Antara Sikap Nasionalis dan Rasionalis

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Antara Sikap Nasionalis dan Rasionalis

Artikel #AyoIndonesia karya Syamsu Rijal

Berada satu grup bersama Thailand, Singapura dan tuan rumah Filipina dalam gelaran AFF Cup 2016, bagi timnas Indonesia ibarat memijakkan kaki di hutan rimba bersama tiga harimau buas yang lapar. Suka tak suka, mau tak mau, Boaz Solossa dan kolega harus bertarung mati-matian guna mampu keluar dari hutan “jahanam” itu, dan sialnya lagi, di hutan itu cuma tersedia satu jalan keluar yang hanya bisa dilewati oleh dua kepala saja. Tak ada cara lain memang, selain membunuh dua dari tiga harimau itu dengan cara apapun dan bagaimanapun. Pendeknya, cuma ada satu kalimat bagi timnas Indonesia di Piala AFF kali ini, "Kill or be killed".

Sayangnya, ketiga harimau tersebut bukanlah harimau biasa yang mudah ditaklukkan, bahkan, dua dari tiga harimau itu adalah pemangsa berdarah dingin yang dalam satu dekade terakhir menjadi raja di rimba sepakbola Asia Tenggara, dan timnas Indonesia pernah merasakan betapa sakitnya terkoyak oleh cakaran mereka di partai puncak. Sementara, satu harimau tersisa memang belum bisa dikatakan raja rimba, namun dalam beberapa tahun terakhir dia sudah mulai beranjak dewasa serta menunjukkan taringnya, dan yang perlu dicatat, saat ini dia adalah si empunya hutan rimba itu sendiri.

Secara persiapan, timnas Indonesia yang baru saja menghirup udara bebas akibat “belenggu” yang dijeratkan FIFA, memang jauh tertinggal dari para kontestan lain. Hampir satu tahun tanpa pertandingan internasional serta tanpa liga yang kompetitif, pastinya akan banyak berpengaruh bagi mental pemain. Dan yang lebih dikhawatirkan adalah, para pemain kita akan canggung bermain di ajang sekelas piala AFF, karena memang mayoritas pemain yang ada adalah muka-muka baru yang minim pengalaman di laga internasional.

Di saat tim-tim lain sudah mulai memijakkan kakinya di level yang lebih tinggi, timnas Indonesia masih harus disibukkan oleh kisruh berkepanjangan antara Negara dan Federasi. Ketika Thailand sudah mulai menatap jauh untuk dapat berperanserta dalam gelaran Piala Dunia 2018, anak asuh Alfred Riedl masih saja berkutat dengan aturan "nyeleneh" PSSI yang membatasi satu klub hanya boleh mengirimkan dua orang pemain saja. Saat Johor Darul Ta`zim (Klub asal Malaysia) berhasil mencatatkan sejarah sebagai klub pertama dari Asia Tenggara yang mampu mengangkat trofi AFC Cup 2015, klub-klub di Indonesia masih saja dibuat "ruwet" oleh prilaku oknum suporternya sendiri yang gemar membunuh suporter rival.

Memang ada sepercik harapan di laga internasional pertama timnas Indonesia pasca dicabutnya sanksi FIFA. Kala itu Boaz Solossa dan kawan-kawan berhasil membenamkan seteru abadi mereka di stadion Manahan Solo, Malaysia, yang dihajar tiga gol tanpa balas. Namun setelah itu, penyakit lama timnas yang bernama "inkonsistensi" nampaknya mulai kembali menjangkit di laga-laga uji coba selanjutnya. Hanya mampu bermain imbang 2-2 kala menjamu Vietnam di stadion Maguwoharjo, kemudian bermain tanpa gol ketika melawat ke Myanmar, dan diakhiri oleh kekalahan 3-2 kala bertandang ke Vietnam.

Permasalahan tak hanya berhenti sampai di situ, skema timnas untuk piala AFF 2016 yang sudah disiapkan sematang mungkin oleh allenatore asal Austria itu, ternyata harus kembali dirombak di bagian depan. Irfan Bachdim yang sejak lama diproyeksikan Riedl untuk menjadi ujung tombak harus menepi sebelum layar juang benar-benar terpampang, pemain yang lahir di Belanda itu mengalami cidera setelah berbenturan oleh Hansamu Yama Pratama pada sesi latihan. Padahal, penampilan Bachdim selama 4 laga ujicoba cukup memuaskan, ia kerap mendapat kepercayaan dari pelatih guna mengisi starting elevent.

Baca juga: Membela Hansamu Seperti yang Dilakukan Irfan Bachdim

Setelah menepinya Bachdim dari timnas, santer nama Ferinando Pahabol asal Persipura Jayapura sebagai pengganti juru gedor tim garuda di lini depan. Wacana penunjukan Pahabol banyak mendapat apresiasi dari para pecinta sepakbola tanah air, selain karena tim asal Papua itu baru punya satu slot di timnas yang hanya di isi oleh Boas, Pahabol juga dianggap tepat karena sebelumnya dia sudah paham betul karakteristik Bochi sebagai calon tandemnya di lini depan. Namun lagi-lagi, Riedl kembali harus dipaksa memutar otak, karena Pahabol tidak direstui oleh klubnya untuk bergabung dengan timnas. Persipura tak memberi ijin Pahabol untuk bergabung dengan timnas, karena Mutiara Hitam asal Papua itu juga akan menghadapi kompetisi internasional bertajuk AFC Cup 2016.

Serentetan masalah yang membelit timnas jelang turnamen terbesar se-Asia Tenggara itu, mau tak mau pasti memberi dampak negatif bagi psikis pemain. Belum lagi soal masalah klasik tim Garuda yang sedari dulu terkenal sebagai tim yang “jago kandang”, bermain di kandang orang tanpa dukungan maksimal dari suporter yang terkenal loyal dan militan, juga akan memberi tekanan mental bagi Boas Solossa dan kawan-kawan.

Tanpa sedikitpun bermaksud mengurangi rasa optimisme jutaan pecinta sepakbola Indonesia, namun tampaknya, pada gelaran Piala AFF 2016 kali ini rasa-rasanya timnas Indonesia masih harus berpuasa gelar untuk waktu yang entah sampai kapan. Jangankan mengangkat trofi, untuk dapat lolos dari fase grup pun rasanya sulit diwujudkan oleh anak asuh Alfred Riedl kali ini. Pesimisme ini bukan soal perkara Nasionalisme anak bangsa, tapi lebih kepada sikap rasionalis atas apa yang terjadi saat ini.

Penulis adalah penikmat sepakbola lokal yang jarang berkicau di akun Twitter @Idhay69. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar