Muhammad Ali, Piala Eropa dan Hal-Hal Memilukan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Muhammad Ali, Piala Eropa dan Hal-Hal Memilukan

Oleh: Irham Thoriq*

Olahraga saya kira menarik bukan hanya karena pertunjukan di arena. Olahraga kadang begitu memikat karena cerita-cerita di luar lapangan. Kisah tentang kepiluan seseorang, kelak bisa menjadi cerita luar biasa ketika orang tersebut menjadi bintang.

Saya kira Muhammad Ali tersohor bukan hanya karena dia juara dunia tinju tiga kali. Tapi juga kronik dalam hidupanya. Suatu hari, Ali kecil yang miskin kehilangan sepeda. Lalu dia ingin menghajar maling. Oleh seorang pelatih tinju dia diminta untuk menjadi petinju sebelum menghajar si maling.

Belakangan, kita mengenalnya bukan hanya sebagai petinju kelas dunia, tapi juga pejuang kemanusiaan. Dia menolak wajib militer, mengecam calon presiden Donald Trump yang akan melarang umat Islam masuk Amerika Serikat, dan memperjuangkan kesetaraan kulit hitam dan putih.

Ali mungkin hanya sebagian kisah dari olahragawan yang mempunyai kisah menarik di luar arena. Di sepakbola, di tengah-tengah keriuhan Euro yang sedang berlangsung, kita mendapati sejumlah pemain yang sebenarnya bukan asli Eropa. Atau ekstrem-nya bukan bangsa kulit putih yang identik dengan Eropa.

Banyak tim yang memainkan para keturunan imigran. Mari kita lihat skuat Prancis yang menjadi tuan rumah. Ada 13 pemain yang merupakan pemain keturunan alias nenek moyang mereka bukan dari dataran Prancis. Diantaranya Steve Mandanda dari Kongo, Patrice Evra dan Mamadou Sakho dari Senegal, Blaise Matuidi dari Angola, Samuel Ummiti dari Kamerun, dan Adil Rami dari Maroko.

Di tim nasional Inggris ada Delle Alli dari Nigeria dan Daniel Sturridge dari Jamaika. Sedangkan di Jerman ada Sami Khedira dari Tunisia, Lukas Padolski dari Polandia, Leroy Sane dari Senegal dan Masut Oezil dari Turki.

Umumnya para imigran ini ketika kecil hidup dari keluarga miskin. Mereka menggantungkan impian mereka pada sepakbola, hingga akhirnya bisa tampil membela tim nasional di Piala Eropa.

Salah satu pemain hebat yang berasal dari Imigran miskin adalah Mesut Oezil. Pemain yang beberapa waktu lalu dielu-elukan oleh sebagian umat Islam karena berfoto saat umrah di Mekkah ini bukanlah lahir dari akademi mentereng. Oezil kecil berlatih di lapangan Olgastrasse, Jerman.

Lapangan ini bukanlah lapangan mewah dengan rumput sintetis. Bahkan, orang sekitar menamainya sebagai Kandang Monyet. Apa pasal ? Ternyata karena lapangan ini terdapat pagar setinggi tiga meter, persis kandang monyet. Lapangan ini juga tidak berumput. Hanya bersemen.

Dari ‘kandang monyet’ inilah kemampuan Oezil sebagai pemain bola ditempa. Ralf Maraun, pelatihnya ketika kecil, mengatakan kalau Oezil adalah anak istimewa meski hanya berlatih di lapangan sederhana.

”Larinya kencang, dia memburu seperti elang, dan tenaganya luar biasa. Anak kecil itu mampu menembakkan bola sejauh 25 meter! Di lapangan Oezil sangat percaya diri,” kata Ralf sebagaimana dikutip majalah Tempo.

Lalu, kini Oezil membuat bangga para imigran, penduduk miskin, atau bahkan umat Islam. Dalam setiap tokoh menurut saya selalu mengandung metafora. Ketika Oezil menggocek si kulit bundar, dia bisa saja sedang membawa nama imigran yang masih hidup miskin.

Lantas imigran yang menyaksikan dari layar kaca bisa bermimpi agar anak-anak mereka bisa sukses seperti Oezil. Atau bagi umat islam yang fanatik, bisa saja Oezil dielu-elukan ketika bermain gemilang. Mungkin ini jugalah yang membuat sebagian umat Islam kegirangan ketika Oezil berfoto di Mekkah. Di situlah tokoh, selalu menimbulkan hal-hal metafora ketika dilihat orang yang mengagumi.

Metafora ini jugalah yang mungkin melekat pada pemain sepak bola yang sudah sukses. Penduduk miskin dari Brasil mungkin ketika melihat Nazario Ronaldo memberdaya lawan-lawan mereka dengan goyangan samba, bisa langsung teringat Ronaldo yang hidup dari kampung miskin.

Begitu juga dengan Zinedine Zidane yang merupakan imigran. Dulu tempat Zidane lahir dikenal sebagai dengan sumber masalah karena kriminalitas yang tinggi. Namun, ketika Zidane menangis saat menyanyikan lagu kebangsaan Prancis, dia tidak lagi dianggap imigran tapi sudah dielu-elukan sebagai pahlawan. Tentu setelah sukses sebagai pemain dan belakangan berhasil menjadi pelatih Real Madrid.

Kisah-kisah kronik dari luar lapangan inilah yang belum banyak kita temui dari sepakbola Indonesia. Kita kekurangan pemain yang bisa melecut semangat anak-anak dan bisa memotivasi orang tua miskin agar menyekolahkan anaknya ke Sekolah Sepak Bola (SSB). Tentu dengan harapan bisa memperbaiki kualitas keluarga yang miskin itu.

Semua itu terjadi karena pemain kita yang masih berkualitas pas-pasan. Sehingga belum menimbulkan metafora yang membuat bangga banyak orang. Sederhananya, kita belum punya pemain yang menjadi maskot. Sementara pemain yang menjadi maskot sangat perlu untuk memancing imajinasi anak-anak, agar bisa meniru dan bermimpi menjadi pemain hebat.

Celakanya, pengelola sepak bola kita juga tidak kunjung beranjak dari konflik dan konflik. Yang itu bisa saja membuat jengah anak-anak untuk bercita-cita menjadi pemain hebat. Mungkin, kita butuh banyak kepiluan lagi agar sepak bola kita bisa naik kelas.

Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com. Berakun twitter @irham_thoriq

sumber gambar: wikipedia.org

Komentar