Sepakbola dan Kesenangan yang Hilang

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola dan Kesenangan yang Hilang

Oleh: Ahmad Zuhhad, Angga Septiawan Putra, Mahardhiko FM, dan Nur Cholis

Melalui sebuah esai masyhur berjudul ”The Work of Art di Era Reproduksi Mekanik”, Walter Benjamin, seorang filsuf asal Jerman, mengklaim bahwa apa yang hilang dalam sebuah karya seni ketika itu direproduksi adalah aura yang membentuknya sebagai sebuah seni. Ambil contoh soal lukisan-lukisan yang bersifat eksklusif semacam lukisan Monalisa atau Starry Night. Kedua lukisan itu dianggap sakral dan berkualitas karena ada aura tertentu yang terkandung di dalamnya. Namun, karena adanya produksi secara massal, aura tersebut memudar dan kemudian hilang.

Menyangkut aura dan eksklusivitas, Walter Benjamin menghubungkan hal itu dengan fungsi seni pada zaman dahulu. Seni, sebelum menemui konsep reproduksi mekanis, disebut memiliki fungsi sebagai sarana pemujaan. Seni yang berfungsi sebagai sarana pemujaan itu secara tidak sengaja pun memiliki ciri eksklusif, hanya dapat dinikmati oleh segolongan kecil masyarakat dan tidak dibuat secara massal. Ciri lain seni pada zaman dahulu adalah adanya aura ketika melihat atau menikmati karya seni itu.

Eksklusivitas –dalam kaitannya dengan seni— juga aura seni merupakan sebuah keunikan. Hal itu akan memudar atau bahkan hilang jika kemudian diproduksi secara massal dengan adanya bantuan teknologi yang semakin maju. Produksi massal itu memang memberikan dampak yang positif bagi masyarakat pada umumnya. Dengan bantuan teknologi, semua orang dapat melihat, menikmati, menyaksikan, dan mendapatkan karya seni itu secara mudah. Namun itulah yang kemudian membuat nilai dari karya seni itu berkurang.

Mengenai aura dalam seni, memudarnya hal itu dapat kita rasakan misalnya ketika mendengarkan musik. Aura ketika mendengar musik di tempat konser atau dari mulut penyanyinya sendiri akan terasa berbeda bila lagu itu dinyanyikan oleh orang lain atau didengarkan dari alat elektronik. Teknologi saat ini belum benar-benar mampu menangkap secara keseluruhan aura di antara para penonton yang berdesakan di tempat konser, belum mampu mengakomodasi sing along, belum dapat menangkap perasaan ketika berdiri di dekat penyanyi yang dikagumi, atau penampakan panggung berikut percikan kembang api, uap dari es kering, juga pencahayaan panggung yang terlihat dari dekat. Semua hal yang membangun aura seni itu belum bisa ditangkap oleh teknologi termutakhir.

Sepakbola dalam kadar tertentu pun memiliki kesamaan dengan seni. Sebagaimana seni, sepakbola juga merupakan sebuah ‘kesenangan’. Kesenangan yang dibentuk oleh keindahan permainan, gerak tubuh para pemainnya, kenangan, dan emosi dalam permainan sepakbola itu sendiri juga tontonan sepakbola di stadion memiliki kadar yang hampir sama dengan aura dalam seni. Ada nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Ada emosi, keindahan, kenangan, dan berbagai hal lainnya yang kemudian menjadi pengaruh.

Lebih lanjut, sepakbola memiliki keterkaitan dengan reproduksi mekanis, seperti pula seni. Keterkaitan dengan reproduksi mekanis itu mewujud pada kemudahan yang didapatkan untuk menikmati sepakbola. Kini, seorang pendukung sepakbola tidak perlu ke stadion di mana klub kesukaannya bermain. Tak butuh uang banyak, seorang pendukung kini bisa menonton di layar televisi dengan mudah. Terlebih, banyak siaran televisi dan website yang menyiarkan sepakbola secara langsung dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pertandingan klub apapun mudah ditonton dengan menyesuaikan jadwal siarannya dengan jadwal kita sendiri.

Dengan itu, bahkan tak perlu ikut bermain sepakbola untuk bisa merasakan kesenangan itu. Cukup menatap layar saja, kini sepakbola bisa dinikmati dengan mudah.

Lalu, jika berbicara sepakbola, sulit rasanya melepaskan para pemain yang bermain di lapangan hijau. Banyak pesepakbola, terutama yang memiliki paras tampan dan cantik, tak luput dari incaran para juru kamera. Bukan itu saja, keahlian pesepakbola dalam mengolah si kulit bundar pun selalu dicari oleh banyak kamera ketika di lapangan. Ekspresi-ekspresi dalam pertandingan juga sering diambil gambarnya.

Dalam kaitannya dengan teori reproduksi mekanis, sepakbola kini sudah menjadi budaya modern yang disukai banyak orang. Sebuah pertandingan sepakbola layaknya seni yang saat ini mudah dijumpai di berbagai tempat. Dari anak kecil hingga orang dewasa, pria dan wanita, dan berbagai elemen masyarakat dengan mudah menonton sebuah pertandingan.

Seperti yang disebutkan Walter Benjamin, dengan adanya alat bantu reproduksi yang semakin modern (kamera), suatu seni kini dengan mudah diduplikat keasliannya. Ketika sepakbola pertama kali ditayangkan melalui televisi (sepakbola ditayangkan pertama di televisi pada final Piala FA 1938), nilai seni atau “kesenangan” itu kemudian berkurang dan mungkin pula menghilang.

Semenjak pertama kali masuk ke televisi, sepakbola selalu hanya menonjolkan siapapun yang tengah berada di dekat bola. Apa yang dilakukan Manuel Neuer (kiper) ketika Bayern München menguasai bola di daerah lawan tentulah tak dapat disaksikan di layar kaca. Padahal mungkin saja ada cerita indah nan menarik dari hal yang tak terlihat itu, sebagaimana halnya sebuah seni dan juga kesenangan.

Aura dalam pertandingan sepakbola yang terasa saat menonton di stadion tidak dapat dirasakan saat menonton di depan layar. Sama seperti pada konser musik, aura yang ada dalam pertandingan sepakbola dapat dirasakan saat mendengar chant-chant pendukung, berteriak bersama pendukung lain ketika terjadi gol, atau menundukkan kepala tanda kecewa ketika tim yang didukung kebobolan. Objek (keriuhan penonton) di stadion ini memang dapat dirasakan oleh pemirsa di televisi. Pemirsa tidak bisa benar-benar merasakan suasana stadion yang sesungguhnya di rumah, di depan layar kaca. Aura yang terasa di stadion sepakbola yang bisa membuat kesadaran individu hilang dan digantikan oleh kesadaran massa tidak dirasakan di rumah ketika berada di depan layar.

Penggunaan teknologi itu (kamera televisi), secara eksplisit sebenarnya sangat menguntungkan. Teknologi menawarkan banyak hal secara rinci, detail, dan bisa disaksikan dari berbagai sudut. Dengan kamera yang berjumlah lebih dari lima, rasanya tak ada sudut yang tak bisa ditampilkan di layar kaca.

Tapi, jika kita melihat lebih jauh ke beragam momen yang terjadi dalam sepakbola, banyak hal yang ada di lapangan tidak semuanya dapat dinikmati. Padahal, seperti yang disebutkan sebelumnya, kamera televisi sudah ditempatkan dalam jumlah dan sudut-sudut tertentu agar momen terbaik dalam pertandingan dapat diabadikan. Dengan kamera yang ditempatkan di sudut tertentu pula, pemirsa (kata ini digunakan agar dapat membedakannya dengan penonton: orang yang datang langsung ke stadion) dapat melihat pertandingan sepakbola dari banyak sisi, tetapi tidak semuanya.

Lewat layar kaca, pemirsa juga dapat mendengar berbagai keriuhan dalam stadion semacam suara teriakan dan yel-yel pendukung, tetapi tidak bisa merasakan aura dari suara-suara itu seperti ketika berada di dalam stadion.

Contoh nyata mengenai kamera televisi yang tidak bisa menyorot seluruh sisi adalah ketika perayaan gol Luis Suarez saat masih berseragam Liverpool yang tidak diikuti oleh pemain lainnya pada tahun 2012. Saat itu, Chelsea unggul terlebih dahulu lewat sundulan kapten mereka, John Terry di menit ke-27. Akan tetapi, Liverpool yang butuh kemenangan terus membuat peluang agar bisa menyamakan kedudukan. Pada menit ke-73, Suarez mencetak gol dan membuat skor menjadi imbang 1-1. Setelah mencetak gol, Suarez meluapkan kesenangannya dengan berlari ke sudut lapangan.

Akan tetapi, kesenangan Suarez tidak dirasakan rekan setimnya. Mereka malah berjalan ke garis sepak mula agar pertandingan bisa dimulai kembali. Sayang, kamera waktu itu hanya menyorot ekspresi Suarez saja. Kamera tidak mengambil gambar pemain Liverpool yang lainnya. Dari kamera yang berada di pojok lapangan, terlihat bahwa pemain Liverpool sedang berlari tanpa menyorot ekspresi pemain Liverpool yang lainnya. Sehingga para penonton di rumah sulit untuk mengetahui bagaimana ekspresi wajah mereka ketika pemain Uruguay tersebut mencetak gol.

Dapat dijelaskan bahwa ketika ekspresi pemain Liverpool (seni) tidak disorot oleh kamera, hanya satu aspek saja yang diduplikasi, yaitu ekspresi Suarez. Kamera saat itu tidak mengambil seluruh gambar dalam stadion dan paling utama, ekspresi pemain Liverpool ketika tidak turut ikut merayakan gol bersama Suarez. Hal ini tentu membuat kita bertanya, bagaimana ekspresi pemain Liverpool ketika Suarez mencetak gol? Apakah mereka murung atau bahagia? Itu patut dipertanyakan. Bila kita berada di stadion, hal itu tidak akan terjadi. Setidaknya, para penonton di stadion dapat tahu bahwa para pemain Liverpool lainnya tidak ikut berselebrasi bersama Suarez.

Contoh lain adalah saat Fernando Torres, pemain Chelsea, mencetak gol ke gawang Barcelona pada semifinal Liga Champions Eropa 2012. Saat itu, skor adalah 2-1 untuk keunggulan Barcelona (leg pertama 1-0 keunggulan Chelsea). Barcelona yang butuh satu gol lagi untuk melaju ke final, melakukan serangan secara sporadis. Lapangan pertahanan Chelsea sesak dipenuhi pemain Barcelona.

Bersambung ke halaman berikutnya

Komentar