Pengalaman Foppe de Haan, Pelajaran untuk Luis Milla

Berita

by redaksi

Pengalaman Foppe de Haan, Pelajaran untuk Luis Milla

PSSI telah meresmikan Luis Milla sebagai pengganti Alfred Riedl untuk menangani timnas Indonesia. Milla diproyeksikan untuk melatih timnas Indonesia yang nantinya diisi oleh pemain di bawah usia 22 tahun. Pengalamannya yang cukup banyak saat masih aktif bermain hingga menjadi pelatih diharapkan dapat membawa Indonesia berbicara banyak dan meraih prestasi.

Teken kontrak selama dua tahun, Milla diberikan ‘kemewahan’ melatih skuat U-23 dan senior, sejalan dengan tema besar ‘regenerasi’ di Skuat Garuda. Regenerasi itu berarti berjalannya pembinaan usia dini yang berkelanjutan. Hal itu juga yang diharapkan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam rapat terbatas yang berlangsung baru-baru ini.

“Jangan sampai hanya berharap sepakbola kita akan maju di tingkat regional mau pun dunia jika pembinaan usia dini dilupakan,” ucap Jokowi.

Regenerasi itu juga coba diterapkan di Liga 1. Liga 1 sendiri menerapkan regulasi baru yang mengharuskan masing-masing klub kontestan memiliki lima pemain U-23, dan tiga di antaranya wajib bermain sebagai starter di tim utama. Oleh karena itu juga, Milla ditunjuk sebagai pelatih Boaz Solossa dan kawan-kawan.

Euforia dan gembar-gembor kedatangannya memang menjadi buah bibir masyarakat pecinta sepakbola, menghadirkan optimisme akan kebangkitan sepakbola Indonesia. Optimis boleh dan sah-sah saja, hanya jangan terlalu berlebihan terutama dalam hal ekspektasi. Jangan sampai pula nasib Milla sama dengan Foppe de Haan, mantan pelatih timnas Indonesia U-23 pada 2006.

Sama halnya seperti Milla saat ini, De Haan datang ke Indonesia dengan CV mentereng sebagai juara Euro U-21 pada 2006 dan 2007 bersama timnas Belanda. De Haan kala itu berduet dengan asisten pelatih yang namanya populer di Indonesia, Bambang Nurdiansyah, yang juga bertugas menerjemahkan bahasa Inggris De Haan ke para pemain.

Penemu bakat Marco van Basten ini mengorbitkan pemain seperti Klaas-Jan Huntelaar, Romeo Castelen, Ron Vlaar, Urby Emanuelson, Erik Pieters, Gianni Zuiverloon, hingga Ryan Babel. Hal yang cukup meyakinkan, ditambah melihat gemerlap karier kepelatihannya yang juga pernah menangani SC Heerenveen selama 19 tahun (1985-2004).

De Haan diharapkan dapat membawa Indonesia U-23 berbicara banyak di ajang Asian Games 2006 Qatar. Ia juga membawa Bobby Satria dan kawan-kawan untuk melakoni pemusatan latihan (Pelatnas) di Belanda. Tapi yang terjadi malah sesuatu yang tidak diharapkan. Noda hitam muncul di karier kepelatihan De Haan. Ia hanya bertahan sebentar, sebelum akhirnya dipecat.

Buntut keputusan itu diambil menyusul kekalahan 0-6 dari Irak, yang diikuti kekalahan 1-4 dari Suriah, serta hasil imbang 1-1 kontra Singapura. Roma tidak dibangun dalam sehari. Sebuah proses membutuhkan waktu, dan De Haan hanya diberikan persiapan waktu tiga bulan untuk mematangkan permainan tim, tapi dengan target yang sulit untuk diraih di Asian Games 2006.

De Haan pernah mengutarakan bahwa ia hanya butuh setengah jam untuk memberi pengarahan pada Jong Oranje, sementara Indonesia U-23 butuh waktu sebulan. Hal itu mengindikasikan adanya perbedaan kultur sepakbola di Belanda dan Indonesia.

Garis merah kembali muncul di antara De Haan dan Milla, karena kini ia membawa kultur sepakbola Spanyol ke Indonesia. Kendati demikian, De Haan adalah De Haan, dan Milla adalah Milla. Latar belakang serupa, namun hasil bisa jadi berbeda.

Salah satu pelatih – dan juga mantan pemain - yang sudah malang melintang di kancah sepakbola Indonesia, Jacksen F. Tiago, coba memberi penjelasan, bahwa perbedaan kultur bermain, bukan halangan bagi Milla untuk mengukir sejarah di Indonesia.

“Semua kembali ke kita (Indonesia), kultur mana saja bisa cocok (diterapkan di timnas Indonesia) dan semua bergantung kepada pemain, mau tidak memberi kesempatan kepada pelatih untuk menerapkan filosofinya. Jangan sampai masalah yang sama di masa lalu - yang dialami De Haan - terulang lagi,” tegas Jacksen.

Tak hanya memberi wejangan kepada Indonesia, Jacksen juga memberi pesan kepada Milla agar mau beradaptasi dengan kultur sepakbola Indonesia, dalam artian tidak terlalu memaksakan agar kultur bermain Spanyol dipahami langsung oleh pemain Indonesia.

“Kultur (perbedaan) tidak terlalu berpengaruh, semua juga bergantung dengan penerapan yang beliau terima (tentang sepakbola Indonesia). Beliau pelatih yang berkualitas, tidak diragukan lagi, berlatar belakang Eropa. Tapi sekali lagi, jangan sampai masalah di masa lalu (De Haan) terulang,” tambah Jacksen.

“Contoh saya, sepakbola Indonesia dan Brasil berbeda jauh, tapi saya cocok di Indonesia, karena saya mau berbaur. Indonesia juga harus membaur dengan kultur sepakbola Spanyol,” tambahnya.

Sejarah sudah pernah membuktikan, jadi pertanyaan kembali lagi ke pemain timnas dan kedewasaan penggemar sepakbola nasional. Hanya seekor keledai-lah yang jatuh di lubang yang sama dua kali. Jadi, maukah Indonesia belajar dari pengalaman De Haan?

Komentar