Kisah Damir Desnica, Pesepakbola Difabel yang Melegenda

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kisah Damir Desnica, Pesepakbola Difabel yang Melegenda

Oleh: Rahman Fauzi

Keterbatasan dalam berbicara dan mendengar sedari lahir sama sekali tidak menghalangi Damir Desnica mewujudkan hasratnya menjadi pesepakbola profesional. Nama Desnica memang cukup asing bagi banyak orang dan sulit tercatat pada katalog nama pesepakbola legendaris. Namun sesungguhnya, karier Desnica mengandung cerita yang selamanya layak dituturkan.

Kiprah Desnica memang hanya berkutat di klub-klub menengah Eropa, khususnya Yugoslavia pada pertengahan 1970-an sampai awal 1990-an. Lahir di Obravak, Yugoslavia (kini masuk bagian Kroasia) pada 20 Desember 1956, bakat sepakbola Desnica tumbuh seiring dengan dirinya yang menjadi dewasa. Saat berusia tujuh tahun, Desnica bersama keluarganya pindah ke Zagreb. Di sana ia mengenyam pendidikan di sekolah khusus tunarungu. Sedari sana, sepakbola selalu menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan dalam kesehariannya.

Usia 17 tahun, Desnica memulai kariernya di klub HNK Rijeka, tempat ia menunjukkan segala yang terbaik yang ia miliki. Dalam sembilan tahun kariernya (1974-1985) di Rijeka, capaian Desnica terasa mengagumkan merujuk kepada keterbatasan yang ia punya. Berperan sebagai pemain sayap, Desnica mencatatkan 251 jumlah penampilan dan sukses mencetak 54 gol.

Meski jelas berbeda konteks, sekadar tambahan informasi, Shola Ameobi hanya mengoleksi 53 gol dalam 312 laga selama sembilan tahun membela Newcastle United. Sementara Darius Vassell hanya mencetak 52 gol dalam 265 laga saat berkarier di Aston Villa dan Manchester City (1998-2009). Sedangkan Ali Dia dikontrak Southampton yang tertipu, untuk bermain satu laga, lalu menghilang, dan menjadikannya lelucon sepanjang zaman. Sepintas, Desnica lebih baik daripada mereka.

Desnica bagian penting dari kesuksesan yang direngkuh Rijeka pada era 70-an akhir sampai 80-an awal. Mereka menjuarai dua Piala Yugoslavia (1978 & 1979) dan satu Piala Balkan (1978). Rijecki bijeli (Si Putih Rijeka) menjadi klub terpandang di Yugoslavia bersama Partizan Beograd, Hajduk Split, Dinamo Zagreb, dan Red Star Beograd saat itu.

Bernomor punggung 11, Desnica kerap menciptakan kekacauan di sisi kanan pertahanan lawan. Dari tayangan video-videonya di Youtube, sepintas gaya mainnya mirip pemain sayap andalan Kroasia hari ini, Ivan Perisic. Dia bukan pemain sayap ortodoks yang menunggu dekat garis tepi lapang menanti operan dan seketika memberi umpan lambung ke penyerang nomor sembilan.

Desnica bisa menusuk ke tengah dengan giringan tenang, melakukan operan pendek 1-2 kali dengan gelandang, dan merangsek perlahan masuk ke area kotak penalti. Robert Frank dari media Novi list menyamakan aksi slalom Desnica tersebut sebagai puisi bernilai seni.

Di kancah Eropa, Rijeka melangkah sampai babak 32 besar Piala UEFA 1984-85. Pencapaian terbaik sepanjang keikutsertaan mereka pada kejuaran tersebut. Bahkan sebetulnya mereka tidak pantas tersingkir, seandainya kisah kelam yang melibatkan Desnica tidak pernah terjadi.

Pada putaran pertama ajang tersebut, Rijeka sukses melewati hadangan Real Valladolid 4-2 secara agregat. Melenggang ke babak berikutnya, Rijeka mesti menghadapi klub senegara Valladolid yang jauh lebih tangguh dan familiar, Real Madrid. Raksasa Spanyol tersebut pada waktu itu diperkuat pemain legendaris seperti Jorge Valdano (kelak juara Piala Dunia 1986 bersama Argentina), Santillana, dan Juanito. Seperti biasa, Real Madrid menjadi favorit.

Realitasnya, El Real menjalani laga tidak semudah yang dibayangkan. Desnica cs. mempecundangi Real Madrid 3-1 pada laga pertama di Stadion Kantrida, Rijeka. Sampai kemudian hal luar biasa aneh terjadi saat Stadion Santiago Bernabeu menggelar perjumpaan kedua.

Rijeka mesti bermain 10 orang sedari menit ke-34 saat bek Milenkovic diberi kartu merah wasit asal Belgia, Roger Schoeters. Mereka hanya bisa menahan skor tanpa gol sampai menit ke-67 saat Juanito akhirnya mencetak gol dari titik putih guna membawa Madrid unggul. Sampai kemudian insiden di menit ke-74 yang melibatkan Desnica menjadi peristiwa penting yang selamanya menjadi bahan perbincangan. Sebuah tragedi berjudul "Keajaiban di Bernabeu".

Desnica diganjar dua kartu kuning secara beruntun dalam waktu yang hampir serentak. Kartu kuning pertama karena dia terus bermain, meski wasit sudah meniup peluit pasca terjadinya pelanggaran untuk Real Madrid. Kartu kuning kedua muncul dengan alasan yang lebih absurd; Desnica melakukan protes berlebihan.

Tunggu sejenak. Kartu kuning pertama mungkin sedikit masuk akal, karena sekalipun Desnica tuli, ia bisa melihat gerak tangan wasit tanda pelanggaran terjadi. Pemberian kartu kuning berikutnyalah yang menjadi persoalan. Bagaimana mungkin orang bisu mampu melakukan protes verbal sampai membuat wasit tersinggung? Sulit dicerna akal sehat.

“Jelas saya ingat laga tersebut, itu skandal perampokan. Saya diusir dari lapangan karena protes, sesuatu yang mustahil karena saya tidak bisa berbicara,” kata Desnica kepada AS pada 2011.

Setelah diusirnya Desnica, Real Madrid sukses mendapatkan dua gol yang dibutuhkan untuk menyingkirkan Rijeka. Los Blancos melenggang dengan agregat 4-3. Di akhir turnamen, mereka keluar sebagai juara setelah menekuk klub Hungaria, Videoton 2-0.

Schoeters sendiri menyangkal ia mengeluarkan Desnica karena buang-buang waktu dan protes, melainkan disebabkan Desnica melakukan penghinaan kepadanya. Konon Schoeters memiliki pengetahuan soal bahasa isyarat yang biasa ia pakai berkomunikasi dengan Desnica sepanjang pertandingan. Dalam konflik seperti ini, sulit mengetahui apa yang benar-benar terjadi.

Apa yang terjadi tidak bisa diubah lagi, tidak terkecuali kepada seorang Desnica. Setelah sembilan tahun karier gemilangnya, Desnica pergi berkarier di luar Yugoslavia. Giliran tepi lapangan milik klub Belgia, K.V. Kortrijk menjadi daerah teritorialnya sepanjang tahun 1985-1990. Meskipun relatif tidak sesukses saat membela Rijeka, kariernya di sana membuahkan torehan 19 gol dalam 109 partai.

Catatan mengesankan lainnya dari karier Desnica, yaitu saat dia membukukan trigol saat melawan klub Cekoslowakia, FC Locomotive Kosice pada Piala Winners 1979. Kemenangan 3-0 itu membawa Rijeka menembus babak delapan besar, sebelum akhirnya ditekuk raksasa Italia, Juventus. Lagi-lagi, ini pencapaian terbaik Rijeka. Desnica selalu menyumbang tenaga signifikan dalam langkah terjauh yang Rijeka tempuh di Piala UEFA dan Piala Winners.

Desnica mutlak legenda Rijeka. Namanya masuk dalam susunan sebelas pemain terbaik sepanjang masa klub yang pernah dibela Andrej Kramaric ini. Desnica selalu masuk daftar 11 pemain terbaik versi pemilihan suara para mantan pemain dan versi koran lokal Novi list.

Untuk level tim nasional, Desnica hanya sekali membela Yugoslavia. Bersama kompatriotnya, semacam Vladimir Petrovic (kini pelatih Swiss), Safet Susic (pelatih Bosnia & Herzegovina di Piala Dunia 2014), Petar Borota (eks Chelsea), dan Dzamel Hadziabdic (eks Swansea City), Desnica, dkk. menantang Rumania. Namun tidak ada kisah manis yang patut diceritakan, karena mereka kalah 2-3.

Pencapaian karier Desnica jelas sesuatu yang mengesankan mengingat keterbatasan yang ia lampaui. Sebagai orang yang berkarier di bidang yang sangat memerlukan kesehatan jasmani dan rohani, Desnica berhasil menyesap berkah dari ketidakberuntungan yang ia punya. Terlebih kelewat sedikit pemain dengan hambatan serupa yang mampu berkarier di level tertinggi sepertinya.

Ada beberapa nama yang bisa disebut, seperti Cliff Bastin, top skor ketiga sepanjang masa Arsenal yang juga tuli. Lalu Rodney Marsh (legenda Fulham, QPR, dan Man. City), Jimmy Case (legenda Liverpool & Southampton), dan bek Spurs tahun 1972-73, Bobby Scarth. Keterbatasan yang mereka idap tidak hanya membuat karier mereka spesial, tapi juga turut memperkaya cerita sepakbola.

Sebetulnya, momen buruk Desnica di Santiago Bernabeu barang kali juga bisa dilihat sebagai sebuah berkah. Toh, terlepas dari keanehan yang terjadi, tragedi itulah yang membuat nama Desnica bisa menjadi bahan perbincangan lintas zaman. Kita bisa jadi tahu bahwa ada pemain bisu-tuli dari Kroasia yang punya karier gemilang, sekalipun menjadi korban sebuah skandal muram.

Ya, setiap awan gelap memang memiliki lapisan peraknya yang cerah.

Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad yang sedang berusaha lulus kuliah. Biasa berkicau lewat akun @oomrahman.

Komentar