Demam Manajer Italia di Tanah Britania

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Demam Manajer Italia di Tanah Britania

Ketika Claudio Ranieri membawa Leicester City menjuarai Liga Primer Inggris 2015/2016, bendera Italia berkibar-kibar di beberapa sudut tribun Stadion King Power. Ucapan selamat untuk Ranieri dari mantan kesebelasan besutannya di Italia pun deras membanjiri lini masa media sosial. Mulai dari Cagliari, Fiorentina, Juventus, AS Roma dan Internazionale Milan, menulis ucapan selamat dengan caranya masing-masing.

Kota Leicester malam itu terasa seperti pizza dengan pinggiran isi keju mozarella yang meleleh. Rasanya begitu enak ketika dikejutkan dengan gigitan pertama. Perayaan malam itu juga mengagetkan. Sebab panpel tidak memutar lagu Queen berjudul "We Are the Champions" yang biasanya menjadi lagu pengiring perayaan juara.

Sebagai gantinya, penyanyi pop tenor Italia, Andrea Bocelli, datang secara terhormat, ia menginjak lapangan sambil didampingi Ranieri. Alih-alih menyanyikan lagu "We Are the Champions", Bocelli yang merupakan seorang tunanetra menyanyikan lagu berjudul "Nessun Dorma".

Dalam bahasa Italia, Nessun Dorma adalah manusia yang tidak pernah tertidur.Tentu saja Nessun Dorma dinyanyikan Bocelli dengan bahasa Italia karena ia berasal dari Italia, sehingga perayaan juara Liga Primer Inggris 2015/2016 semakin kental dengan nuansa Italia.

Tapi nuansa Italia di Inggris tampaknya tidak akan berhenti sampai di sana. Sebab, nuansa Italia akan semakin kental di Liga Primer Inggris musim depan.

Ranieri sukses membuat sepakbola tanah Britania semakin tertarik dengan juru taktik Italia. Yang terbaru adalah Watford FC siap menunjuk Walter Mazzarri sebagai manajer baru untuk musim depan. Tapi langkah yang dibuat Watford tidak terlalu mengejutkan, mengingat Gino Pozzo selaku pemilik klub adalah orang Italia. Hanya saja melihat keajaiban Ranieri menangani Leicester, membuat Gino semakin kepincut menggunakan jasa manajer dari Italia. Mazzarri pun sudah menjalani kursus bahasa Inggris sejak tahun lalu.

Justru hal paling mengejutkan adalah tumbal yang disodorkan oleh Gino. Untuk mendatangkan Mazzarri, ia rela mendepak Quique Sánchez Flores. Alasannya karena Gino ingin Watford berada di tingkat yang lebih baik pada musim depan. Gino tidak ingin Watford hanya sekadar bertahan di Liga Primer Inggris seperti musim ini. Padahal Watford sendiri berpredikat sebagai kesebelasan promosi Liga Primer Inggris 2015/2016.

Di sisi lain, kinerja Flores sudah cukup bagus. Selain bertahan di Liga Primer Inggris, Watford berada di posisi yang aman dari zona degradasi. Saat ini Watford berada di peringkat 13 dengan 44 poin. Raihan angka itu sama dengan poin yang dikoleksi Everton di peringkat 12. Bahkan Flores berhasil membawa Watford sampai semifinal Piala FA 2015/2016.

Sebelum Mazzarri, sebenarnya kepelatihan Italia di Liga Primer Inggris sudah kental. Chelsea pun sudah memastikan Antonio Conte sebagai manajernya musim depan. Jauh sebelum Conte, Swansea pun sudah mengandalkan Francesco Guidolin. Mantan pelatih Udinese itu akhirnya bisa membawa Swansea menjauhi zona degradasi. Sekarang Ashley Williams dkk berada di peringkat 11 klasemen sementara Liga Primer Inggris. Hasil yang memuaskan itu membuat Guidolin disodorkan kontrak baru sampai dua tahun ke depan.

Jangankan Guidolin, Ranieri pun tidak hanya melatih Leicester saja di Liga Inggris. Sebelum Leicester, Ranieri pernah membesut Chelsea pada 2000 sampai 2004 lalu. Dan Ranieri bukan manajer Italia pertama yang berhasil meraih Liga Primer Inggris. Sebab Carlo Ancelotti lebih dulu meraih gelar itu ketika membesut Chelsea pada musim 2009/2010. Sebelumnya ia pun berhasil memenangkan FA Community Shield. Sehingga dua gelar itu disempurnakan Ancelotti dengan menjuarai Piala FA 2009/2010.

Kesuksesan di Liga Inggris juga diteruskan Roberto Mancini kala membesut Manchester City. Gelar perdananya adalah Piala FA 2010/2011, kemudian dikawinkan dengan menjuarai Liga Primer Inggris 2011/2012 dan memenangkan FA Community Shield 2012. Dan jauh sebelumnya, Gianluca Vialli juga menjadi manajer asal Italia yang sukses di tanah Britania. Hanya saja Vialli tidak membawa Chelsea menjuarai Liga Primer Inggris. Kendati demikian, Vialli mempersembahkan Piala FA 1999/2000 dan empat gelar turnamen lainnya di Liga Inggris. Mungkin Vialli bisa saja menjuarai Liga Primer Inggris jika kondisi keuangan Chelsea masa itu sesehat sekarang.

Tapi tidak seluruh manajer asal Italia sukses di Liga Inggris. Gianfranco Zola tidak bisa berbuat banyak saat membesut West Ham United. Bahkan Zola harus mati-matian menyelamatkan West Ham dari degradasi pada musim 2009/2010. Hal itu membuatnya dipecat setelah musim tersebut selesai.

Begitu juga dengan riwayat Paolo Di Canio bersama Sunderland. Bahkan karier mantan penyerang Lazio ini lebih ironis. Ia menjadi manajer Sunderland pada Maret 2013 dan dipecat pada 22 September 2013 karena hasil buruk selama awal musim 2013/2014.

Kiprah dua mantan manajer itu sungguh mengherankan. Padahal Zola dan Di Canio pernah berkarier sebagai pemain di Liga Inggris. Dan keduanya cukup berjasa bagi kesebelasannya masing-masing. Namun kecemerlangan mereka tidak menular ketika menjadi manajer. Nasib Zola dan Di Canio berbeda dengan Vialli yang juga sempat menjadi pemain di Liga Primer Inggris. Bahkan Ancelotti, Mancini dan Ranieri yang belum pernah menjadi pemain di Liga Inggris, justru lebih cemerlang ketika menjadi manajer di kompetisi tersebut.

Mungkin perbedaan antara Zola dan Di Canio dengan manajer lainnya adalah soal kepekaannya terhadap adaptasi. Nampaknya mereka tidak menyesuaikan metode latihan skuatnya dengan kecepatan angin di Inggris. Dalam buku berjudul "The Italian Job" karya Vialli, diungkapkan jika Inggris jauh lebih dingin daripada Italia. Hal itu karena kecepatan angin di Inggris lebih kencang daripada Italia. Di Inggris, kecepatan angin per bulan adalah 15,3 kilometer perjam, sementara di Italia berhembus 10,3 kilometer perjam.

Maka dari itu selama Vialli melatih Chelsea, ia mengutamakan melatih fisik daripada teknik pada sesi latihan para pemainnya saat itu. Tapi tentu saja disertai teknik agar permainan lebih menggigit seperti varian taktik yang dilakukan Ancelotti, Mancini dan Ranieri, ketika melatih kesebelasan Inggris.

Kesuksesan Ancellotti, Mancini, Ranieri dan Vialli, bisa dijadikan contoh bagi Conte, atau Mazzarri jika resmi melatih Watford. Keduanya belum pernah menangani kesebelasan Inggris ketika masih menjadi pemain. Sehingga beberapa kejutan bisa saja terjadi dari mereka. Cukup memungkinkan juga jika Conte dan Mazzari meraih kesuksesan di Liga Primer Inggris, toh Ancelotti, Mancini dan Ranieri pun berlatar belakang yang sama. Namun jangan sampai Conte dan Mazzari justru mengulangi kisah pilu Zola dan Di Canio.

Sumber lain: Daily Mail, Wikipedia.

Komentar