Persatuan dan Nasionalisme yang Terjalin di dalam Stadion

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Persatuan dan Nasionalisme yang Terjalin di dalam Stadion

Artikel #AyoIndonesia karya Syamsu Rijal

Satu bangsa di bawah despot bertaruna

Satu mangsa dalam pertarungan lencana

Di bawah ilusi merdeka sejak empat lima

Halusinasi bermantrakan "Garuda Di Dada".

Bait di atas adalah penggalan dari sebuah lagu yang berjudul "Tak Ada Garuda di Dadaku", karya Harry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard, mantan pentolan grup musik hip hop Homicide, yang kini mulai berkarya lagi di bawah bendera Bars of Death.

Dalam lagu tersebut, menurut Arman Dhani, seorang wartawan senior, dalam artikelnya yang bertajuk "Politik Lesser Evil itu Bullshit", menuliskan bahwa lagu “Tak Ada Garuda di Dadaku” mendeskripsikan tentang busuknya balutan kata nasionalisme. Sementara itu Morgue sendiri menggambarkan lagu ciptaannya itu bercerita tentang ekspansi rezim keruk dan proses akumulasi primitif yang memakai kedok nasionalisme sebagai pembenaran.

Selain mengkritisi busuknya nasionalisme, isi lagu itu juga menyinggung soal persatuan Indonesia yang selalu jadi slogan utama di tiap kali gelaran upacara bendera, namun tak lain hanyalah sebuah mimpi usang yang sulit jadi nyata.

Lantas, apa hubungannya antara kritik sosial yg dilemparkan Morgue dalam lagu “Tak Ada Garuda di Dadaku” dengan sepakbola Indonesia? Tak ada, sama sekali tak ada! Karena memang lagu tersebut ditulis sebagai “senjata” untuk membidik telinga para penguasa rezim keruk, bukan untuk mereka yang berkecimpung dalam sepakbola.

Hanya saja, yang perlu digarisbawahi oleh para penggiat dan pecinta sepakbola nasional adalah, pada bait keempat lagu tersebut, terdapat kalimat pengecualian yang berbunyi, "Persatuan Indonesia hanya terjadi di stadion sepakbola". Tentunya, jika kita mau lebih mendefinisikan secara lebih luas lagi, potongan lirik lagu tersebut sudah pasti akan mempunyai kalimat lanjutan berupa; di stadion sepakbola, ketika timnas Indonesia berlaga.

Lihatlah bagaimana persatuan Indonesia benar-benar terjalin mesra pada pertandingan timnas Indonesia di partai semifinal leg pertama Piala AFF 2016 melawan Vietnam, di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Sabtu (03/12/2016). Mereka yang berbeda suku, bahasa, agama dan klub kebanggaan daerahnya masing-masing, berbaur dalam satu ikatan emosi yang sama, yaitu Indonesia.

Lihat juga bagaimana dengan hangatnya Presiden Joko Widodo menyalami kapten timnas Indonesia, Boaz Salossa seusai pertandingan, padahal di dua hari sebelum laga, aparat keamanan yang difasilitasi negara sempat bersitegang dengan warga Papua yang melakukan aksi unjuk-rasa di Jakarta.

Lihat juga bagaimana dengan indahnya bentangan syal Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang serta Persebaya Surabaya berada di titik yang sama dan sempat menjadi viral di beberapa akun media sosial, padahal di kompetisi internal Indonesia, keempat supporter klub tersebut adalah rival yang sangat sulit untuk disatukan.

Serta lihatlah bagaimana perseteruan antar dua kubu yang pro dan kontra dalam menyikapi kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada calon gubernur petahana DKI Jakarta, yang mendadak hilang tak terdengar di tribun stadion. Padahal saya yakin, dari puluhan ribu suporter timnas yang memadati Stadion Pakansari sore itu, pasti terdapat bagian dari dua kubu yang sedang bersitegang.

Sepakbola, dengan berbagai kisah dan drama-nya adalah sebuah pengejawantahan dari berbagai fenomena mainstream yang terjadi di lingkungan masyarakat dan kadang sulit diterima nalar. Penjelasan logis apa yang bisa menjawab, bagaimana mungkin ada orang yang rela menginap bermalam-malam di pelataran stadion hanya untuk mendapat selembar tiket pertandingan sepakbola.

Teori macam apa yang bisa memecahkan misteri, bagaimana mungkin ada orang/kelompok orang yang rela melakukan perjalanan menyebrangi lautan sejauh ribuan mil dengan bekal seadanya, hanya demi menonton si kulit bundar diperebutkan oleh 22 orang di lapangan hijau. Itulah sepakbola, sebuah olahraga yang dimainkan serta disaksikan tidak hanya dengan kaki dan kepala, namun sudah melibatkan perasaan di dalamnya.

Sebagai penikmat sepakbola yang sempat beberapa kali menyaksikan langsung pertandingan timnas maupun klub kebanggaan saya berlaga di stadion, sampai saat ini saya pribadi belum pernah menemukan tempat seindah dan sepluralis seperti apa yang saya rasakan di dalam stadion. Tribun stadion tak mengenal agama. Tribun stadion tak pernah ada sukuisme. Tribun stadion tak ada istilah kasta sosial. Jika tim yang didukung sama, maka semua dari kita adalah sama.

Pun begitu dengan apa yang terjadi di Indonesia, negara heterogen yang penuh dengan keberagaman suku, bahasa dan agama yang berbeda. Sepakbola selalu punya tempat tersendiri untuk tetap ada.

Ketika timnas Indonesia berlaga, semua perbedaan seakan lenyap entah kemana, tak peduli dia muslim-non muslim, Jawa-luar Jawa, Sunda-Betawi, kaya-miskin, pejabat-rakyat biasa, semua akan kompak meneriakkan satu suara; Indonesia!! Tak terkecuali bagi mereka yang kerap merasa sikap nasionalisme-nya “diperalat” oleh negara.

Tak peduli betapa carut-marutnya kondisi persepakbolaan Indonesia serta minimnya trofi yang dipersembahkan timnas, persetan dengan negara yang telah “gagal” memelihara sikap nasionalis rakyatnya sendiri, karena jika saja di antara kita mau/berani jujur dan terbuka terhadap sikap nasionalisme yang kita punya, pastilah jawabannya sikap itu sudah berkurang, dan bahkan ada yang sudah mulai hilang.

Sulitnya mencari lapangan pekerjaan, semakin lebarnya jarak kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, perlakuan penegak hukum yang kerap tajam ke bawah namun tumpul ke atas, adalah beberapa faktor yang menyebabkan betapa negara telah “gagal” memelihara sikap nasionalisme rakyatnya sendiri.

Dan beruntung, di atas segala persoalan pelik yang sedang menimpa bangsa, dan krisis sikap nasionalisme yang kita punya, masih ada sepakbola yang jadi “juru-selamat” bagi keharmonisan bangsa. Doa kita bersama sebagai rakyat Indonesia, semoga sang juru selamat, mampu terus terbang tinggi, dan menjadi juara untuk pertama kalinya dalam ajang Piala AFF 2016.

Penulis adalah pecinta sepakbola nasional yang jarang aktif di Twitter dengan akun @Idhay69. Tulisan di atas sepenuhnya tanggung jawab penulis, dan merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis.

Komentar