Inter Milan Telah Kehilangan Identitasnya

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Inter Milan Telah Kehilangan Identitasnya

Tidak banyak kesebelasan sepakbola di Eropa yang terbungkus dalam sejarah yang lebih dari Internazionale Milan. Jika berjalan menyusuri koridor Stadion Giuseppe Meazza, ada satu hal yang terlihat konstan. Di sana terdapat mural besar pahlawan-pahlawan Inter masa lalu. Armando Picchi, Giancito Fachetti, Giuseppe Bergomi, Javier Zanetti, Sandro Mazzola, dan beberapa nama lain menghiasi dinding. Merekalah yang tahu apa artinya memakai seragam hitam dan biru khas Inter dan bagaimana caranya menang dengan warna-warna itu.

Mereka jugalah tokoh dari kekuatan, integritas, tekad, dan karakteristik seni bertahan di Liga Italia. Tidak mengherankan jika banyak yang bisa bertemu mantan-mantan pemain itu di sekitaran kesebelasan tersebut. Tidak sulit bertemu dengan Bergomi pada hari pertandingan. Dia dan legenda lainnya pun akan dengan senang hati menceritakan sebuah kisah. Tentang arti menjadi bagian dari keluarga kesebelasan berjuluk I Nerrazuri tersebut.

Tidak mengherankan bahwa mereka selalu dianggap menjadi kesuksesan dalam sejarah kesebelasan Inter. Mereka yang menanamkan seni bertahan di Inter, membiarkan sihirnya bekerja di hadapan muka para pendukungnya. Itulah yang terjadi sejak zaman kepelatihan Helenio Herrera dan Giovanni Trapattoni yang tersohor dengan strategi bertahan di Inter. Gaya permainan bertahan ini pula yang diterapkan Jose Mourinho dan Roberto Mancini setelah era kesuksesan masa lampau.

Sebetulnya, memperkerjakan Frank de Boer akan baik-baik saja jika kesebelasan benar-benar mengidentifikasinya dengan jangka panjang. Tapi masalahnya adalah, mengubah budaya di sebuah kesebelasan membutuhkan lebih dari sekadar pelatih. Dan itu harus dibayar lebih dari dua atau tiga musim, bukan memecatnya setelah delapan pertandingan Serie A Italia. Keputusan itu sejujrurnya lebih dekat dengan ketidaksabaran.

Situasi Sulit Frank de Boer

kesebelasan di Serie A sering memecat pelatihnya di setiap waktu. Salah satunya seperti Palermo. Mau tidak mau taktiknya selalu berubah setiap bulan. Sementara De Boer menggantikan Mancini hanya dua minggu sebelum dimulainya musim baru yang awalnya dengan alasan berpikir jangka panjang daripada mencari hasil instan. Memang, De Boer sukses memenangkan empat gelar Eredivisie selama enam tahun melatih Ajax Amsterdam. Tapi rupanya itu masih belum cukup diterima di Stadion Giusseppe Meazza, terutama bagi seseorang yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya di Serie A, baik itu sebagai pemain maupun pelatih.

Karena tidak ada intruksi darinya yang berbahasa Italia, hal ini menunjukkan bahwa ia perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya untuk menilai skuatnya dan mentransferkan ide-ide untuk pemainnnya. Tugas seperti itu akan sulit. Bahkan dengan pra-musim penuh sekalipun. De Boer pun diterjunkan pada musim baru dengan pemain musim panas hasil peninggalan Mancini di saat skuatnya kelelahan dari sibuknya jadwal perjalanan pra-musim.

Baca juga: Mengapa Persiapan dan Latihan Pra-Musim Sangat Penting?

Situasi seperti itu jauh dari kekuatan pondasi yang diperlukan untuk memenuhi harapan menantang papan atas klasemen. De Boer juga terhambat oleh faktor-faktor yang berada di luar kendalinya. Salah satunya adalah perseteruan Mauro Icardi dengan Ultras Inter karena tulisan yang dibuat dalam biografinya. Icardi mengancam akan menyewa penjahat-penjahat Argentina untuk menghabisi Ultras Inter yang selalu memprotes dirinya terlalu jauh.

Sebelumnya tidak ada yang merasa terganggu sampai para pendukung Inter mendapatkan bocoran isi buku itu sendiri dan tersinggung oleh tulisan tersebut. Bahkan ada yang tidak pernah ingin melihat buku itu sebelum dipublikasikan. Semua buku terlanjur akan dicetak dan dirilis secara meriah. Berbagai rilis ke koran-koran di Italia pun sudah diedarkan untuk membantu penjualan. Sekarang sudah ada rilis ulang dengan dihapusnya halaman kontroversial itu. Tapi percikan konflik sudah terlanjur terjadi dengan Ultras Inter.

Padahal, ketika Inter kehilangan Zanetti karena pensiun, para pemain Inter berjuang untuk saling mengisi, mencari siapa yang akan membawa tim itu dengan kepala tegak, cinta, dan ambisi untuk mengamankan setiap kemenangan. Dan Icardi dipandang sebagai jawabannya, walau istrinya tidak henti-hentinya secara agresif mempermasalahkan keuangan Icardi. Hal itu yang membuat Icardi dikaitkan dengan kesebelasan lain, salah satunya dengan Napoli. Kendati memutuskan bertahan, Icardi dicap sebagai pemain egois dan kurang kontributif untuk Inter.

Situasi kontroversial lainnya disebabkan karena De Boer jarang memainkan Geoffrey Kondogbia dan Marcelo Brozovic. Selain itu, Citadin Eder juga sempat melakukan penolakan untuk berjabat tangan dengan De Boer ketika menghadapi Sampdoria. Dari itu semua, ada perasaan tidak enak dari para pemain kepada De Boer. Sikap yang ditampilkan skuatnya secara umum pun dipertanyakan secara serius.

Inter memang sempat menunjukkan kinerja yang mengesankan atas kemenangan dari Juventus. Kemenangan itu yang membuat mereka singgah ke peringkat empat klasemen sementara Serie A 2016/2017. Tapi justru posisi itulah yang akhirnya membebani De Boer. Ketidakmampuan menghadapi Chievo, Bologna, Cagliari, Palermo, dan lainnya dibahas kembali. Tidak luput juga hasil memalukan dari Hapoel Be`er dan Sparta Praha di Liga Europa UEFA. Semua itu merupakan daftar panjang untuk waktu singkat De Boer.

Tapi ada satu kalimat yang bermanfaat dari keraguan seluruh elemen Inter dari De Boer. Jelas ia tiba dengan reputasi yang sangat baik di Inter. Dan ia selalu mengatakan bahwa dibutuhkan kesabaran sebelum melihat apa yang benar-benar dihasilkannya nanti. Kendati demikian, terlepas dari keterbatasan waktu yang disisakan untuknya, hasil ini mau tak mau harus diterimanya. Situasi De Boer di Giusseppe Meazza memberikan wawasan yang menakutkan dalam cara kerja Inter, atau lebih tepatnya malah "tidak bekerja sama sekali".

Ini berarti sebuah kebohongan ketika pihak kesebelasan mengatakan mendukung De Boer. Nyatanya, De Boer telah dipecat dan sempat membuat kebingungan karena tidak tahu siapa penggantinya dalam dua pertandingan penting yang akan datang. Manajemen seolah tidak terpengaruh oleh liputan media untuk mengubah pikiran mereka. Tapi tidak perlu heran, karena sifat disfungsional dari kesebelasan ini sudah terlihat jelas dalam beberapa minggu yang lalu.

Drama di Ruang Manajemen Inter

Setelah apa yang terjadi ini, sekarang pertanyaannya adalah, apakah pengganti De Boer akan benar-benar melakukan pekerjaan lebih baik untuk jangka panjang? Kepergian De Boer telah memberikan sinyal bagi pelatih lain yang akan mengambil tempatnya di Inter. Stefano Pioli sudah diatur untuk mengambil bangku itu, di sela-sela selintingan isu Marcelino, Gianfranco Zola dan Guus Hiddink yang meramaikan bursa kepelatihan Inter.

Di antara mereka ada yang pernah sibuk mengikuti "casting" yang diadakan Inter di sebuah hotel Kota Milan, seketika membayangkan Marcelino, Pioli, dan Zola duduk di ruangan kecil dan dicengkeram CCTV. Satu per satu berkompetisi dalam sesi wawancara. Salah satunya berharap dua lawannya itu akan salah di mata penilaian manajemen. Di sisi lain, mungkin mereka bertanya-tanya, di mana mereka akan berada dalam lima tahun ke depan. Respon alami seketika berbicara di dalam hati: tidak di Inter.

Konon wawancara taktik itu sedikit mengherankan karena hanya dilakukan perwakilan dari Sunning Investment Group. Mereka justru mengunci Piero Ausilio yang menjadi Direktur Olahraga dan Giovanni Gardini selaku Direktur Umum. Lebih luar biasa bahwa Michael Bolingbroke yang menjabat CEO pada waktu itu justru berlibur. Kemudian ia menyatakan mengundurkan diri.

Pada akhirnya justru Kia Joorabchian yang dikenal agen dengan sejarah kontroversial lebih memiliki banyak kekuasaan dalam keputusan itu ketimbang direksi. Bahkan Joorabchian tidak memiliki kontrak dengan Inter dan hanya dibayar sebagai konsultan freelance tidak resmi. Mengapa ia tidak sekaligus menjadi Direktur Olahraga dan mengakhiri sandiwara ini? Inter memang memasuki fajar baru di bawah Sunning. Tapi bagi para pendukungnya, apakah mereka akan menumbuhkan padang rumput yang baru?

Sebelumnya, ada anggapan telah terjadi salah urus kesebelasan setelah Massimo Morratti menyerahkan kesebelasan kepada Erick Thohir. Kemudian muncul penilaian bahwa manajemen tidak mampu mengidentifikasi akar permasalahan Inter seperti persoalan pelatih. Sekarang pun demikian. Pelatih baru justru berarti sedikit untuk kesebelasan, atau membawa ke arah lain yang berumur pendek.

Inter sedang dikelilingi jawaban untuk masalah yang tidak bisa mereka lihat. Sejauh ini mereka tidak terorganisir. Tapi setidaknya muncul seseorang yang harus bertanggung jawab. Sekarang Inter memiliki banyak direksi, pemegang saham, presiden, dan "pelanggan". Tapi mereka semua bergerak dalam arah berbeda dan tidak berkomunikasi satu sama lain. Ini memalukan untuk melihatnya di salah satu kesebelasan terbesar di Italia.

Para pendukung mengeluh bahwa Inter menjadi terlalu banyak bisnis dan lupa tentang arti sepakbola itu sendiri. Dalam hal ini, Inter memang benar-benar bisa menjalankan lebih seperti bisnis dengan tepat dan struktur kekuasaan yang jelas. Tapi Inter saat ini bagaikan analogi. Gaya, filosofi, dan psikologis, sudah menjadi bagian dari tato di sebuah lengan kesebelasan itu. Tapi nyatanya mereka masih memakai seragam lengan panjang. Inter wajib melihat dan memiliki budaya. Dan mau tidak mereka mau harus bisa menerimanya.

Sumber: Football-Italia, Sky Sports, Soccerway.

Komentar