Antara Kebanggaan dan Harga Diri Inggris, Brexit, dan Kesebelasan Sepakbola Mereka

Cerita

by Redaksi 32

Redaksi 32

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Antara Kebanggaan dan Harga Diri Inggris, Brexit, dan Kesebelasan Sepakbola Mereka

England belong`s to me

A nation`s pride the dirty water on the rivers

No one can take away our memory

Oh Oh, England belongs to me

Lirik lagu di atas merupakan potongan reffrain dari lagu berjudul England Belongs to Me. Sebuah lagu dari Cock Sparrer, band punk asal London yang dirilis tahun 1982. Sepotong lirik tersebut menggambarkan tentang kebanggaan serta tingginya harga diri publik Inggris atas negaranya sendiri, sehingga tak akan ada satupun yang mampu merebut kejayaan masa lalu dari mereka.

Contoh nyata adalah fenomena Brexit yang kini santer terdengar. Sebuah referendum untuk memutuskan eksistensi Inggris di Uni Eropa, apakah akan tetap tinggal atau keluar dari organisasi antar negara-negara Eropa tersebut.

Perdana Menteri David Cameron bisa dibilang merupakan pemicu dari gerakan tersebut. Setahun yang lalu ia pernah berjanji akan mengadakan referendum. Pada tahun 1975 silam Negeri Ratu Elizabeth itu juga pernah melakukan gerakan yang sama. Saat itu diputuskan bahwa Inggris tetap bertahan di Uni Eropa.

Nah lalu apa hubungannya Brexit dengan kebanggaan yang mereka agung-agungkan?

Meski mayoritas masyarakat condong untuk menolak berpisah dari Uni Eropa, namun tak sedikit pula yang masih menganggap bahwa keputusan tersebut merupakan kesalahan. Publik Inggris beralasan bahwa Uni Eropa terlalu mengontrol mereka dalam berbagai aspek. Padahal kehadiran Uni Eropa sebenarnya berfungsi untuk mensejahterakan negara-negara anggotanya.

Permasalahan mental kolonial yang masih mendarah daging juga menjadi salah satu alasan kuat untuk keluar dari Uni Eropa. Inggris yang memiliki sejarah panjang dalam hal menjajah, tentu tak akan suka dengan metode Uni Eropa yang secara tak langsung menjajah mereka.

Seperti halnya timnas mereka yang selalu berekspektasi lebih dalam mengikuti kejuaraan internasional. Ambil contohnya pada Piala Eropa kali ini, publik telah memasang target tinggi pada kesempatan kali ini. Alasannya, Inggris memang tampil meyakinkan di babak kualifikasi, mereka menorehkan hasil 100%.

Dari total 10 laga yang di jalani oleh Inggris, mereka berhasil menyapu bersih semuanya. Selain itu mereka berhasil menyarangkan 31 gol dan hanya kebobolan sebanyak tiga kali. Hal itu ditambah lagi dengan penampilan para generasi muda mereka yang cemerlang. Sebagai contoh munculnya Dele Alli yang digadang-gadang menjadi gelandang muda terbaik di muka bumi, ditambah lagi dengan semakin matangnya penampilan Eric Dier yang akan menambah opsi lini belakang bagi Inggris.

Sementara itu masalah klasik mereka dalam beberapa tahun terakhir, yakni lini serang, kini hampir terpecahkan. Keberhasilan Harry Kane dan Jamie Vardy yang bercokol di urutan pertama dan kedua sebagai pencetak gol terbanyak di Liga Primer menjadi harapan tersendiri bagi publik Inggris.

Terutama Kane yang mencetak 25 gol, torehan tersebut terakhir terjadi (pemain Inggris mencetak 25 gol dalam semusim Liga Primer) pada musim 1999/2000 kala Kevin Phillips dan Alan Shearer mengisi dua daftar teratas sebagai pencetak gol terbanyak Liga Primer.

Belum lagi dengan hadirnya Marcus Rashford si bocah ajaib yang tampil sebagai pemain termuda dalam skuat The Three Lions yang siap memberikan kejutan seperti yang dilakukannya kala berseragam Manchester United.

Gerombolan pemain yang baru naik daun di musim lalu itu akan bersinergi dengan Wayne Rooney, Joe Hart, Gary Cahill, serta Daniel Sturridge yang sebelumnya merupakan andalan dari Inggris. Tentu akan semakin mendongkrak harapan bagi publik St. George Cross untuk mampu meraih titel perdana sebagai raja di benua biru.

Memang mereka berhasil lolos dari fase grup dan siap berlaga di babak 16 besar empat hari mendatang. Akan tetapi torehan mereka tiga laga tersebut bisa dibilang kurang maksimal. Hanya meraih sekali kemenangan dan dua kali bermain imbang. Hasil tersebut membuat mereka hanya finis di urutan kedua, di bawah Wales yang notabene merupakan negara di bawah naungan Inggris.

Kebanggaan dan harga diri yang menjulang tinggi merupakan sebuah tradisi bagi masyarakat Inggris. Seperti budaya sopan santun yang melekat di Indonesia atau budaya malu yang menjadi identitas bagi negara Jepang dan Korea Selatan. Jadi jangan salahkan mengapa publik Inggris selalu memiliki standar tinggi kepada tim sepakbola mereka, meski baru sekali meraih gelar internasional yakni Piala Dunia setengah abad yang lalu.

Baca juga

Tentang Brexit dan Pengaruhnya Terhadap Liga Primer Inggris

Ilustrasi Dampak Brexit pada Liga Inggris

Foto: Pixabay

Komentar