Kompetisi untuk Kelompok Usia atau Semua Usia dalam Satu Kompetisi? (Bagian 2)

Cerita

by Dex Glenniza 40816

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Kompetisi untuk Kelompok Usia atau Semua Usia dalam Satu Kompetisi? (Bagian 2)

Sepakbola umumnya dikembangkan di tingkat kesebelasan (klub), bukan di tingkat negara. Inilah yang menjadi alasan kenapa kesebelasan seharusnya memiliki landasan pembinaan pemain yang kuat.

Apa yang diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah tepat dan runut, yaitu memperbanyak jumlah pemain sepakbola melalui pembinaan, memperbaiki kualitas wasit, menyediakan infrastruktur yang memadai, dan pada akhirnya berujung pada kemajuan tim nasional Indonesia.

PSSI sebagai federasi sepakbola tertinggi di Indonesia menyikapi instruksi presiden ini dengan menyusun langkah-langkah yang juga sebenarnya sistematis. Dihadapkan dengan target untuk menjuarai SEA Games di Bulan Agustus nanti, ada wacana regulasi bahwa kesebelasan diwajibkan memainkan tiga pemain dengan usia di bawah 23 tahun sejak menit pertama di Piala Presiden 2017 akan dilanjutkan di Liga 1 nantinya.

Tapi wacana masihlah wacana. PSSI bersama dengan seluruh pihak kesebelasan dan operator masih harus melakukan evaluasi setelah Piala Presiden selesai. Namun, beberapa pihak terutama pihak kesebelasan sudah terlihat khawatir jika peraturan ini nantinya benar-benar akan dilaksanakan.

Peran sekolah (sepakbola) sebagai ujung tombak kemajuan sepakbola Indonesia

Kami kembali mewawancarai Hanif Thamrin yang memiliki jabatan pada bagian media dan hubungan internasional di PSSI. Hanif pertama-tama menjelaskan perbedaan yang besar antara sepakbola Indonesia dengan sepakbola Eropa, terutama Inggris, tempat di mana ia pernah bekerja, yang sepertinya terlihat ideal.

Soal pembinaan, kami ingin tahu apakah itu harus banyak dilakukan di kesebelasan (klub) atau oleh negara (PSSI) di Indonesia. “Bedanya pertama kultur, dan demografis, serta geografis. Kalau di Inggris, seluruh pembinaan ada di bawah klub. FA-nya gak ngurusin pembinaan,” kata Hanif yang pernah bekerja di Manchester City ini.

Baca juga: “The England DNA” à la FA dan Argumen Bantahannya

“Itu berjalan karena mereka sudah punya struktur klub yang kuat. Kalau sekarang kita, di klub kita kebanyakan mengambil dari SSB-SSB untuk U21 dan U19. Kita akan kaji dan akan diwujudkan dalam bentuk kurikulum,” kata Hanif.

“Kemarin kita diskusi dengan FIFA. Dalam diskusi-diskusi itu, karena kita sudah punya SSB sementara kompetisi-kompetisi yang ada di sekolah-sekolah tingkat competitiveness dan quality-nya tidak setinggi kompetisi-kompetisi di SSB. Itu jadi problem.”

Hanif menyatakan jika PSSI akan melibatkan sekolah melalui guru-guru yang diusahakan mendapatkan lisensi kepelatihan serta pengadaan kurikulum, untuk mengakali soal pembinaan pemain dan memenuhi target Indonesia untuk mempercepat pengembangan sepakbola.

“Guru-guru TK, SD, SMP, itu bisa dapat lisensi melatih C AFC,” kata Hanif. “Itu tentunya lewat kementerian pendidikan, dong. [Posisi PSSI] adalah ketika meng-advice technical pengembangan. Kurikulumnya disampaikan ke sekolah-sekolah atau ke SSB. Itu yg di-share nanti,” lanjutnya.

Baca juga: Pemerintah Tiongkok Masukkan Sepakbola pada Kurikulum di Sekolah

Hanif kemudian memaparkan contoh pembinaan sepakbola di Jerman, terutama setelah mereka gagal di Piala Eropa 2000. Sambil menunjukkan bahwa kekuatan utama Indonesia ada pada sekolah dan SSB, ia kembali menggarisbawahi soal keterlibatan guru dan juga kurikulum.

Baca juga: Sepakbola Berkarakter, Sepakbolanya Orang Jerman

“Kita pengen guru-guru itu punya lisensi C AFC minimal, jadi guru-guru olahraga itu bisa ngajarin mainnya benar. Jadi [selama ini] gak ada keseragaman. Jadi SSB kita benahi, tetap kita kasih ruang untuk menjadi wadah untuk pemain-pemain potensial yang muda. Sekolah pun kita fasilitasi."

Baca juga: Sekolah Sebagai Pembina Utama Pemain Muda: Tunjuk Ajar dari Amerika

Tidak jauh berbeda dengan Hanif, Robert René Alberts, manajer PSM Makassar yang juga sempat kami wawancarai, sempat berkata: “Perubahan dilakukan saat aku menjabat direktur teknik Malaysia (2007) dalam hal pendidikan. Aku pikir ini juga merupakan salah satu hal yang kita butuh lakukan ini di Indonesia. Tapi lagi-lagi, aku, kan, bukan direktur teknik, ya? Itu tergantung orang lain untuk memutuskan apa yang ingin mereka lakukan.”

Soal perbedaan cara pembinaan di Indonesia dan di Inggris, kamipun sempat bertanya kepada Hanif, terutama karena kebanyakan pembinaan pemain sepakbola di Indonesia lebih banyak dilakukan di SSB, bukan di kesebelasan.

Ia menyatakan jika di Inggris juga ada SSB, hanya memang ini menjadi tingkat yang berbeda dari pengembangan di kesebelasan. Tidak mengherankan, hal tersebut bisa dilakukan karena di Inggris memiliki kompetisi dari segala kelompok umur. Tidak seperti di Indonesia.

“Dari segala usia selalu ada kompetisi. Setiap minggu ada pertandingan, untuk U8, 9, 10, itu ada. Mereka sudah mengerti [cara bermain yang benar],” kata Hanif menyoal tanggapan kompetisi untuk kelompok umur tersebut.

Regulasi pemain U23 mungkin akan dilakukan lagi karena SEA Games

Sementara untuk penggunaan regulasi pemain U23 di Liga 1 nantinya, Hanif menyatakan jika itu awalnya terjadi karena Indonesia berniat memenangkan SEA Games. “Sebenarnya kita lihat kacamata untuk mengejar SEA Games, [penggunaan regulasi] itu betul,” katanya.

“Kalau lihat in long term, coba lo lihat Liga Korea. Liga Korea gak banyak yang di atas [usia] 25 [tahun]. Mereka memang bagian dari regulasi. FA-nya Korea mencoba untuk membangun itu (163 dari 331 pemain di K-League Classic berusia 25 tahun ke bawah, atau 49,24%) makanya mereka punya bank pemain muda yang banyak,” kata Hanif sambil mencontohkan Korea Selatan.

Kan, kemarin mereka (federasi sepakbola Korea) ke sini, ketemu Pak Ketum. Mereka share apa yang works di Korea, apa yang nggak,” lanjut Hanif.

“Kalau misalnya kita punya satu generasi, gimana caranya kita membentuk satu generasi lagi yang tidak kalah bagus, dalam waktu yang tidak terlalu lama? Dengan cara nyuruh mereka main. Kalau mereka baru main di umur 27, ya, kita gak bisa mengandalkan mereka.

“Ini harus dibenahi bukan hanya dari sisi pengalaman, tapi dari sisi non-teknis juga, lho. Mereka gak akan bisa berkualitas kalau mereka gak berkompetisi. Kalau mereka gak main, mainnya di antar reserve doang, di friendly atau apa, gak bisa. Mereka harus main [bersama tim utama].

“Ini salah satu, mungkin, wujudnya buat ngasih kesempatan. Ini, kan, belum diimplementasikan, lho, di Liga 1. Ini, kan, masih trial. Dan kelihatan bagus-bagus, lho. Lo kasih deh itu semusim, [pemain muda akan] matang. Pemain yang begitu, kan, yang kalahnya mental, kalau dari skill gak kalah.

Baca juga: Kisah Diklat Salatiga dan Pendidikan Pemain Muda

Hanif kembali menegaskan jika masih harus dilakukan evaluasi sebelum diputuskan. “Kita mencoba dengar feedback-nya seperti apa [dari semuanya soal regulasi pemain U23]. Kalau ternyata banyak pemain mudanya bisa naik dan bisa berkualitas, harusnya klub juga senang. Karena kenapa? Karena mereka gak perlu keluar uang banyak untuk datangkan pemain asing. Buktinya cukup banyak, kan, yang bisa diambil sama Milla. Kenapa nggak?”

Pertanyaan Hanif di akhir tersebut ternyata langsung terjawab oleh Robert René Alberts, manajer PSM Makassar, yang juga kami sempat wawancarai.

Baca lanjutannya di halaman berikutnya

Komentar