Pemain Versatile dan Tuntutan Jurnalis di Era Kontemporer

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pemain Versatile dan Tuntutan Jurnalis di Era Kontemporer

Oleh: M. Angga Septiawan Putra

Ada sebuah tren yang berkembang di dunia jurnalistik dewasa ini. Bukan soal jurnalisme robot, jurnalisme data, hoax di jurnalisme, atau hal semacamnya, melainkan soal kompetensi yang harus dimiliki seorang jurnalis di era kontemporer.

Kompetensi itu berupa kemampuan mengemas satu isu ke dalam banyak bentuk, yaitu teks, foto, dan video. Beberapa dosen saya seolah setuju dan mendukung hal seperti itu. Beberapa lagi tidak. Kawan saya pun begitu. Ada yang setuju. Ada pula yang tidak atau bahkan mengutuk hal tersebut.

Adanya konvergensi media massa menjadi salah satu penyebab adanya kompetensi semacam itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvergensi berarti keadaan menuju satu titik pertemuan atau memusat. Ini berarti konvergensi bisa juga dikatakan sebagai penyatuan atau penggabungan. Dalam kaitannya dengan media massa, konvergensi media berarti penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik temu atau tujuan.

Seperti yang secara tersirat dikatakan oleh Fidler bahwa konvergensi adalah ketika berbagai macam teknologi dan bentuk media hadir bersamaan. Fidler menyebutkan pula bahwa konvergensi merupakan salah satu proses dari apa yang ia sebut sebagai mediamorphosis. Ada enam prinsip dasar mediamorphosis, yaitu: koevolusi dan koeksistensi, metamorfosis, pewarisan, kemampuan bertahan, peluang dan kebutuhan, serta pengadopsian yang tertunda.

Seolah menjadi sesuatu yang tak terelakkan, beberapa media mencoba untuk menerapkan pengintegrasian yang disebut konvergensi ini. Kompas, misalnya. Salah satu media arus utama di Indonesia ini mulanya hanya hadir dalam format cetak atau harian. Ini mengikuti perkembangan saat itu yang memang sedang marak-maraknya media cetak. Selain itu, teknologi saat itu hanya memungkinkan media berformat cetak.

Kini, keadaan sudah berubah. Media tersebut berkembang mengikuti keadaan teknologi terkini. Kompas masih bertahan dengan surat kabarnya. Namun, mereka merambah dua medium baru, yaitu elektronik melalui Kompas TV dan dalam jaringan melalui Kompas.com. Ketiga medium itu bahkan berkembang lagi dengan adanya integrasi dalam satu media internet.

Selain Kompas, beberapa media baru yang akhir-akhir ini banyak bertebaran juga menerapkan konsep konvergensi. Konvergensi yang dirancang dan dijalankan itu kemudian berdampak pada kompetensi yang saya bahas di awal tadi: seorang jurnalis harus mampu membuat satu berita dengan tiga kemasan berbeda, yaitu teks, foto, dan video.

Hal semacam ini, bagi saya, lebih pantas disebut eksploitasi secara berlebihan yang terkesan hanya menguntungkan satu pihak. Bayangkan saja, dalam satu hari, seorang jurnalis cetak misalnya, harus mampu mendapat minimal lima isu untuk dijadikan berita. Seperti itu saja sudah berat sekali, saya pikir. Mau ditambah untuk foto dan video juga?

Di satu sisi, adanya tuntutan seperti ini membuat kerja tampak efisien, meningkatkan skill, serta membuat seorang jurnalis lebih produktif. Di sisi lain, hal ini justru menyusahkan jurnalis tersebut. Seorang kawan berkata sesuatu tentang kondisi ini, “Kalo kayak gini mah wartawan gak akan sempat narik nafas.”

Beberapa media memang memberi harga lebih kepada jurnalis yang mampu bekerja seperti ini. Namun, masih ada dan mungkin cukup banyak yang menghargai jurnalis dengan kemampuan mengesankan tersebut dengan bayaran yang sama dengan jurnalis yang hanya bekerja di satu medium.

Saya dan mungkin pula Anda prihatin dengan kondisi jurnalis yang dieksploitasi kemampuannya seperti itu. Sudah bayaran tidak seberapa, sering dimarahin redaktur pula. Mengesankan. Eh, mengenaskan.

Antara Jurnalisme Era Kontemporer dan Pemain Versatile

Seperti pula jurnalis yang harus mampu bekerja di lebih dari satu bidang, pemain sepakbola di masa sekarang seolah juga diwajibkan hal demikian. Jika jurnalis tadi dipengaruhi oleh sesuatu yang disebut konvergensi, maka pemain sepakbola kuat kaitannya dengan kebutuhan serta perkembangan taktik dan strategi tim sepakbola.

Versatile, itulah istilah yang diberikan kepada pemain yang mampu tidak hanya di posisi alaminya, tetapi juga dapat bermain di posisi lain. Versatility seolah menjadi kemampuan yang wajib dimiliki pemain sepakbola di era modern.

Bagi sebuah tim sepakbola, terutama yang berlaga di kompetisi panjang dan padat, pemain versatile sangat dibutuhkan dan diandalkan. Seorang pelatih yang memiliki pemain semacam ini akan merasa sangat diuntungkan. Mereka tak perlu memburu banyak pemain saat sudah mendapat pemain yang mampu mengisi banyak posisi sama baiknya.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, adanya pemain versatile salah satunya dipengaruhi oleh kebutuhan tim. Biasanya kebutuhan ini muncul ketika sebuah tim tengah diterpa badai cedera. Pep Guardiola ketika membesut Bayern München musim lalu, misalnya. Di musim itu, Bayern tengah diterpa krisis bek tengah karena cederanya beberapa pemain.

Pep kemudian coba memanfaatkan David Alaba (LB) dan Joshua Kimmich (DMF) untuk mengisi posisi kosong tersebut. Kedua pemain itu mampu bermain baik meskipun tidak bermain di posisi aslinya.

Guardiola memang pelatih yang gemar mengandalkan pemain versatile. Di tiap klub yang pernah ia latih, selalu saja ada pemain di skuat inti yang mampu bermain di banyak posisi. Di Barcelona, ia memiliki Mascherano, Lionel Messi, dan Cesc Fabregas. Di Bayern, Pep kerap mengandalkan kemampuan bermain di banyak posisi seperti Philip Lahm, David Alaba, Joshua Kimmich, Javi Martinez, dan beberapa pemain lain. Sementara sekarang di Manchester City, ia memiliki kemampuan versatile dalam diri Pablo Zabaleta dan Kevin De Bruyne.

Di Indonesia, pemain versatile juga menjadi tren dan keuntungan bagi seorang pelatih. Simak bagaimana ucapan mantan pelatih Persela Lamongan Sutan Harhara saat menyeleksi pemain asing pada akhir Agustus tahun lalu (dilansir dari beritametro.news). “Sejauh ini, saya puas dengan kemampuan beberapa pemain asing. Mereka berusaha tampil dengan performa terbaiknya. Yang sangat menggembirakan ada beberapa pemain yang bisa tampil versatile.”

Pemain versatile di Indonesia cukup sering ditemukan. Kemampuan multifungsi itu terdapat dalam diri Diego Michiels, Tony Sucipto, Ian Louis Kabes, M. Ridwan, dan beberapa pemain lain.

***

Tuntutan jurnalis dan pemain sepakbola di era kontemporer seperti sekarang memang relatif sama: keduanya harus mampu bekerja dalam banyak posisi. Yang membedakan hanya satu: perasaan saat mengerjakan tuntutan itu. Pemain sepakbola akan melakukannya dengan senang hati, sedangkan jurnalis dengan berat hati.

Catatan: wajar pemain sepakbola rela dan bahkan dengan senang hati bermain di posisi mana pun. Toh, yang mereka inginkan hanya satu, yakni mendapat banyak kesempatan bermain. Sementara jurnalis, mereka akan berat hati lantaran tuntutan itu tak ubahnya seperti kerja rodi. Lagi pula, gaji mereka tak beda jauh dengan jurnalis lain yang hanya fokus pada satu bidang saja –tulisan, foto, atau video. Ah, kemajuan teknologi terkadang terasa menyusahkan dan cenderung tidak manusiawi.

foto: pixabay.com

Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Fikom dan ketua umum @KGFUnpad. Biasa berbagi di @sptwn_


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis

Komentar