Sudah Puaskah Tottenham?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sudah Puaskah Tottenham?

Oleh: Haris Chaebar

Laju gemilang Chelsea menang 13 laga berurutan sejak pekan keenam Liga Primer Inggris 2016/2017 harus terhenti di tangan rival sekota, Tottenham Hotspur. Pada pertandingan di White Hart Lane, Kamis, 5 Desember lalu, pasukan Antonio Conte di buat takluk 2-0 melalui brace yang dilesakkan oleh Dele Alli.

Suka cita menghinggapi kubu Spurs. Selain mampu merangsek naik ke tiga besar liga pada pekan ke-20 ini, mereka juga menggagalkan Chelsea membuat rekor kemenangan empat belas laga beruntun dalam satu musim, yang akan membuat Chelsea memiliki rekor terbaik dalam sejarah Liga Primer Inggris. Sukses tersebut terasa makin nikmat, tiada lain adalah sebagai pembalasan apa yang dilakukan Chelsea musim lalu.

Kebetulan menjelang musim 2015/16 berakhir, tepat di gameweek 36, Tottenham menjalani laga hidup mati demi menjaga peluang juarai Premier League tetap hidup. Kala itu Spurs bertandang ke Stamford Bridge, markas Chelsea, dengan misi membawa pulang poin penuh.

Mereka diwajibkan harus menang karena di game week tersebut, Leicester yang bermain lebih dulu sudah berbekal poin 77 hasil bermain imbang lawan Manchester United di Old Trafford. Jadi mau tidak mau, Spurs harus menjaga jarak setidaknya lima poin dari Leicester ketika pekan 36 selesai.

Apa dikata, di kandang Chelsea mereka gagal mengeruk angka penuh. Mereka unggul 0-2 lewat gol Harry Kane dan Son-Heung Min di babak pertama. Namun petaka datang di babak kedua, ketika gol Gary Cahill dan Eden Hazard membuat laga itu berakhir 2-2.

Otomatis dengan hasil tersebut, peluang juara Tottenham terkubur habis di halaman rumah sang rival biru. Di sisi lain, Leicester yang akhirnya bersuka cita karena dipastikan juara liga setelah laga Chelsea v Tottenham itu berakhir dengan skor sama kuat.

Pasukan Maurico Pochettino pantas bersedih hati dan kecewa, apalagi rasa penasaran armada The Lily White akan trofi liga sangatlah tinggi. Terakhir kali Tottenham juara pada tahun 1961, ketika liga Inggris masih dari jauh hingar bingar. Semenjak itu, tak pernah lagi Tottenham berpesta dengan tema juara liga Inggris.

Rasa kecewa The Poch Boy’s yang gagal juara musim lalu pastilah dalam. Itu tidak lain karena peluang juara mereka justru dihabisi oleh salah satu rival tersengitnya, Chelsea. Apalagi, The Blues yang tampil jeblok hampir di setiap laga musim lalu, justru tidak disangka mampu bermain apik ketika laga versus Tottenham tersebut.

Chelsea sendiri kala itu memang bernafsu mengganjal Tottenham juara musim lalu itu. Jika tidak, mana mungkin para pemain Chelsea melancarkan perang kata-kata menjelang pertandingan berlangsung. Beberapa pemain Chelsea musim lalu yang tampil di bawah ekspektasi alias flop seperti Cesc Fabregas dan Eden Hazard bahkan ikut bersuara jauh hari menjelang laga Chelsea v Tottenham yang digelar 3 Mei 2016 tersebut.

“Semoga tidak, aku tidak ingin Spurs juara," kata Fabregas pada acara Skysport, 18 April 2016. “Untuk apa yang telah mereka lakukan, saya ingin Leicester juara Premier League.”

“Para fans, klub dan pemain tidak ingin Tottenham juara Premier League,” kata Hazard di tempat lain, BBC Match of The Day Programme, pada tanggal 24 April tahun lalu. “Kami berharap Leicester [juara], karena mereka pantas juara musim ini. Kami punya laga melawan Tottenham pekan depan, jika kami bisa kalahkan mereka itu hal yang bagus.”

Apa yang Fabregas dan Hazard ucapkan tidak bualan semata dan benar-benar kenyataan. Penampilan heroik berhasil mereka sajikan kala meladeni Spurs waktu itu, untuk memberikan trofi Premier League kepada Leicester City.

Hazard juga mencetak gol spektakuler pada laga itu yang ia sendiri katakan sebagai “memori” terindahnya. Sepertinya, elemen-elemen di Chelsea memang lebih menyukai “kisah cinderella” a la Leicester City daripada melihat tetangga putih hitam mereka juara.

Rivalitas tim satu kota membuat Chelsea, melalui pemain-pemainnya, tidak segan untuk terang-terangan mendukung Leicester. Claudio Ranieri pun langsung menelpon Guus Hiddink (pelatih Chesea kala itu) guna berterimakasih karena telah mencocor hidung Tottenham dan “menghadiahkan” trofi Premier League itu kepada Leicester.

Chelsea yang musim lalu terseok-seok, setidaknya tidak menanggung malu yang sangat mendalam karena Tottenham atau tim London lain seperti Arsenal gagal juara. Andai Tottenham yang juara musim lalu, dipastikan Chelsea jadi pesakitan karena menjadi satu-satunya tim besar London yang berantakan. Apalagi mereka masih berstatus sebagai juara bertahan Premier League musim lalu.

Kini situasi sudah membaik bagi The Blues. Di bawah arahan mantan allenatore timnas Italia, Antonio Conte, mereka kokoh di puncak klasemen hingga pekan 20 ini. Mereka bisa saja mencetak rekor menang 14 laga beruntun andai Tottenham mampu dikalahkan. Bagi Tottenham, menghentikan rival seperti Chelsea yang akan menciptakan rekor sudah menjadi suka cita tersendiri.

Tetapi apakah kemenangan 2-0 atas Chelsea dan menghentikan mereka cetak rekor, bisa puas mengobati sepenuhnya “luka” yang Hazard cs. torehkan pada Tottenham pada musim lalu? Seharusnya belum, sehingga sisa luka itu mampu buat Tottenham tidak puas diri dan semakin termotivasi untuk lebih berani berpacu dalam perburuan gelar liga setelah kemenangan atas Chelsea ini.

Selama dalam kurun dekade ini, Tottenham memang kurang dianggap sebagai klub “besar”. Selain jarang masuk empat besar pula, mereka juga lemah dalam mempertahankan pemain bintang agar tidak pindah ke luar Inggris, bahkan dari sesama klub Inggris.

Dari sisi mentalitas juga, Pochettino sendiri yang mengakui bahwa Tottenham belum satu level dengan klub-klub besar di Inggris lain pasca mereka rontok di Liga Champions musim ini. Padahal mereka tergabung di Grup E, yang termasuk ringan karena hanya berisi Leverkusen, Monaco dan CSKA Moskow.

Setelah kesempatan emas musim lalu hilang, kini jika masih ingin disebut klub “besar”, Tottenham harus lebih impresif lagi dari laga ke laga. Menang 2-0 dari Chelsea seharusnya menjadi momentum mereka untuk menyadari bahwa kualitas mereka layak bersaing di papan atas Liga Inggris.

Lagipula secara materi, modal pertahanan kuat mereka punyai dan hanya bobol 14 gol hingga 20 pekan awal liga musim ini, paling minim. Lini tengah ada pemain muda macam Eric Dier, Christian Eriksen, atau Dele Alli, lini depan pun mereka punya top skor Premier League musim lalu, Harry Kane.

Kalau sudah begitu mari kita juga tunggu reaksi positif Chelsea atas kekalahan tersebut. Lalu kita tunggu juga apa yang tim lain macam Liverpool, Manchester City, Arsenal dan Manchester United akan persiapkan guna menjadi kampiun di musim yang memang bisa disebut sebagai yang “paling ketat” ini.

Penulis merupakan mahasiswa yang beredar di dunia maya dengan akun Twitter @chaebar_haris.


Artikel ini adalah kiriman pembaca PanditFootball.com melalui rubrik Pandit Sharing. Segala isi artikel merupakan tanggung jawab penulis seperti yang tertulis di atas dan bukan redaksi PanditFootball.com. Jika ingin ikut berpartisipasi dalam mengirim tulisan, syaratnya bisa dibaca di sini.

Komentar