Menggeledah Visi dan Mimpi Widodo Cahyono Putro sebagai Pelatih

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Menggeledah Visi dan Mimpi Widodo Cahyono Putro sebagai Pelatih

Sebelumnya, kami sudah menceritakan karier pelatih Sriwijaya FC, Widodo Cahyono Putro, ketika ia masih berprofesi sebagai pemain. Pada wawancara yang sama, Widodo pun menceritakan karier kepelatihan yang ia tekuni saat ini. Ia juga merupakan pelatih yang memiliki wawasan luas soal taktik.

Widodo sosok pelatih yang selalu memikirkan masa depan timnas Indonesia. Di setiap kesebelasan yang ia latih, ia selalu berusaha memunculkan bakat baru untuk timnas Indonesia selain target dari kesebelasan yang sedang ditanganinya.

Di skuat Sriwijaya FC saat ini, mayoritas pemain inti Sriwijaya FC diisi oleh pemain-pemain senior seperti Supardi Nasir, Firman Utina, Muhammad Ridwan, Talaohu Musafry, Hilton Moreira, Yuu Hyun-koo, dan Beto Goncalves. Tapi untuk pos penjaga gawang, Sriwijaya FC diperkuat tiga kiper muda, yakni Teja Paku Alam (22 tahun), Yogi Triana (21 tahun) dan Tri Hamdani (22 tahun).

Widodo memang tak mencari kiper senior atau pengganti Dian Agus Prasetyo yang hengkang ke Pusamania Borneo FC. Sejak kedatangannya menggantikan Benny Dollo untuk Indonesia Soccer Championship ini, Widodo memang percaya pada pemain-pemain muda Sriwijaya FC, termasuk ketiga kipernya.

“Saya selain ingin bawa Sriwijaya ke puncak, saya juga kepingin memunculkan pemain muda supaya nanti ketika timnas main, kita nanti tidak kesulitan pemain. Karena saya pernah di timnas, betap sulit cari pemain,” ujar Widodo.

“Mestinya semua pelatih, atau pemilik klub, berpikir ke sana. Selain membidik juara, harus ada tujuan untuk timnas. Saya yang merupakan bagian dari sejarah sepakbola Indonesia, peduli akan hal itu. Makanya saya mulai dari sekarang coba memunculkan pemain-pemain baru,” tambahnya.

Widodo memang mengawali kareir kepelatihannya dengan menjadi asisten pelatih timnas Indonesia pada 2010. Kemudian ia juga sempat menangani timnas Indonesia U-21 dan U-23 pada 2013. Setelah menangani Gresik United, mantan pemain Petrokimia Putra ini kembali menjadi asisten pelatih timnas pada 2014 era Alfred Riedl. Di sanalah ia kesulitan mencari pemain bertipikal Target Man untuk timnas.

Menurut Widodo, hal ini terjadi karena pembinaan sepakbola Indonesia yang serba terbatas. Bakat para pemain muda tak termaksimalkan karena berbagai faktor. Selain karena sulit bermain di top level, ada kesalahan mendasar pada perkembangan sejak usia dini, atau ketika sang pemain masih bermain di Sekolah Sepak Bola (SSB).

“Kalau saya melihat, klub-klub di Indonesia ini fokusnya hanya berprestasi di tim senior saja, tanpa membina usia dini,” tutur pelatih kelahiran Cilacap tersebut. “Belum lagi pembinaan sepakbola usia dini di daerah-daerah tidak maksimal; dari soal pendanaan, fasilitas, dan SDM pelatih.”

“Di daerah itu, pelatih hanya ‘Ayo latihan’, habis itu game, main. Pelatih tidak pernah berpikir ‘Ayo menciptakan seorang bek, atau striker’, misalnya. Akhirnya alami, main-main, pemain bagus sendiri. Jadi anak-anak itu bayar, datang, main-main, pulang, tidak dilatih secara khusus jadi bek, misalnya. Kebanyakan, pelatihnya satu, pemainnya 50 anak. Jadi latihan tidak fokus,” tambahnya.

Hal di atas yang menjadi dasar SSB yang dimiliki Widodo, Wahana Cipta Pesepakbola, memiliki misi untuk menciptakan pemain untuk masa depan. Di SSB Widodo, setiap posisi memiliki pelatih masing-masing selain latihan umum. Bahkan para pelatihnya pun merupakan rekan Widodo di Petrokimia Putra yang tentunya memiliki segudang pengalaman.

“Akademi saya per posisi ada [pelatih]. Striker pelatihnya saya. Pemain belakang ada Sasi Kirono, ada Khusaeri, ada Heri Purnomo yang jadi bek kiri. Gelandang ada Suwandi, juga Zainul Arifin. Memang mantan-mantan pemain Petro itu saya berdayakan,” sambungnya.

Para pelatih usia muda pun harusnya menyadari perkembangan seorang anak. Dengan begitu sang anak bisa mencapai potensi yang ia miliki, dan akhirnya bisa terus melanjutkan hingga top level. Sementara hal tersebut diabaikan para pelatih sehingga banyak pemain muda potensial yang namanya tak terdengar lagi ketika ia beranjak dewasa.

“Yang sering terjadi di kita, kecilnya bagus, tapi begitu gedenya ‘loh, kok, ga jadi?’,” Widodo menerangkan. “Pelatih harus menyadari bahwa di masa remaja itu banyak perubahan. Lalu bebaskan anak-anak bermain di posisi yang dia mau sambil kita arahkan. Biasanya di usia 14 ke atas udah mulai keliatan, kalau kita jeli.”

Apa yang diucapkan Widodo bukan omongan semata. Hasil dari pembinaan SSB WCP ini pun sudah ada yang terlihat saat ini. Ia adalah Dimas Drajat yang sudah membela timnas usia muda dan kini membela PS TNI di ISC 2016 ini. Widodo pun mengungkapkan bahwa Dimas merupakan tipe penyerang yang jarang ada di Indonesia.

“Dimas ini anaknya mau belajar. Dia akan bagus; tinggi di depan dan akan sangat dibutuhkan. Tipikal gitu memang cocok untuk jadi tembok, di Indonesia jarang. Dia nanti bisa kaya striker Persib, Belencoso. Tapi memang dia perlu banyak belajar. Selain bisa jadi tembok, dia harus bisa screening bola, harus bisa kombinasi dan variasi lain,” ungkapnya.

Meskipun begitu, Widodo berharap pihak lain harusnya menyadari pentingnya pengembangan usia muda, khususnya pemerintah. Widodo berharap pemerintah bisa mewadahi para pemain muda potensial ini agar bisa menjadi harapan timnas Indonesia.

“Saya berharap, kayak diklat-diklat di daerah dihidupkan lagi. Kayak dulu di Magelang ada diklat Salatiga yang terkenal menelurkan Bambang Pamungkas. Misalnya itu untuk Jawa Tengah. Nanti para pemain seleksi, setelah dari beberapa provinsi masukkan ke diklat Ragunan. Dan itu harus benar-benar dikelola, ada programnya,” lanjutnya.

 

Widodo menceritakan tentang bagaimana ia menentukan strategi untuk menghadapi setiap pertandingan. Salah satunya dengan menyaksikan menganalisis permainan kesebelasan top Eropa. Simak ceritanya di halaman berikutnya.

Komentar