Mengenang Soeratin Bagian III: Kepiluan di Pengujung Usia

Cerita

by redaksi

Mengenang Soeratin Bagian III: Kepiluan di Pengujung Usia

Beberapa pekan setelah Soeratin meninggal, terbitlah sebuah laporan yang salah satu paragrafnya berbunyi begini:

"Kami mendatangi alamat tersebut dan memang keadaan perumahan Soeratin sangat menyedihkan. Ruangan itu memang bekas garasi mobil ukuran 4 x 6 meter. Di dalam ruangan itu dibagi dua dengan gedeg, Ir Soeratin tinggal bersama istrinya di mana mereka tidur, makan dan mencuci pakaian. Kamar mandi dan kamar kecil yang mereka pergunakan adalah kepunyaan rumah no. 33 dan letaknya pada jarak 25 meter. Di waktu hujan mereka akan kebasahan, bila perlu mereka pergi ke kamar mandi untuk berteduh."

Laporan itu terbaca dalam artikel berjudul "Mencari Tokoh Pendiri PSSI Soeratin" yang rilis di Majalah Sepakbola PSSI no. 2 tahun 1959. Artikel itu diterbitkan ulang nukilannya pada buku ulang tahun PSSI yang ke-50 yang jatuh pada 1980. Karena buku itu diterbitkan oleh PSSI sendiri, pembaca bisa menganggapnya sebagai "versi resmi terhadap kepiluan masa tua sang pendiri".

Seperti yang sudah saya uraikan pada dua bagian sebelumnya, bagaimana Soeratin melewati hari demi hari setelah hijrah ke Bandung masih banyak diselimuti kabut. Tidak banyak laporan, dokumen, arsip atau laporan surat kabar yang bisa dijadikan rujukan untuk menggali kehidupan Soeratin di Bandung.

Kini, tinggal sangat sedikit orang yang bisa memberi kesaksian langsung tentang Soeratin. Salah satu yang tersisa tinggal Ibu Ammy S. Kandi yang kini berusia 71 tahun. Beliau adalah kerabat jauh Soeratin. Sebagai anggota keluarga menak atau bangsawan, Soeratin ternyata memiliki beberapa keluarga dari Yogya yang juga menetap di Bandung. Ibu Ammy inilah salah satu di antara kerabatnya yang juga menetap di Bandung, persisnya di Cimahi.

Ibu Amy ini juga mengonfirmasi laporan tentang masa tua Soeratin yang sulit itu. Soeratin yang tinggal di garasi, di tempat yang sempit, yang atapnya bocor, yang kondisinya sakit-sakitan, bersama seorang istri Belanda, menghabiskan masa tua tanpa anak dan keturunan, juga praktis tak menyisakan banyak warisan, yang tak mampu memberikannya keturunan dan mereka berdua hidup dalam kemiskinan.

"Ya, begitulah ceritanya. Apa yang ditulis itu memang benar adanya," ucapnya, saat saya tanyakan mengenai kabar pilu dari masa tua Soeratin.

"Saya dulu sempat berkunjung dengan Ibu saya ke rumah Eyang Soeratin. Aduh, rumahnya sederhana sekali ukurannya ya paling 4 x 6 meter. Kamar, dapur dan ruang tamu semuanya jadi satu. Isi dalam rumahnya pun tak ada apa-apa. Hanya lemari, alat makan sederhana dan kasur tanpa dipan yang hanya beralas tikar."

"Eyang itu cuma hidup berdua. Sebagai pasangan tua yang tak mempunyai anak kalau dipikir-pikir ya hidupnya memang memprihatinkan."

Semakin tua, Soeratin semakin sakit-sakitan. "Zaman itu memang sedang susah-susahnya. Jangankan untuk beli obat, untuk makan pun tampaknya eyang kesusahan," lanjut Ibu Ammy.

Lantas kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah Soeratin dulunya seorang pengusaha kontraktor serta prajurit yang mendapat pangkat Letnan Kolonel? Kenapa dalam jangka waktu beberapa tahun saja dia bisa terlantar sedemikian papa?

Eddi Elison, dalam buku biografi Soeratin, menulis bahwa usai mengepalai divisi persenjataan pada periode 1946-1947, Soeratin sempat pensiun dari militer dan menduduki posisi tinggi pada perusahaan Djawatan Kereja Api. Jabatan ini berdasarkan perintah Menteri Perhubungan Ir. H Djuanda.

Sesuai dengan penelusuran yang saya dapat, Soeratin di masa-masa tuanya tinggal disebuah garasi di rumah Jalan Lombok no. 33. Berdasar kesaksian Kolonel Hermawan, dipastikan rumah itu adalah rumah milik militer. Dan setelah Belanda pergi, pemukiman di sekitar Jalan Lombok memang diserahterimakan kepada militer Indonesia. Kini kawasan itu menjadi bagian dari kawasan militer, tepatnya TNI Angkatan Darat.

"Waktu saya sekolah di Belanda, saya bertemu dengan seseorang, saya lupa lagi namanya. Kolonel Joko atau siapa gitu. Yang jelas dia bilang di rumahnya menumpang sepasang suami istri. Yang istri adalah seorang Belanda. Saya sedikit curiga dengan sosok yang dia ceritakan. Ternyata itu betul, sepasang suami istri itu ya Pak Soeratin dan istrinya. Teman saya bilang, di rumah itu Soeratin dapat jatah untuk tinggal di sebuah garasi. Temen saya juga gak tahu itu pendiri PSSI," ucap Herrawan kepada saya.



Saya sempat mencari lokasi rumah ini di Jalan Lombok 33. Saat saya mencari alamat tersebut, saya terkejut sekali: ternyata alamat Jl. Lombok 33 itu sekarang menjadi kantor redaksi detikcom biro Bandung. Letaknya di perempatan sebelah utara Stadion Siliwangi. Rumah itu ada di salah satu sudut perempatan itu.

Saya merasakan sedikit ironi begitu menyadari fakta itu. Tapi lekas-lekas saya berhati-hati. Benarkah Jl. Lombok 33 pada tahun 1950an itu sama persis dengan Jl. Lombok 33 yang sekarang menjadi kantor redaksi detikcom biro Bandung?

Saya merasa harus berhati-hati. Saya tahu persis bagaimana alamat rumah bisa berubah beberapa kali. Apalagi pemerintah di Bandung memang beberapa kali melakukan perubahan alamat. Maka saya langsung melakukan verivikasi di lapangan.

Dalam pencarian ulang, saya memeriksa lagi rumah-rumah di sekitar Jl. Lombok. Lalu saya menemukan sebuah patok nomor rumah terbuat dari batu yang terselip di antara rerimbunan semak belukar pada sebuah rumah yang letaknya berdampingan dengan kantor detikcom biro Bandung. Patok rumah itu menunjukkan nomor 15. Jadi, cukup jelas, kantor detikcom biro Bandung semestinya kalau bukan no. 14 berarti no. 16. Jika nomor rumah dideretkan berdasarkan angka ganjil dan genap, maka kemungkinan lainnya adalah kantor detikcom biro Bandung itu no. 17 atau 13.

Jadi saya harus menggugurkan kemungkinan kantor detikcom biro Bandung sekarang itu adalah rumah yang dulunya beralamat Jl. Lombok 33 yang menjadi kediaman Ir. Soeratin di masa tuanya. Lalu, rumah yang mana yang pada tahun 1950an beralamat di Jl. Lombok 33 itu?

Maka saya kembali menemui para narasumber yang pernah bertemu Ir. Soeratin. "Saya pernah ke sana, tapi belasan tahun lalu. Saat itu ternyata rumah eyang sudah jadi Cafe. Namanya Cafe Kintamani. Kalau lihat garasinya saya kadang suka ingat bahwa dulu eyang pernah tinggal di situ," ucap Ibu Ammy.

Maka saya kembali menyisir lokasi. Cafe Kintamani ternyata sudah tidak ada. Saya melakukan interview dengan orang-orang di sekitaran Jl. Lombok. Hasilnya: Cafe Kintamani kini sudah menjadi Restoran Sunda D`palm. Bangunan sisa peninggalan Soeratin jelas telah rata dan berganti dengan bangunan yang lebih mewah.

Menyadari bahwa tempat tinggal Soeratin tua telah bersalin rupa menjadi sebuah restoran, pikiran saya menyusun imajinasi yang tidak menyenangkan. Saya membayangkan, di antara orang-orang kaya yang makan dengan lahap di restoran itu, di salah satu sudutnya, Ir. Soeratin sedang meringkuk bersama istrinya, berdua dalam kesunyian, berdua menanggung kesulitan.

Mungkinkah di masa tuanya itu, pada masa-masa akhir kehidupan yang sulit itu, Soeratin masih bisa menikmati sepakbola?

Tak jauh dari kediamannya, berdiri tegak Stadion Siliwangi. Dari kediamannya, hanya dengan berjalan kaki, orang hanya butuh waktu kurang dari 10 menit untuk bisa sampai di Stadion Siliwangi. Jarak yang begitu dekat. Hanya dipisahkan oleh 10 rumah.

Stadion Siliwangi diresmikan tahun 1955, saat itu Soeratin sudah berusia 57 tahun, usia yang belum terlalu renta sebenarnya. Soeratin pasti tahu, klub-klub besar yang pernah menjadi anggota PSSI, organisasi yang didirikannya, sering datang dan bertanding di Siliwangi yang jaraknya sangat dekat dari kediamannya. Persib Bandung bertanding di situ. Kesebelasan-kesebelasan lainnya juga secara berkala datang bertanding, dari Persija, Persebaya, PSM PSIM, PSIS, dll. Beberapa kali tim nasional juga bertanding di Siliwangi.

Bayangkanlah Soeratin yang sudah sakit-sakitan melihat para suporter berduyun-duyun melintas di depan rumahnya menuju Siliwangi. Karena jarak yang sangat dekat itu, sudah pasti Ir. Soeratin juga bisa mendengar sorak-sorai penonton yang ribut di stadion. Bagaimana bisa Soeratin tahan menolak godaan dan panggilan sebuah permainan yang dia pernah terlibat intens di dalamnya?

Ia mungkin hanya bisa menyaksikan laga-laga di tribun penonton kelas paling murah. Dia akan berdesak-desakan dengan para penonton lainnya, mereka yang mungkin tak mengira bahwa lelaki tua di sampingnya justru adalah pendiri PSSI. Bagaimana mau membeli tiket kelas mewah jika untuk bertahan hidup saja dia mesti menggantungkan uang dari hadiah TTS?

Tentu saja Soeratin bisa menghubungi pengurus PSSI atau Persib atau tokoh-tokoh sepakbola di Bandung. Tapi Soeratin memilih jalan lain. Entah atas alasan apa, dia memilih menikmati sepakbola secara diam-diam, menghindari kemungkinan duduk di tribun kehormatan bersama para pengurus sepakbola lainnya. Dia memang dikenal sosok yang pendiam dan misterius.

Saya mencari informasi kepada eks pemain Persib Bandung dan timnas PSSI 50an terkait keberadaan Soeratin. Rukma Sudjana adalah salah satunya. Ia menggelengkan kepala saat saya sebutkan nama dan tunjukan foto Soeratin di masa tua. Sosok itu teramat asing. Rukma hanya kenal Soeratin di tahun 1960an, saat nama Soeratin sudah terpampang di batu nisan.

Saya pun mencari informasi kepada eks pengurus pengcab PSSI Kota Bandung yang hidup di zaman itu. Hasilnya nihil. Sebuah fakta bahwa Soeratin lebih memilih menjauh dari sepakbola, lebih tepatnya menjauhi elit-elit sepakbola, dan memilih menepi, dan sesekali menikmati sepakbola sebagai orang biasa.

Ceritanya ini mirip-mirip seperti pahlawan sepakbola lainnya yaitu Toni Pogacnik. Dalam laporan majalah Tempo edisi 21 Agustus 1971 yang berjudul "Dari Bali Berkisah Toni Pogacnik", Toni pada masa tuanya mengakui memilih menjauh dari sepakbola. Dia masih kadang pergi ke stadion atau lapangan untuk menonton pertandingkan antarklub atau antar-pelajar di Denpasar. Tetapi Toni selalu menghindari duduk di tempat VIP. "Biarlah sekarang di tengah-tengah rakjat," ujar Toni.

"Hidup hanya menunda kekalahan/dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah," kata Chairil dalam sajak berjudul Derai-derai Cemara.

Kita tak tahu apa yang tidak terucapkan oleh Soeratin di pengujung masa tuanya.

*Bagian kedua dari 3 tulisan. Ditulis berdasarkan riset pustaka dan wawancara dengan sejumlah narasumber yang dilakukan Aqwam F. Hanifan.



Bagian lainnya

Mengenang Soeratin Bagian I: Soeratin dan Sepenggal Episode Masa Revolusi


Mengenang Soeratin Bagian II: Nyonya Soeratin dan Jejak-Jejak di Teka Teki Silang


Mengenang Soeratin Bagian III: Kepiluan di Pengujung Usia


Featured images dan design grafis oleh: Ivan Hadyan

Komentar