Duplikasi Kisah Kung Fu Panda pada Musim Pertama Liverpool di Era Juergen Klopp

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Duplikasi Kisah Kung Fu Panda pada Musim Pertama Liverpool di Era Juergen Klopp

Oleh: Hanib Rifai

Semesta terkejut saat Master Oogway menunjuk seekor panda berbadan tambun dengan mata lebar untuk menjadi Ksatria Naga. Bagaimana mungkin seekor panda diserahi nasib sebagai penjaga perdamaian dunia persilatan?

Ada ungkapan bahwa kita tak bisa membahagiakan semua orang dengan apa yang kita buat. Nada sumbang akan selalu terdengar selama irama kehidupan ditabuhkan di dunia ini, bahkan mungkin dari orang terdekat.

Penunjukkan Po, si panda yang dipandang sebelah mata itu, langsung mendatangkan penentangan dari Master Shifu, murid Master Oogway yang merupakan penanggung jawab Istana Giok. Master Shifu menolak keputusan mentornya tersebut karena menanggap murid-muridnya-lah yang pantas terpilih menjadi Ksatria Naga.

Po pun dikucilkan. Bahkan, ada kesan kalau Master Shifu dan murid-muridnya berusahan menyingkirkan Po. Semua hal itu membuat Po sedih. Ia tak yakin bisa memenuhi takdirnya sebagai Ksatria Naga. Ia berpikir kalau menjadi penerus ayahnya sebagai penjual mie jauh lebih baik ketimbang menjaga perdamaian dengan kekerasan.

Di tengah kegelisahannya, Master Oogway yang bijak memberi nasehat, “You are too concern about what was and what will be. There is saying: yesterday is history, tommorow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called ‘the present.”

Ucapan Master Oogway membuat Po kembali bersemangat untuk berlatih dan menjadi lebih baik sampai akhirnya mampu meyakinkan bahwa dirinyalah Sang Ksatria Naga yang sebenarnya.

Maybe it can. If you are willing to guide it, to nurture it, to believe in it. You just need to believe it, you just need to believe, just believe it,” kata Master Oogway.

Liverpool adalah kota tua yang punya banyak sejarah, sama seperti sepakbolanya. Hari itu, 9 Oktober 2015, keriuhan terdengar di salah satu sudut kota pelabuhan itu. Biang keroknya adalah pria brewokan dengan senyum hangat nan ramah. Ia adalah sosok ikonik yang dalam sekejap bisa menjadi sangar dan mengubah teduh tatapannya setajam pisau Guillotine.

Pria itu adalah Juergen Klopp yang pada hari itu resmi menangani Liverpool yang mengalami musim menyedihkan bersama Brendan Rodgers. Sulit untuk tidak berekspektasi hal sama di Liverpool pada Klopp yang mampu membangunkan Borussia Dortmund dari tidurnya.

Sama seperti Po, tetap saja ada nada sumbang dalam penunjukkan Klopp; karena begitulah drama dunia ini diciptakan. Akan selalu ada setitik jelaga dari sebuah putihnya peristiwa. Bukankah tak mungkin semua orang memiliki persepsi yang sama? Orang bilang, pelangi tak akan seindah itu jika hanya memiliki satu warna.

Filosofi “heavy metal” yang dianut Klopp dinilai tidak akan sesuai dengan iklim sepakbola Inggris yang punya jadwal ketat sepanjang musim. Jika Jerman punya jeda musim dingin selama dua bulan saja banyak pemain Klopp yang bertumbangan, bagaimana dengan liga Inggris yang hanya menyisakan nafas di akhir musim kompetisi?

Bagaimana caranya mengharuskan pemain berlari selama 90 menit dan menekan lawan di tiap pertandingan dengan tiga kompetisi lokal yang dijalani?

Seperti halnya jemari keriput Oogway yang bergeming atas keputusannya memilih Po, hal senada juga terjadi saat sayap-sayap Liverbird justru kian erat mendekap Klopp sebagai pelatih saat ini dan masa yang akan datang.

Klopp adalah harapan buat Liverpool yang setiap musim ditakuti karena nama besar dan sejarahnya, bukan karena performanya. Setelah era Rafael Benitez, hal ini kian menggejala. Pada musim 2014/2014 trofi Liga Primer tinggal selangkah, tapi menghilang begitu saja, bagaikan pendaran kembang api di malam tahun baru yang nyala lalu hilang tak berbekas. Sementara itu trofi Piala Liga di era Kenny Dalglish tak ubahnya nyala sebatang lilin di tengah megahnya Stadion Anfield di sore hari.

Liverpool benar-benar berantakan saat “musim kembang api” bersama Rodgers usai. Paruh liverbird menumpul saat Luiz Suarez berpaling ke Barcelona. Sayapnya melemah saat ditinggal Raheem Sterling menuju Manchester City, sementara bulu-bulu liverbird adalah sekumpulan pemain yang dianggap pembelian gagal rezim sebelumnya, menumpuk begitu saja tanpa tahu mau diapakan. Dulu, bertemu Liverpool berarti kekalahan buat lawan. Kini, bertemu Liverpool tak ubahnya sebagai sehela nafas bagi lawan untuk meraih poin.

Saat hadir di konferensi pers setelah diumumkan menjadi pelatih Liverpool, apa yang diucapkan Klopp mirip dengan apa yang dikatakan Master Oogway. Ia tidak menjanjikan kesuksesan instan tetapi ia akan memenuhi takdirnya sebagai pelatih Liverpool dengan sebaik-baiknya.

“Sejarah hanyalah menjadi dasar buat kami, tetapi tidak boleh kita membawa sejarah besar di tas punggung dan membawanya sepanjang hari. Kita bekerja di masa kini. Kita memiliki kesempatan untuk menuliskan sejarah kita sendiri kalau mau. Pesan untuk pendukung Liverpool, kita harus berubah dari orang yang peragu menjadi orang yang percaya,” kata Klopp.

Kata-kata filosofis dengan penuh kearifan itu mirip dengan apa yang diucapkan Master Oogway pada Po dan Shifu di malam yang Syahdu. Ia bicara tentang masa lalu, masa kini, masa depan, serta keyakinan dan kepercayaan. Sebuah ucapan yang membuka tirai dimulainya perjalanan Po di dunia persilatan; membuka era Klopp di Liverpool.

***

Malam kian larut tapi suasana di Stadion St. Jakob Park, pada 19 Mei begitu riuh semeriah karnaval Rio de Janiero. Orang-orang saling bernyanyi dan berpelukan. Mereka berteriak gembira sembari berlompatan. Padahal, sudah waktunya bagi mereka untuk berangkat ke pembaringan.

Orang-orang itu adalah penggemar Sevilla yang sejenak melupakan waktu tidur. Itu adalah malam terpenting buat mereka, malam di mana Sevilla secara beruntun meraih gelar ketiga, setelah Liverpool kalah 1-3.

Bagai dua sisi mata uang, ada pemandangan yang jelas berbeda pada wajah-wajah orang di sana. Tampak wajah berlumur kesedihan dari para pemain, ofisial, dan Liverpudlian. Optimisme yang mengiringi perjalanan ke Basel selama beberapa bulan terakhir, pupus dalam waktu 90 menit saja.

Tampak tatapan-tatapan kosong di kubu Liverpool, sekosong tatapan Po setelah membuka naskah keramat “Gulungan Naga” berusia 600 tahun yang hanya boleh dibuka oleh Sang Ksatria Naga. Bagaimana mungkin aksi saat mengalahkan Manchester United, Borussia Dortmund dan Villareal, justru berakhir antiklimaks di partai puncak? Bagaimana mungkin isi Gulungan Naga ternyata hanya sebuah naskah polos tanpa isi?

***

Orang bijak berkata bahwa hanya waktulah yang dapat membunuh kesedihan, karena sedih dan gembira hanya menunggu pergilirannya. Kesedihan di hari ini bisa menjadi guyonan di masa depan, pun sebaliknya. Siapa sangka ledakan kegembiraan Jose Mourinho pada akhir musim 2014/2015 saat membawa Chelsea merajai Premier League justru berakhir dengan surat pemecatan enam bulan kemudian?

Dengan segala kritik dan pujian, setidaknya Klopp telah mampu mengembalikan jiwa Liverbird ke tempat yang seharusnya. Permainan tanpa arah jelang berakhirnya era Brendan Rodgers (salah satunya adalah diawal musim menghadapi Stoke City, di mana performa Stoke City “lebih Liverpool” dari Liverpool sendiri) telah diubah menjadi permainan yang spartan menyerang dan mengintimidasi lawan sepanjang lapangan. Ada wajah-wajah penuh semangat dan harga diri pada pemain Liverpool.

Angap saja sekarang Klopp masih belum bisa menemukan arti tersembunyi dari Gulungan Naga.Klopp terlihat “sangat menghargai” para pemain warisan Rodgers, dengan tidak langsung meng-overhaul-kan mereka di bursa transfer musim dingin. Klopp masih ingin melihat sejauh mana dan siapa saja pemain Liverpool yang mampu menyerap ideologinya secara benar,dan menerapkan di rumput stadion. Namun tampaknya berakhirnya musim kompetisi 2015/2016 akan membuat Klopp berkata “cukup” pada mereka yang sulit untuk mengikuti raungan gitar cadas Klopp di lapangan.

Betapa tidak? Sepanjang musim kemarin Klopp lebih tampak seperti pegawai kantoran yang terbangun kesiangan dan mendapatkan kendaraan yang seadanya demi sampai di tempat kerja dan menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu seperti karyawan lainnya.

Pada akhirnya Po berhasil menerjemahkan makna dari naskah kosong Gulungan Naga. Dengan, itu ia berhasil menasbihkan dirinya sebagai Ksatria Naga sejati. Butuh waktu dengan melalui berbagai kesedihan bagi Po untuk bisa memahami semuanya. Begitu pula Juergen Klopp di Liverpool, butuh waktu dan dinamika untuk dia bisa menjejalkan filosofi “Heavy Metal-nya” di benak pemainnya yang membuat dia di kenal sebagai salah satu revolusioner taktik di era sepak bola modern.

Operator pengantongan dan alat berat di pabrik bahan peledak PT Kaltim Nitrate Indonesia, Bontang-Kaltim. Berakun twitter @hrifai22

ed: fva

Komentar