April Maksimal yang Bisa Digapai Max Allegri

Taktik

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

April Maksimal yang Bisa Digapai Max Allegri

Massimiliano Allegri tipikal orang yang selalu memercayai adanya kebangkitan. Awal kedatangannya ke Juventus, suara pertentangan dan hinaan datang padanya karena Allegri memiliki cerita memalukan sewaktu membesut AC Milan. Musim perdananya langsung mempersembahkan gelar Scudetto 2010/2011, namun terseok-seok di musim setelahnya setelah para pemain utama dan senior hengkang.

Setelah harus puas menjadi runner-up Serie-A 2011/2012, Milan semakin merosot karena mengakhiri musim 2012/2013 di posisi ketiga. Allegri pun dipecat pada musim 2013/2014 karena Milan berada di papan bawah klasemen sementara. Maka mulai saat itulah Allegri dicap sebagai pelatih yang buruk di musim keduanya. Rekam jejak itu menebarkan deja vu kepada para suporter Juventus. Mereka takut jika Allegri tidak bisa mengulangi kesukesan musim perdananya di Kota Turin, yaitu mempersembahkan gelar Scudetto, Coppa Italia dan menjadi runner-up Liga Champions pada musim 2014/2015.

Kekhawatiran itu mulai muncul setelah hengkangnya Andrea Pirlo, Arturo Vidal dan Carlos Tevez pada bursa transfer musim panas lalu. Para pendukung Juventus mulai mencurigai adanya pengulangan Allegri yang dimulai dari menendang Pirlo sewaktu di AC Milan sebelum kemudian disusul Thiago Silva, Zlatan Ibrahimovic dan para pemain senior lainnya seperti Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Mark van Bommel, Clarence Seedorf, Alberto Aquilani dan lainnya.

Musim kedua Allegri di Juve pun seolah hampir akan terulang seperti di Milan karena keterpurukan Juventus di awal musim ini. Cuma memenangkan tiga laga dari 10 pertandingan awal Serie-A 2015/2016, dianggap sebagai dampak buruk dari revolusi Allegri. Raihan itu merupakan hasil awal musim terburuk Juventus sejak 103 tahun terakhir.

Baca juga: Mengapa Juventus Melempem di Serie-A Tapi Garang di UCL?

Tapi setelah 10 pertandingan tersebut, perlahan Juventus mulai bangkit dan memuncaki klasemen sementara dengan raihan 73 poin dari 31 laga. Juventus pun unggul enam poin dari Napoli yang berada di peringkat dua klasemen sementara Serie-A 2015/2016. Lalu bagaimana Juventus bisa bangkit?

Kekuatan dari Kemenangan Derby della Mole

Pekan ke-10 Serie-A 2015/2016, Juventus ditaklukan Sassuolo dengan skor 1-0. Pertandingan itu menjadi titik didih kesebelasan yang dijuluki Si Nyonya Tua ini. Kritik semakin deras menghujam Juventus. Mosi tak percaya tentang Allegri pun semakin meningkat walau para pemain berkali-kali mengatakan masih percaya kepada Allegri. Tapi saat itu Juventus tertinggal 11 poin dari AS Roma yang memuncaki klasemen.

Situasi itu semakin tidak mengenakan karena Juventus akan menghadapi Torino pada pekan berikutnya. Jika di dalam lapangan, memang laga bertajuk Derby della Mole itu tidak menyuguhkan permainan cantik layaknya Derby Milan atau Derby Roma, tapi sejatinya pertandingan itu menjunjung gengsi antar kelas di Kota Turin.

Masa kejayaan Torino memang sudah habis sejak tahun 1970-an, tapi rasa benci suporter dan ultras mereka kepada Juventus masih tetap sama. Begitu pun sebaliknya. Atas gengsi suporter itulah Gianluigi Buffon tidak ingin kembali mendengar siulan atas rentetan buruk di awal musim ini. Jika kalah, maka semakin celakalah cacian para Ultras Juventus kepada pemain pujaannya sendiri.

Faktanya di lapangan, para suporter Juventus dibuat takjub. Skuat terlihat bersinergi untuk memenangkan gengsi dari partai derby. Para suporter Juventus semakin dibuat dramatis atas kemenangan dramatis dari Derby della Mole dengan skor 2-1. Terhitung sejak pekan ke-11, setelah kemengan derby itu, Juventus terus meraih kemengangan hingga 15 kali beruturut-turut.

"Untuk maju di dalam tiga kompetisi, seluruh skuat memerlukan kondisi fisik dan psikologis yang baik," kata pelatih yang juga akrab disapa Max Allegri ini Februari lalu, seperti dikutip dari Football-Italia.

Bahkan setelah sembilan kemenangan beruntun, Juventus berhasil menyalip Roma, Internazionale Milan dan Fiorentina. Sehingga hanya memiliki perbedaan dua poin dengan pemucak klasemen saat itu, Napoli. Sejak itulah antara Juventus dan Napoli menjadi "kuda pacu" di Serie-A musim ini.

Kembali ke 3-5-2, Tapi...

Juventus memulai dua laga awal Serie-A masih mengandalkan formasi yang sama: 3-5-2. Namun situasi tidak sama dengan musim lalu ketika masih ada Pirlo, Vidal dan Tevez. Simone Padoin bahkan kala itu mengisi posisi yang ditinggalkan Pirlo.

Perubahan itu membuat Juventus dikalahkan Udinese dan Roma pada dua laga awal tersebut. Dua kekalahan itu membuat Allegri mengubah formasinya, yaitu menggunakan empat bek. Formasi favorit empat bek Allegri adalah 4-3-1-2, tapi ia memiliki trequartista yang terbatas. Mengingat Roberto Pereyra sempat cedera pada awal musim dan Hernanes masih beradaptasi.

Strategi itu masih diandalkan Allegri hingga menghadapi Milan pada pekan ke-22. Kebetulan Hernanes tidak tampil maksimal pada waktu itu. Ia sering kehilangan bola dan hanya mampu melakukan percobaan tembakan satu kali. Buntunya serangan Juventus membuat Allegri mencoba kembali menggunakan formasi 3-5-2 setelah turun minum. Alhasil, Juventus mampu memecahkan kebuntuan pada menit ke-65 melalui gol Paulo Dybala.

Halaman berikutnya lanjutan Kembali ke 3-5-2, Tapi...

Komentar