Sebuah Prasasti Berhiaskan Nama Portugal

Cerita

by Redaksi 33

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sebuah Prasasti Berhiaskan Nama Portugal

Indonesia, dahulu kala pernah menjadi sebuah negara kerajaan. Banyak sekali kerajaan berdiri di negeri ini, dengan macam-macam corak dan kepercayaan yang menyertai di dalamnya. Mulai dari Kerajaan Kutai, Tarumanegara, serta Majapahit yang bercorak Hindu, Sriwijaya yang bercorak Buddha dan Kerajaan Samudra Pasai juga Demak yang bercorak Islam.

Pada masa itu, kerajaan-kerajaan menguasai suatu daerah tertentu, sebelum akhirnya runtuh dan digantikan oleh kerajaan yang lain. Sebelum runtuh, atau sebelum memasuki masa-masa suram, sebuah kerajaan akan meninggalkan prasasti. Prasasti, sebuah batu yang berisikan guratan tulisan inilah yang menjadi sebuah saksi sejarah, yang takkan hilang dan akan selalu membuat sebuah kerajaan dikenang.

Hal unik lain dari sebuah prasasti adalah, ia akan sulit sekali untuk hilang dari muka bumi, kecuali oleh faktor alam seperti banjir, gunung meletus, dan gempa bumi, juga faktor manusia seperti adanya pembukaan lahan di wilayah prasasti itu berada. Bisa jadi juga sebuah prasasti sulit untuk ditemukan karena lokasinya yang jauh dari peradaban. Tapi, jika memang tidak ada faktor pengganggu, sebuah prasasti akan tetap kokoh, menjadi saksi sejarah yang bertahan selama berabad-abad lamanya.

Mencatatkan sebuah sejarah dalam prasasti sama halnya mencatatkan diri menjadi juara dalam sebuah ajang sepakbola yang akbar, seperti halnya Piala Dunia ataupun Piala Eropa. Dan, pada malam 10 Juli 2016 waktu Prancis, atau 11 Juli dini hari waktu Indonesia, Portugal punya kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

**

Sejak memasuki babak 16 besar Piala Eropa, mungkin sama sekali tidak ada orang yang menjagokan Portugal. Lolos dari grup F, grup yang dinilai persaingannya paling mudah, mereka hanya lolos sebagai peringkat tiga terbaik di bawah Hungaria dan Islandia. Apalagi, pada babak 16 besar mereka menghadapi Kroasia, tim yang menjadi juara grup usai mengandaskan perlawanan Spanyol.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Di bawah asuhan Fernando Santos yang juga mantan pelatih Yunani dalam ajang Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2014, Portugal bermain lebih rapat. Melawan Kroasia yang begitu agresif dalam menyerang, Portugal mampu bertahan dengan tabah, sampai kejadian pada masa babak perpanjangan waktu akhirnya membawa mereka melenggang ke babak delapan besar.

Mengalahkan Polandia pada babak delapan besar lewat drama adu penalti, lalu mengalahkan si kuda hitam berwujud naga dari Britania, Wales, dengan skor 2-0 pada babak semifinal, mereka akhirnya berhasil menapakkan kaki-kaki mereka pada di partai final Piala Eropa, sama seperti apa yang pernah mereka capai pada Piala Eropa 2004 lalu di bawah asuhan Luiz Felipe Scolari.

Lalu, sesuatu pun terjadi. Sang bintang Portugal, Cristiano Ronaldo kembali berderai air mata, sama halnya ketika gelaran Piala Eropa 2004 kala Portugal yang menjadi tuan rumah ditaklukkan Yunani dengan skor 1-0. Namun, derai air mata Ronaldo kali ini bukanlah derai air mata kesedihan, melainkan derai air mata bahagia karena Portugal berhasil menang 1-0 atas tuan rumah Prancis!

Suka cita membanjiri tubuh skuat Portugal. Semua larut dalam bahagia, termasuk sang kapten, Ronaldo, yang sempat bermuram durja kala harus ditarik di pertengahan babak pertama karena mengalami cedera usai bertabrakan dengan Payet.

“Saya sangat senang, dan sesuatu ini (trofi Piala Eropa) adalah sesuatu yang menakjubkan dalam karier saya, sesuatu yang sebenarnya pantas saya dapatkan dari dahulu. Meski saya sempat tidak beruntung karena harus ditarik keluar karena cedera, rekan-rekan saya melakukan hal yang hebat di atas lapangan,” ujar Ronaldo seusai pertandingan.

“Rekan-rekan saya berlari, bertarung, disaksikan oleh 70.000 orang yang menonton di stadion. Mungkin ada orang yang tidak percaya, namun, pada akhirnya kami memenangkan pertandingan ini,” tambahnya.

Tapi, akibat dari sistem permainan bertahan yang diterapkan Portugal selama Piala Eropa 2016 ini, mereka dicaci oleh orang-orang. Salah satu pemain yang mencaci adalah Lukas Podolski, pemain timnas Jerman. Jerman sendiri dikalahkan oleh Prancis pada babak semifinal. Melalui akun Twitter nya, ia berkicau bahwa sepakbola itu lucu.

“Jerman lawan Prancis, tim yang lebih hebat kalah! Portugal lawan Prancis, tim yang lebih hebat kalah! Sepakbola itu memang lucu,” kicaunya.

Meski banyak mengundang cacian, pelatih Portugal, Fernando Santos, dengan tenang mengatakan bahwa inilah cara mereka untuk meraih trofi, meski memang dipandang negatif oleh sebagian orang. Ia mengatakan bahwa Portugal sekarang itu begitu sederhana dan bijak.

“Inilah cara kami meraih trofi (dengan bermain defensif). Kami ini sama sederhananya seperti seekor merpati dan sama bijaknya seperti seekor naga,” ujarnya.

**

Sejarah telah diciptakan, dan ia akan tercetak jelas dan menjadi sebuah peristiwa masa lampau. Apapun komentar orang-orang, dan apapun sebutan yang disematkan orang-orang, catatan Portugal ini sudah tergurat secara permanen dalam sebuah prasasti bernama trofi Piala Eropa. Catatan yang menuliskan bahwa Portugal pernah meraih trofi ini, bersama dengan negara-negara lain yang pernah meraihnya.

Komentar