Sepakbola Sebagai Komoditas Global dan Komunitas-Komunitas Terbayang dalam Suporter Sepakbola Modern

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola Sebagai Komoditas Global dan Komunitas-Komunitas Terbayang dalam Suporter Sepakbola Modern

Oleh: Rashif Abitia*

Sepakbola selalu dikaitkan dengan gairah, emosi, kegembiraan dan dedikasi. Jutaan masyarakat menikmati sepakbola, baik sebagai olahraga maupun hiburan. Sepakbola merupakan sekuel lisan dari kondisi mental dan psikologis sebuah masyarakat. Sepakbola memainkan peran penting dalam memupuk solidaritas sosial dengan mengumpulkan banyak orang yang berlainan latar belakang.

Masyarakat terkait erat dengan identitas. Sepakbola merupakan sebuah aspek sebagai suatu kegiatan yang memungkinkan orang untuk mencari dan menciptakan komunitas. Suporter dimaknai sebagai sekelompok orang yang turut memberikan dukungan tertentu pada ikhwal tertentu pula. Suporter bersifat aktif, memberi dukungan dengan dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme tertentu.

Sebuah buku berjudul “Komunitas-Komunitas Terbayang” karya Benedict Anderson tampaknya punya keterkaitan dengan suporter. Berbicara mengenai sepakbola, komunitas-komunitas terbayang ini bisa diartikan bahwa suporter merupakan komunitas yang melampaui suatu proses radikal berupa konstruksi sosial menjadi komunitas terbayang, bersifat terbatas secara melekat dengan dasar kecintaan yang sama. Sebentuk cinta yang tanpa menuntut, cinta dengan alasan yang sulit dijelaskan.

Lalu mengapa  memaknai suporter sebagai komunitas-komunitas terbayang? Disebut terbayang karena para anggota suporter terkecil sekali pun kemungkinan tidak akan tahu dan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Suporter merupakan sebuah proyeksi ruang dan waktu, semua orang membuat sebuah khayalan kolektif akan keterlibatan dalam sebuah komunitas tunggal. Apakah suporter sebuah klub sepakbola yang jumlahnya jutaan, saling mengenal? Tentu tidak. Tapi mereka dipersatukan oleh rasa cinta terhadap satu klub.

Proses-proses yang menjadi karakteristik modernisasi (industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi di mana-mana) membongkar ikatan-ikatan sosial dan budaya yang ada pada sebuah komunitas terbayang itu. Semakin berkembangnya zaman, peran pembentukan suporter tak lepas dari hubungan erat antara kapitalisme media. Jika komunitas bergerak dalam kerangka kesetiakawanan dan persaudaraan, maka media membingkai gerakan tersebut menjadi sebuah kesadaran baru, di samping sisi keuntungan yang diperoleh.

Media sebagai agen utama globalisasi memainkan peran sentral dalam mengubah sepakbola menjadi sesuatu yang bersifat global. Media yang mengubah peran primordial dan lokal sepakbola menjadi satu komoditas global. Komodifikasi atas sepakbola yang memang dilakukan secara sengaja dan terencana oleh FIFA sebagai organisasi tertinggi sepakbola dunia diperkokoh oleh media global. Menjalani fungsi pentingnya yang berkaitan dengan konstruksi dan dekonstruksi identias nasional dan konstruksi identitas internasional.

Ben Anderson mengambil contoh bahwa perubahan zaman dimulai ketika ditemukannya mesin cetak, dalam konteks kekinian, televisi dan juga perkembangan dunia internet jadi perantaranya. Konsekuensinya, dari perkembangan media tersebut akan mengarahkan suporter pada hal yang lebih-lebih membuatnya berkembang, atau menjadi latah identitas dengan hanya ikut-ikut dengan perkembangan media tersebut.

Peran media di dunia modern membuat sejumlah analis mengungkapkan bahwa segala sesuatu saat ini memiliki wajah ganda, satu wajah media, dan yang lain wajah sebenarnya. Misalnya, sepakbola di media dan sepakbola sebenarnya. Untuk itulah televisi menampilkan siaran sepakbola dan berbagai perusahaan memproduksi permainan game sepakbola secara besar-besaran dari duplikasi permainan sepakbola dan berbagai klub terkemuka dunia yang mengubah dunia sepakbola di ranah media.

Di sisi lain, media juga telah memberikan pengaruh terhadap aspek politik, ideologi, sosial dan ekonomi dari sepakbola. Untuk itulah siaran sepakbola yang ditayangkan televisi bukan sepenuhnya masalah tayangan pertandingan olahraga saja, tapi telah berubah menjadi fenomena lain. Tampaknya semua media menunjukkan adanya pesan yang ingin disampaikan melalui siaran yang ditayangkannya. Tidak hanya itu, media juga memproduksi pesan dan sistem baru yang disampaikan kepada audiensnya.

Perkembangan internet juga seolah menjadi kebutuhan primer dalam dunia sepak bola. Berbagai hal tentang jadwal pertandingan, statistik, cedera, pembelian dan penjualan pemain, serta berita menarik lainnya tentang sepak bola, dimunculkan oleh media. Para suporter banyak menghabiskan waktu mereka di situs web sepakbola atau di televisi untuk mengakses informasi terbaru tentang peristiwa khusus untuk tim mereka dan mengomentari tim yang sedang bermain selama pertandingan.

Globalisasi dan komodifikasi, dengan agen utamanya media global, terutama televisi internasional, adalah dua proses utama yang dirancang dan dilakukan untuk membuat orang di seluruh dunia menjadi konsumen sepakbola, ambil contoh menonton tayangan di Eropa. Dampak lainnya juga tingginya keinginan untuk membeli atribut klub yang digemarinya.  Proses globalisasi dan komodifikasi itu berujung pada runtuhnya batas-batas dan munculnya faktor ekonomi serta profit sebagai motif utama segala kegiatan kapital, termasuk sepakbola Eropa. Konsekuensi logis dari globalisasi, yakni adanya hegemoni budaya, membawa dampak lunturnya identitas lama yang berdasarkan kebangsaan atau etnis dan geografis.

Suporter yang konsumtif mengalami ilusi dan krisis identitas karena globalisasi membawa dampak homogenisasi budaya dan nilai. Ambil contoh saja, apa yang dinikmati di Amerika dan Eropa, misalnya, juga dinikmati di Indonesia. Gejala itu disebut ilusi identitas karena sikap dan pendirian para pendukung fanatik klub-klub Eropa dari berbagai negara tidak benar-benar pernah dan tidak akan pernah memiliki identitas yang secara sosio-histori berkaitan dengan klub yang mereka dukung. Yang mereka alami hanyalah ilusi, mereka berpikir mereka memiliki identitas itu, sehingga mereka bersedia melakukan hal-hal irasional demi identitas tersebut, yang sebenarnya merupakan keinginan kelas dominan sebagai pemegang kapital dan pihak yang melakukan komodifikasi dan diuntungkan dalam situasi ini.

Lalu bagaimana cara kita menikmati sepakbola modern sebagai sebuah komunitas yang terbayang itu? Semua orang pasti punya cara masing-masing untuk menikmati sepakbola, baik dengan memberikan dukungan langsung maupun tidak langsung. Tak perlu-lah ambil pusing ketika kita hanya diberi label penonton layar kaca, toh kita juga pasti punya keinginan untuk menyaksikan dan mendukung tim kesayangan kita berlaga secara langsung.

Mencintai seadanya, dan mendukung sewajarnya.

*Mahasiswa tingkat akhir yang belum minat skripsi. Berakun twitter @rashif11

foto: euobserver.com

ed: fva

Komentar