuka, karena presentase ancaman ke gawang lawan lebih banyak dilakukan bila dibanding tim yang fokus menumpuk pemain di kotak penalti. Tapi, bukan berarti tim yang cenderung bertahan tidak memiliki peluang untuk memenangkan pertandingan.

Yunani dengan Rehhagel yang berpola pikir pragmatis

Banyak contoh tim yang dalam gaya permainannya lebih fokus pada pertahanannya, namun kemenangan tetap berada di tangan mereka. Yunani misalnya yang sukses menjuarai Piala Eropa 2004 dengan gaya main pragmatis yang diusung oleh Otto Rehhagel. Doktrin Rehhagel kepada anak asuhnya saat itu sebenarnya sangat sederhana. Perkuat lini pertahanan, jangan beri celah kepada lawan untuk memasuki kotak penalti, lalu kirimlah serangan balik yang tidak harus cepat, tapi yang penting tertata dan tidak sembrono.

Hasilnya terbukti ampuh, Yunani secara tidak terprediksi mampu menjadi juara Piala Eropa (2004) untuk kali pertama dalam sejarah. Pencapaian luar biasa, karena mereka mampu mengandaskan perlawanan tim dengan gaya permainan menyerang seperti Spanyol atau Prancis. Dalam satu kesempatan, Rehhagel berpendapat permainan indah bukan hal yang menentukan di sepakbola modern, pelatih berkebangsaan Jerman itu berpendapat: "Siapa yang menang, dialah yang modern," ucap Rehhagel, seperti yang dikutip Sindhunata.

Mungkin, masih banyak yang berpandangan wajar bila Yunani menerapkan gaya permainan bertahan karena mereka merupakan tim berstatus medioker. Memang, banyak yang berpendapat kalau menerapkan gaya permainan bertahan adalah ciri dari mental tim medioker. Yunani, masuk dalam konteks tersebut.

Jerman yang tetap mengesankan walau "bertahan"

Bila memang gaya bermain bertahan merupakan ciri mentalitas tim medioker, lalu bagaimana nasib Timnas Jerman? Mereka, adalah raja sepakbola Eropa dengan gelar yang sulit ditandingi negara-negara Eropa lainnya. Saat memenangkan Piala Dunia 2014, tim asuhan Joachim Loew itu memainkan gaya permainan berbeda dari beberapa dekade sebelumnya.

Pada tahun 2006 dan 2010 mereka tercatat sebagai tim agresif soal gol. Pada Piala Dunia 2010 di Jerman, mereka menyarangkan 14 gol. Sementara pada edisi selanjutnya di Afrika Selatan, 16 gol berhasil ditorehkan. Begitu agresifnya Jerman, sehingga pujian didapatkan karena cara bermain menyerang mereka.

Tapi, pujian tersebut hanya penghibur lara bagi Miroslav Klosse dan kawan-kawan saat trofi gagal diraih. Namun di Brasil, Die Mannschaft yang tampil cenderung bertahan, malah sukses menggondol trofi Piala Dunia untuk kali keempat.

"Dibandingkan dengan saat kami Afrika Selatan, di Brasil Jerman bermain lebih efisien dengan tujuan mengincar kemenangan. Pertahanan Jerman lebih solid. Kami (orang-orang Jerman) bilang bahwa menyerang itu untuk menang, bertahan untuk jadi juara,” ungkap Legenda Jerman, Lothar Matthaus, kepada Marca.

“Bertahan untuk jadi juara” mengulang perkataan Matthaus. Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan kalau bertahan merupakan salah satu elemen penting dalam permainan sepakbola. Tentu, selain mencetak gol dan memenangkan pertandingan, tujuan lain dari sepakbola adalah menjaga agar tidak gawang tidak kebobolan.

Saya berpandangan, dalam sepakbola modern, bermain cenderung bertahan atau menyerang adalah hal yang sah dilakukan setiap kesebelasan. Terpenting, bagaimana kesebelasan bisa bermain efektif untuk mencapai tujuan-tujuan dalam sepakbola.

Lebih lanjut, yang patut diketahui tidak ada federasi sepakbola di negara manapun, termasuk FIFA sebagai federasi sepakbola dunia, yang mengatur bahwa mencetak gol dalam sepakbola wajib dilakukan dengan gaya permainan menyerang. Jadi, ketika tidak ada aturan soal kewajiban bermain menyerang atau bertahan, kenapa harus mendiskreditkan tim yang bermain bertahan? Toh, gaya permainan adalah preferensi untuk mencapai kemenangan.


Baca juga: Parkir Bus adalah Nonsense


(SN)

Komentar