Memahami Idealisme Arsene Wenger dan Hedonisme Fans di Era Sepakbola Modern

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Memahami Idealisme Arsene Wenger dan Hedonisme Fans di Era Sepakbola Modern

Oleh: Stefanus Tulus Hasudungan

“Setelah menyaksikan Socrates gurunya dihukum mati di pengadilan Athena, Plato yang kala itu berusia 29 tahun merenung dan kemudian menemukan sebuah jalan bagi seluruh upaya filosofisnya. Ia menemukan jurang perbedaan antara ‘apa yang ada’ (masyarakat yang gagal memahami ajaran Socrates) dengan ‘apa yang seharusnya ada’ atau ‘ideal’ dalam pikirannya (yaitu masyarakat yang memahami ajaran Socrates). Pemikiran Plato ini kemudian menjadi tonggak berdirinya filsafat Idealisme.”

Idealisme Plato mempercayai bahwa realitas terbagi menjadi dua dunia yaitu dunia indra dan dunia ide. Dunia indra digambarkan sebagai dunia yang fana dan tidak sempurna yang dapat dicapai dengan menggunakan kelima indra. Sedangkan dunia ide dipandang sebagai dunia yang kekal, abadi, dan sempurna yang tidak dapat ditangkap dengan indra dan hanya mampu dicapai dengan berpikir.

Sejak pertama kali datang ke Inggris untuk menukangi Arsenal pada 1996, Arsene Wenger dikenal sebagai Idealis sejati. Ia memiliki pemikiran idealnya sendiri tentang bagaimana sebuah klub sepak bola harus dijalankan. Wenger meyakini bahwa segala yang ada di dunia indra, adalah hal yang fana dan tidak sempurna dengan tidak terpengaruh oleh klub rivalnya yang jor-joran belanja pemain dalam setiap bursa transfer. Wenger telah memiliki gambarannya sendiri tentang bagaimana membentuk sebuah tim "ideal".

Pada satu dekade awal kepemimpinannya, pria yang fasih berbicara dalam lima bahasa itu berhasil mewujudkan dunia ide yang sempurna ke dalam dunia indra. Suporter dapat melihat Arsenal mendulang kemenangan dan gelar dengan permainan yang atraktif sekaligus mendengarkan pujian dari supporter klub lain. Wenger membawa Arsenal mencapai puncak kejayaannya dengan membawa Arsenal meraih tiga trofi Liga Inggris, empat trofi FA Cup, dan enam trofi Community Shield.

Wenger juga mampu menerjemahkan pikirannya tentang permainan atraktif kepada para pemain di lapangan. Ia memberikan jiwa dalam permainan menyerang Arsenal lewat sentuhan cepat, operan pendek dan umpan terobosan mematikan yang digodok dengan metode latihan close-control dan small sided games. Kita mengenalnya dengan filosofi Wengerball.

Kesuksesan Arsenal tersebut juga tak lepas dari hasil pemikiran Wenger tentang kebijakan transfer pemain. Ketika manajer klub lain berlomba-lomba membeli pemain kelas wahid, Wenger dengan tenang menyesap Vin d`Alsace, wine kebanggaan kota kelahirannya, Strasbourg, seraya hanyut dalam alam pikirannya sendiri tentang kriteria pemain ideal yang akan diboyongnya.

Ia merancang kebijakan pembelian pemain Arsenal yang berkonsentrasi pada empat hal ; kemampuan pemain, bagaimana kehadiran sang pemain memperkuat tim, usia pemain tersebut, dan potensi harga jual di masa mendatang. Idealisme transfer Arsene Wenger saat itu membuahkan hasil yang sangat mengesankan.

Arsenal berhasil mendapatkan jasa pemain berkualitas seperti Emmanuel Petit, Marc Overmars, dan Nicolas Anelka dengan harga yang murah, memenangkan gelar bersama mereka, lalu menjualnya dengan keuntungan berlipat. Pembelian Le Professeur lainnya seperti Patrick Vieira, Dennis Bergkamp, Robert Pires, Thierry Henry, dan Jens Lehmann bahkan menjadi faktor kunci dalam meraih trofi Liga Inggris dengan status Unbeaten, prestasi yang belum bisa diulangi klub Inggris manapun sejak era Premier League bergulir hingga saat ini.

Sayangnya dunia indra adalah dunia yang fana. Tak ada yang kekal abadi dalam dunia indra seperti yang dikatakan Plato. Setelah bertekuk lutut dari Barcelona di final Liga Champions 2006, segala sesuatunya berubah menjadi buruk bagi Arsenal dan Arsene Wenger.

Kedatangan taipan minyak Roman Abramovich dan Sheikh Mansour, serta pengusaha Qatar Nasser Al-Khelaifi untuk mengakuisisi Chelsea, Manchester City, dan Paris Saint Germain menandakan terjadinya perubahan besar-besaran dalam sepak bola Eropa. Bursa transfer pemain menggila. Biaya 80 juta poundsterling dan gaji 300 ribu poundsterling per pekan untuk seorang pemain menjadi hal yang lumrah.

Arsene Wenger yang (mengaku) tidak mampu bersaing secara finansial dengan klub-klub tersebut akhirnya menjadi korban perubahan era sepak bola modern. Ide dalam dunia pikirannya yang dulu sempurna, tak lagi dapat diwujudkan dengan mudah karena perubahan yang begitu cepat.

Kebijakan-kebijakan transfer yang diambilnya pun menjadi tidak lagi sesuai dengan tuntutan suporter dan zaman yang memintanya untuk mulai membeli pemain kelas dunia. Menanggapi hal tersebut, Wenger berkilah dan mengatakan bahwa ia hanya melakukan yang terbaik untuk menjaga stabilitas klub.

“I accept one basic principle for every company; that you can spend the money you make…I spend £300m if I find the player and if I have the £300m. Not to forget as well that we are a club who has 600 employees who we need to have a responsible attitude for as well. It’s a bit surprising that you come out of football games and you don’t speak about football, you have to speak about money.” –Arsenal.com

Arsenal dan Arsene Wenger harus menerima kenyataan yang cukup menyedihkan dari idealisme yang dijunjung dalam mengarungi perubahan tersebut. Hanya dua trofi FA Cup dan dua trofi Community Shield yang berhasil dimenangkan dalam 10 tahun berikutnya.
Era sepak bola modern menawarkan jalan pintas untuk meraih gelar dengan mengandalkan kekuatan finansial para pemilik klub.

Kekayaan pemilik klub yang tak terbatas akan memberikan garansi kedatangan pelatih dan pemain terbaik guna mendominasi kompetisi. Keterlibatan suporter dan media yang semakin nyata dengan adanya media sosial juga turut mendukung iklim transfer gila-gilaan sepak bola modern tersebut. Sepak bola kini menjadi sarana bagi suporter untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan. Kemenangan, koleksi gelar, pamor. dan transfer pemain berkelas menjadi alasan fans sepak bola di era sepak bola modern membusungkan dadanya.

Aliran filsafat yang mampu menggambarkan fenomena sepak bola modern ini adalah Hedonisme. Hedonisme berasal dari akar kata bahasa Yunani, hedone, yang berarti kesenangan. Aliran ini mengatakan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Garis argumentasinya adalah bahwa manusia akan bahagia apabila ia mencapai perasaan nikmat sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan suporter sepak bola modern yang menganut hedonisme. Epikuros, salah satu tokoh aliran ini mengatakan bahwa tindakan manusia dalam mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Maka, wajar saja apabila suporter yang sepanjang minggu telah berjibaku dengan pelajaran di sekolah/kampus, maupun yang disibukkan dengan pekerjaan, ingin mendapatkan kebahagiaan dengan melihat klub kesayangannya memenangkan pertandingan di akhir minggu.

Tentu tidak ada satupun diantara kita yang ingin masalah dalam hidupnya bertambah dengan melihat tim kesayangannya menjadi bulan-bulanan kesebalasan lain saat matchday pada akhir pekan. Apalagi kalau sudah membayar mahal untuk tiket pertandingan/jasa tv berlangganan. Wajar pula bila suporter geram dengan aktivitas transfer Arsenal yang dinilai ketinggalan dari klub rival.

Saat klub lain dengan royalnya mengeluarkan puluhan juta paun untuk memperkuat tim dengan mendatangkan pemain bintang macam Paul Pogba, Mitchy Batshuayi, Sadio Mane, dan John Stones, Wenger masih puas hanya membeli pemuda berusia 20 tahun, Rob Holding, dari Bolton untuk mengisi posisi bek tengah yang sedang kritis.

Kedua aliran filsafat yang telah dijelaskan di atas, baik Idealisme yang dijunjung Arsene Wenger maupun Hedonisme yang dianut suporter sepak bola modern, bukan untuk saling diadu atau menjadi sumber perpecahan dan olok-olok, seperti yang sering kita lihat di kolom komentar berita sepak bola.

Filsafat ada untuk dipahami dan didiskusikan secara hidup. Karena filsafat sejatinya adalah usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh tentang ‘sesuatu’ sejauh akal manusia dapat menjangkaunya. Dari pandangan yang menyeluruh itulah, kelak kita akan dapat menjawab pertanyaan;

Apakah harga yang telah kita bayarkan selama ini sudah mampu memberikan apa yang kita ingin dapatkan?

Hanya diri kita sendiri yang berhak menjawab pertanyaan itu.

Penulis adalah Mahasiswa Manajemen Komunikasi Fikom Unpad. Rutin perform dan menulis lagu untuk sebuah band alternative-rock. Mengidolakan sosok Thierry Henry dan Alessandro Del Piero. Berakun Twitter @stefanusth92

Komentar