Roger Schmidt Tak Akan Pernah Membiarkan Lawan Merasa Aman

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Roger Schmidt Tak Akan Pernah Membiarkan Lawan Merasa Aman

Roger Schmidt tak selalu seperti ini. Dahulu, sepakbola baginya hanya hiburan paruh waktu. Schmidt bermain sepakbola ketika masih menjadi mahasiswa teknik mesin Universität Paderborn dan melatih ketika sudah bekerja untuk Benteler, sebuah perusahaan penyuplai suku cadang mobil. Semuanya ia lakukan di sela-sela kesibukan utama dan tak pernah secara profesional. Namun kemudian sebuah perubahan yang tidak disangka membawa Schmidt ke tempatnya berada saat ini.

“Saya tak pernah berencana menjadi pelatih profesional atau bahkan melatih, sama sekali,” ujar Schmidt. “Karena itulah saya kuliah teknik. Saat saya masih bermain saya juga bekerja sebagai seorang insinyur. Saya meraih lisensi kepelatihan karena menyukainya saja. Namun kemudian sebuah perubahan tak disangka terjadi.”

Schmidt berdiri di antara yang terbaik saat ini. Dua belas tahun lalu, ketika ia mulai melatih pada 2004, Schmidt hanya seorang pelatih paruh waktu. Klub yang ia tangani saat itu, Delbrücker SC, berada di luar divisi profesional Jerman; di divisi enam tepatnya. Menangani klub amatir secara paruh waktu toh bukan alasan untuk tidak memberi yang terbaik. Schmidt membawa Delbrücker promosi ke divisi lima; di Benteler, ia naik jabatan.

Bahkan dengan keberhasilan membawa Delbrücker naik divisi, tak pernah terlintas dalam kepala Schmidt untuk melatih penuh waktu. Barulah pada 2007, ketika menangani Preussen Münster, Schmidt meninggalkan pekerjaannya untuk fokus sepenuhnya di sepakbola. Tanpa keharusan membagi waktu dengan pekerjaan lain, Schmidt langsung membawa Münster meraih promosi ke divisi empat di musim pertamanya. Pada 2010, Schmidt meninggalkan Münster untuk mengambil langkah besar yang ia butuhkan: meraih lisensi kepelatihan UEFA Pro. Lisensi kepelatihan yang, berbeda dengan lisensi-lisensi sebelumnya, tidak ia raih dengan suka-suka.

Begitu Schmidt mendapat lisensi Pro UEFA pada 2011, ia tidak kembali ke Delbrück atau Münster atau kota kelahirannya, Kierspe. Ia kembali ke tempatnya menimba ilmu di perguruan tinggi, Paderborn, untuk menangani SC Paderborn 07. Semasa Schmidt kuliah, klub tersebut masih bernama TuS Paderborn-Neuhaus, sebuah klub semi-profesional. Ketika Schmidt lulus dari sekolah kepelatihan, Paderborn sedang berjuang di divisi dua Bundesliga dan membutuhkan seorang pelatih profesional.

Di musim pertamanya sebagai pelatih kepala pemegang lisensi UEFA Pro, Schmidt membawa Paderborn mengakhiri musim di peringkat kelima. Tidak cukup baik untuk meraih promosi ke divisi tertinggi, namun cukup untuk membuat Schmidt terbang ke Austria.

Ralf Ragnick, sporting director Red Bull Salzburg, terkesan kepada hasil kerja Schmidt dan meminta Schmidt menangani klubnya. Di musim pertamanya, Schmidt hanya sanggup membawa Salzburg menduduki peringkat kedua Österreichische Fußball-Bundesliga. Ini perkara besar karena dalam enam tahun terakhir sebelum kedatangan Schmidt, Salzburg keluar sebagai juara liga sebanyak empat kali. Tapi di musim keduanya, Schmidt membawa Salzburg keluar sebagai juara dengan delapan pertandingan tersisa; rekor tercepat sepanjang sejarah liga Austria.

Keberhasilan Schmidt bersama Salzburg di Austria dan Eropa membuat Rudi Völler, sporting director Bayer Leverkusen, jatuh hati. Pada 2014 kembalilah Schmidt ke Nordrhein-Westfalen, negara bagian tempatnya lahir, tumbuh, bermain, dan melatih. Ke Leverkusen ia membawa serta Pressmaschine, gaya main yang membawanya sukses di klub-klub yang ia tangani sebelumnya.

Kevin Kampl, yang bermain di bawah arahan Schmidt di Salzburg dan kini di Leverkusen, menyebut Pressmaschine sebagai versi ekstrem dari Gegenpressing, gaya main yang dipopulerkan oleh Borussia Dortmund dan pelatih mereka saat itu, Jürgen Klopp (Christoph Kramer memiliki sebutan yang lebih orisinil: organisiertes Chaos, yang dalam bahasa Indonesia berarti kekacauan terorganisir). Perbandingan ini bukan tanpa dasar. Kampl pernah bermain untuk Dortmund, jadi ia tahu perbandingan beratnya beban kerja di kedua klub. Ketika dua gaya bermain saling beradu di pekan pembuka Bundesliga 2014/15, jelas sudah mana yang lebih baik. Leverkusen menang dua gol tanpa balas di kandang Dortmund, Westfalenstadion.

“Ketika kami bermain seperti ini (menekan sepanjang pertandingan) lawan kami juga harus bermain secara intensif,” ujar Schmidt. “Mereka tidak bisa berkata ‘aku tidak akan bekerja keras’. Tidak bisa. Mereka bisa bermain defensif namun mereka juga harus bermain intensif untuk mencegah kami mencetak gol. Seringkali ini membuat pertandingan berjalan menarik.”

Baca juga insiden Roger Schmidt yang enggan diusir wasit hingga akhirnya sang wasit yang meninggalkan lapangan.

Schmidt sudah menjelaskan alasannya bermain menekan namun satu kalimat paling penting yang pernah keluar dari mulut pelatih kelahiran 13 Maret 1967 tersebut mengenai taktiknya, barangkali, adalah ini: Untuk apa membiarkan mereka merasa aman?

“Mereka” yang dimaksud jelas lawan-lawan tim Schmidt. Namun untuk membuat lawannya tidak merasakan aman, para pemain Schmidt juga merasa tidak aman. Dalam latihan, Schmidt menggunakan penghitung waktu yang menjadi indikator keberhasilan dalam permainan. Setiap tim Schmidt kehilangan bola, perhitungan mundur dengan penghitung waktu tersbut dimulai. Perhitungan mundur baru akan berhenti ketika tim yang kehilangan bola berhasil kembali merebut bola. Jika penghitung waktu berdering sebelum bola yang lepas dari penguasaan kembali dalam penguasaan, maka tim Schmidt gagal. Waktu tanpa bola yang diizinkan sejak bola lepas dari penguasaan: lima detik.

Lima detik! Sesingkat itu tim Schmidt harus merebut bola dari kaki lawan setelah lawan merebut penguasaan bola dari mereka. Pressmaschine sama dengan Gegenpressing dalam konsepnya: bukan secepat mungkin merebut bola dari penguasaan lawan per se, namun merebut bola secepat mungkin dari penguasaan lawan yang telah merebutnya dari kita. Hanya saja, dalam Pressmaschine, tujuan harus tercapai dalam lima detik; lebih lama dari itu, gagal.

“Saya memang suka sepakbola menyerang,” ujar Schmidt mengenai gaya mainnya yang, walau sangat melelahkan, bukan tanpa alasan. “Saya juga suka jika nasib saya ada di tangan saya sendiri. Kita tidak bisa mengendalikan bola masuk atau keluar setelah membentur tiang. Namun situasi pertandingan dan semacamnya bisa kita pengaruhi, yaitu dengan meningkatkan peluang keberhasilan kita sendiri.” Pressmaschine ternyata masuk akal dan tidak serumit itu.

Komentar