Giovinco di Antara Ambisi dan Rasa Nyaman

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Giovinco di Antara Ambisi dan Rasa Nyaman

Dua tahun sudah Sebastian Giovinco meninggalkan tempat kelahirannya, Italia, dan kini memperkuat Toronto FC. Giovinco pun mungkin sudah dilupakan oleh pendukung Juventus, kesebelasan Italia terakhir yang ia bela. Karena ketika hengkang dari Bianconeri, julukan Juventus, Giovinco kesulitan mendapatkan tempat di skuat utama Juventus yang dibesut Massimilliano Allegri.

Saat ini, usia Giovinco terbilang masih berada di usia emas pesepakbola, 29 tahun. Padahal usia itu dianggap masih relevan bermain di kompetisi elit Italia. Ia harus menerima risiko bahwa pilihannya untuk berkarier dengan Toronto di Liga Amerika Serikat (MLS) pun membuatnya tidak terpanggil Antonio Conte pada skuat Italia di Piala Eropa 2016. Padahal sudah 22 gol dicetak dari 34 penampilannya di MLS.

Giovinco pun hanya bisa mendukung negaranya di seberang Atlantik, menontonnya di rumahnya di kawasan Yorkville, Toronto. Ia pun hanya bermimpi bisa kembali ke skuat Italia suatu hari nanti. Giovinco merasa mampu melakukannya, apalagi melalui kemampuan sepakbola yang dibawanya berhasil menjadikan sepakbola sebagai olahraga top di Kota Toronto yang berpopulasi lebih dari enam juta orang.

Giovinco telah berhasil merebut hati pendukung sepakbola di seluruh Toronto, dari anak-anak sampai orang tua. Membuat para pendukungnya meninggalkan pekerjaannya lebih cepat untuk berduyun-duyun ke stadion. Di sana juga tidak akan menemukan kursi kosong dari banyaknya orang di Pub Toronto Liberty Village untuk menyaksikan Giovinco. Sebelumnya, tidak ada pemain internasional lain yang membuat keadaan seperti itu.

Situasi saat itulah yang terjadi ketika Toronto menghadapi Piladelphia Union pada play-off MLS 2016. Dan Giovinco berhasil mencetak gol pembuka saat laga baru berjalan 15 menit. Akhirnya Toronto memenangkan pertandingan dengan skor 3-1 dan lolos ke babak semifinal menghadapi New York City. Giovinco berhasil membantu kesebelasannya lolos ke semifinal untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Kemudian Giovinco ikut dimainkan ketika menghadapi New York City pada semifinal leg pertama. Kendati tidak ikut mencetak gol, tapi kesebelasannya berhasil memenangkan laga tersebut dengan skor 2-0. Sayangnya laga itu tidak diikuti Andrea Pirlo, rekan senegaranya yang juga mlanjutkan karier di MLS, di sektor tengah. Tapi New York City akan bertemu kembali dengan Toronto pada leg kedua saat 7 November nanti. Kemungkinan Pirlo akan diturunkan pada laga tersebut. Bentrokan pun terjadi antara pemain yang tidak pernah membayangkan karier mereka akan membawa ke MLS.

Pirlo adalah salah satu panutan Giovinco sewaktu di Juventus dan Italia. Giovinco terlebih dahulu meninggalkan Juventus menuju MLS pada Januari 2015. Kemudian Pirlo menyusul pada bursa transfer musim panas. Kedua pemain itu pun bertemu pada leg kedua semifinal MLS. Pertemuan itu memang menunjukkan catatan sejarah yang berbeda kendati sama-sama mantan bintang di Italia.

Bedanya, Pirlo sudah pernah bermain di partai final berbagai kompetisi. Final Piala Dunia, Piala Eropa, Liga Champions dan pernah dilakoninya. Tidak seperti Pirlo, Giovinco tidak pernah dimainkan di salah satu final tersebut. Tidak pernah merasakan juara bersama Italia. Bahkan bukanlah pemeran utama ketika Juventus meraih Scudetto.

Tapi yang jelas, kedua pemain itu telah menemukan dirinya masing-masing, yang paling penting menulis bab paling signifikan di dalam buku sejarah kesebelasannya masing-masing. Namun kenyataannya melahirkan hasil berbeda juga di lapangan. Giovinco berhasil membawa kesebelasannya mengalahkan New York City. Bahkan pemain bernomor punggung 10 itu mencetak hattrick dan memenangkan laga dengan lima gol tanpa balas.

Pembuktiannya itu diharapkan bisa membawanya kembali ke skuat Italia. Apalagi laga tersebut merupakan yang terakhir sebelum jeda internasional November ini. Tapi tidak kenyataannya. Giampiero Ventura yang saat ini melatih Italia justru tidak tertarik kepadanya sehingga ia diabaikan. Ventura justru memanggil Manolo Gabbiadini dan Citadin Eder yang penampilannya sedang menurun di Serie-A.

Giovinco seolah terluka di waktu yang salah. Padahal ia selalu dirindukan para pendukung Toronto di setiap pertandingannya. Giovinco bukan hanya pemain terbaik MLS saat ini, tetapi pemain yang paling berharga. Toronto menginginkan Giovinco mengakhiri kariernya di sana.

Tapi apa daya, masalah liga adalah kendalanya untuk bisa kembali ke skuat Italia. Ultimatum Ventura mengenai alasan dirinya tak dipanggil ke timnas bisa membuatnya berubah pikiran jika ia benar-benar ingin kembali membela panji Gli Azzurri. Bukan tak mungkin ia akan kembali ke Italia, membela kesebelasan Italia, untuk membuktikan diri bahwa dirinya memang memiliki kualitas di manapun ia bermain. Yang jika ia lakukan, ia harus meninggalkan Toronto yang telah memberikannya rasa nyaman dalam berkarier.


Sumber: Daily Mail, Football-Italia, MLS Soccer, Soccerway.

Komentar