Salary Cap dan Sepakbola yang Sulit Berjodoh

Klasik

by Dex Glenniza 59075

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Salary Cap dan Sepakbola yang Sulit Berjodoh

Bisa dibilang sepakbola dunia berkiblat kepada Eropa. Tapi dari isu-isu yang beredar di Indonesia saat ini, terutama soal marquee player dan salary cap, sepakbola kita sesungguhnya sedang mencari kiblat baru, yaitu Amerika Serikat.

Pada olahraga profesional, istilah salary cap atau wage cap atau batasan gaji adalah istilah yang sudah diasosiasikan dengan Amerika Serikat. Salary cap adalah sebuah kesepakatan atau peraturan yang membatasi jumlah uang yang satu tim bisa habiskan untuk menggaji para atletnya.

Peraturan ini hadir dengan tiga cara, yaitu dengan membatasi gaji per pemain maupun dengan membatasi gaji per tim, ataupun keduanya. Beberapa liga olahraga di dunia sudah menerapkan salary cap sebagai metoda untuk menjaga uang yang dihabiskan agar tetap rendah, serta memastikan keadilan di antara tim-tim di dalamnya.

Hasilnya, tim-tim yang kaya tidak akan terlalu dominan, misalnya dengan mengontrak atlet-atlet top (yang gajinya tentu lebih tinggi). Sedangkan tim-tim yang tidak kaya juga tetap bisa menghabiskan uang mereka setidaknya mendekati atau setara (jika tidak melebihi) daripada tim-tim kaya tersebut. Maka dari itu, “keadilan di antara tim-tim” ini kemungkinan besar bisa terjadi.

Namun, salary cap juga biasa menimbulkan masalah di antara manajemen liga dan persatuan pemain, karena meskipun pada satu sisi salary cap akan menuntut transparansi keuangan, tapi di sisi yang lain juga bisa membuat atlet top tidak dibayar dengan pantas (misalnya ia merasa harusnya dibayar lebih mahal) atau sebaliknya, atlet yang biasa-biasa saja tapi dibayar dengan gaji yang tinggi.

Hal ini bisa terjadi karena selain salary cap sebagai batas atas, ada pula salary floor sebagai batas bawah untuk gaji atlet.

Tidak banyak penerapan salary cap di sepakbola

Jika kita melihat olahraga secara keseluruhan, beberapa liga atau kompetisi yang menerapkan salary cap memang seperti menghambakan diri mereka terhadap bisnis alih-alih olahraga itu sendiri. Oleh karena itu, sistem yang “Amerika banget” ini juga tidak jarang mendapatkan pertentangan.

Aplikasi dari salary cap juga sebenarnya tidak bisa kita lihat pada banyak kasus. Beberapa liga olahraga di Amerika Utara menerapkan salary cap seperti NFL (rugbi), NHL (hoki), MLB (bisbol), MLS (sepakbola), CFL (rugbi), NLL (lakros), dan juga NBA (basket).

Sementara selain Amerika Utara, kita bisa melihatnya dari Australia dan Selandia Baru (rugbi, sepakbola, basket, bola tangan, dan kriket), India (I-League dan Indian Super League untuk sepakbola, dan juga kriket), Inggris (rugbi), Rusia (hoki), Prancis (rugbi), dan Karibia (kriket).

Dari liga atau kompetisi yang sudah disebutkan di atas, kita hanya bisa melihat Amerika Serikat (MLS), Australia (A-League), dan India (I-League dan ISL) yang menerapkan salary cap di sepakbola. Setidaknya hanya tiga negara tersebut yang sering disebutkan. Jika Indonesia menerapkan salary cap, maka ini bukan hanya akan menjadi hal yang baru di sepakbola Indonesia, tetapi juga di sepakbola dunia.


Baca juga: MLS: Liga dengan Pendekatan Bisnis


Salary cap di sepakbola juga beragam di setiap negara. Di MLS musim ini misalnya, batasan gaji setiap kesebelasan adalah 3,845 juta dolar AS (51 miliar rupiah), tidak termasuk designated atau marquee player, sedangkan gaji maksimal satu pemain adalah 480.625 dolar AS (6,4 miliar rupiah).

Kemudian salary cap di A-League 2014/2015 adalah 2,55 juta dolar Australia (26 miliar rupiah) yang tidak termasuk satu marquee player dan satu guest player. Angka salary cap ini sebenarnya terus bertambah setiap waktunya.

Indonesia sendiri akan menerapkan salary cap dengan batasan gaji 15 miliar rupiah per kesebelasan per tahun (jika keputusan pada 29/03 tidak diubah lagi), dan tidak menghitung marquee player.

Artinya, struktur gaji marquee player berada di luar salary cap. Oleh karena itu, marquee player sebelumnya hanya dibatasi satu pemain saja melalui aturan 2+1+1 (dua pemain asing, satu pemain asing dari Asia, dan satu marquee player). Namun, semalam Edy Rahmayadi, ketua umum PSSI, mengatakan jika kesebelasan boleh mengontrak lebih dari satu marquee player (what!?).

"Marquee player sifatnya tidak memaksa, hanya yang mau saja. Kalau mampu lima, silakan. Kebetulan yang menyambut baru Persib," kata Edy di Makostrad, Jakarta, seperti yang kami kutip dari CNN Indonesia.

Banyak yang bilang jika Financial Fair Play (FFP) adalah bentuk yang mirip dengan salary cap. Tapi percayalah, FFP dan salary cap sangat berbeda karena FFP terlihat masih tetap memihak kepada kesebelasan yang kaya raya.

Keuntungan salary cap

Singkat saja, seperti yang sudah dijelaskan di atas, salary cap memiliki dua keuntungan utama, yaitu untuk mempromosikan keseimbangan di antara kesebelasan-kesebelasan dan pengendalian keuangan.

Namun, kita akan lihat, benarkah salary cap ini mempromosikan keseimbangan? Kalau kita lihat dalam 15 tahun terakhir, “keseimbangan” yang saya tangkap adalah jika sebuah liga atau kompetisi bisa mendapatkan juara yang beragam setiap tahunnya, jadi pada intinya: mengurangi dominasi atau monopoli.

Pada tabel perbandingan di atas, kita sendiri bisa melihat jika MLS, A-League, dan I-League memiliki juara yang berbeda dalam hal total kesebelasan/klub yang menjadi juara pada 15 tahun terakhir, kecuali A-League dalam 11 tahun terakhir dan I-League dalam sembilan tahun terakhir karena sebelum itu mereka memiliki sistem kompetisi yang berbeda.

Bersambung ke halaman selanjutnya

Komentar