Harapan dan Kekhawatiran Datang dan Pergi bersama Christian Heidel

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Harapan dan Kekhawatiran Datang dan Pergi bersama Christian Heidel

Dalam beberapa tahun ke depan, mungkin akan ada perubahan dalam hubungan FC Schalke 04 dan rival lokal mereka, Borussia Dortmund. Schalke bisa jadi akan menggantikan peran FSV Mainz 05 sebagai penyuplai tak resmi pelatih kepala untuk Dortmund. Semua ini mungkin terjadi karena Christian Heidel.

Heidel, sporting director Mainz, akan bekerja untuk Schalke di posisi yang sama per musim depan. Bagi Schalke ini berarti dua hal: akhir dari masa bakti Horst Heldt dan awal dari era baru penuh prestasi. Terlepas dari kemungkinan menyuplai pelatih kepala untuk Dortmund, masa depan Schalke bersama Heidel tidak semenyeramkan itu.

“Saya dilahirkan di kota ini, tumbuh di sini, dan memiliki ikatan yang sangat kuat dengan klub ini,” ujar Heidel mengenai Mainz. “Pekerjaan saya di Mainz 05 bukan hanya – sebagai seseorang yang berasal dari Mainz – pekerjaan, namun hasil karya dari cinta.”

Hanya Heidel, barangkali, yang bisa mengerti arti sebenarnya dari hasil karya dari cinta yang ia maksud. Namun untuk melihatnya, semua orang pun bisa; dan melihat hasil karya dari cinta Heidel untuk Mainz berarti melihat sesuatu yang indah, sebuah kesuksesan yang pantas dibanggakan.

Jürgen Klopp yang kini menangani Liverpool dan terkenal sebagai sosok yang mempopulerkan Gegenpressing bukan siapa-siapa pada awalnya. Heidel melihat bakat dalam dirinya dan langsung mengangkatnya menjadi pelatih kepala Mainz begitu Klopp pensiun sebagai pemain pada 2001. Tiga musim berselang, Mainz promosi ke Bundesliga untuk kali pertama. Keberhasilan Klopp bersama Mainz membuat klub yang lebih besar tertarik. Pada 2008, pindahlah ia ke Dortmund.

Pada 2009, Heidel menhambil keputusan berani yang terlihat tidak adil untuk Kasper Hjulmand namun terbukti baik bagi Mainz. Hjulmand, pelatih kepala Mainz setelah Klopp, berhasil membawa Mainz meraih promosi dari divisi kedua Bundesliga pada musim 2008/09. Namun lima hari menjelang pertandingan pembuka divisi pertama Bundesliga musim 2009/10, Heidel mendepak Hjulmand dan menggantinya dengan Thomas Tuchel, yang sejak 2008 menangani tim muda Mainz.

“Saya hanya satu kali memberi jaminan: bersama Thomas Tuchel saya seratus persen yakin kami akan berhasil,” ujar Heidel menjelaskan keputusannya saat itu. Dan berhasil memang Mainz bersama Tuchel. Dalam lima tahun masa kerjanya, Tuchel membawa Mainz dua kali lolos ke Europa League. Untuk klub sekelas Mainz, itu merupakan prestasi tersendiri. Tuchel meninggalkan Mainz di akhir musim 2013/14 dan menjalani masa istirahat selama satu tahun sebelum akhirnya kembali ke dunia kepelatihan dengan menangani Dortmund per musim ini, menggantikan Klopp yang mundur di akhir musim lalu.

Pengganti Tuchel, Kasper Hjulmand, tak cukup berhasil. Saat itulah tangan dingin Heidel kembali bekerja. Pada Februari 2015, saat Mainz berada satu poin di atas zona degradasi, Heidel mengangkat Martin Schmidt dari Mainz U-23 untuk menggantikan posisi Hjulmand sebagai pelatih kepala tim utama. Mainz menjauh dari zona degradasi bersama Schmidt, mengakhiri musim di peringkat kesebelas. Musim ini, musim penuh pertama Schmidt sebagai pelatih kepala Mainz, prestasi mereka lebih baik dari itu. Setelah menjalani 25 pertandingan, Mainz mendapati diri mereka berada di peringkat kelima, satu poin di belakang slot terakhir zona Champions League. Mainz berpeluang besar, untuk kali pertama dalam sejarah mereka, lolos ke Champions League. Dan itu bisa terjadi karena Heidel.

baca juga: Martin Schmidt, Sosok di Balik Pengusik Kenyamanan Papan Atas Bundesliga

Heidel, selain mengorbitkan pelatih, juga mengorbitkan pemain tak ternama. Mereka yang tidak diinginkan oleh klub-klub besar Mainz ajak bergabung dan Mainz kembangkan. “Kami adalah klub yang membawa para pemain bergabung,” ujar Heidel. “Kami katakan kepada para pemain dengan jelas: ‘bergabunglah dengan Mainz, tanda tangani kontrak berdurasi empat tahun, dan kami akan memberi jaminan dalam waktu dekat klub besar akan menginginkanmu.’”

Ajakan Heidel bukan omong kosong. Sebelum terkenal bersama Chelsea dan Tottenham Hotspur, André Schürrle dan Lewis Holtby adalah lulusan akademi Mainz dan pemain pinjaman dari Schalke. Bersama Ádám Szalai, ketiganya terkenal sebagai Bruchweg Boys. Shinji Okazaki yang sekarang berpeluang besar menjuarai Premier League diselamatkan kariernya, setelah tak sukses di VfB Stuttgart, oleh Mainz. Di Leicester City, Okazaki bermain bersama alumni Mainz lainnya: Christian Fuchs. Eric-Maxim Choupo-Moting dan Johannes Geis yang sangat Tuchel inginkan pun, sebelum akhirnya bermain untuk Schalke, menempa keahlian mereka di Mainz.

Heidel membawa masuk para pemain tak ternama dan melepas mereka dengan harga tinggi pada akhirnya. Klub yang beroperasi dengan cara ini biasanya tak berprestasi, namun Heidel mampu menjaga keseimbangan keuangan dan hasil positif di lapangan. Karena itulah, ketika ia pergi, Mainz akan merasa sangat kehilangan.

“Di satu sisi, saya sangat menantikan hal ini dan di sisi lain saya sedih,” ujar Heidel mengenai kepindahannya ke Schalke. “Saya tidak tahu akan seperti apa rasanya pindah klub. Ini akan sangat emosional, namun saya akan mampu melaluinya.”

Masa depan yang lebih cerah menantinya di Gelsenkirchen. Jika di Mainz Heidel harus membawa pemain dari luar dan mengembangkan mereka di klubnya, di Schalke ia bisa bergantung kepada akademi yang produktif. Schalke yang lebih kaya dari Mainz pun akan membuat Heidel tak perlu sering-sering melepas pemain demi menjaga keseimbangan neraca keuangan klub. Pada akhirnya, peluang Heidel untuk meraih prestasi nyata – untuk menggenggam piala dan bukan hanya membanggakan keberhasilan lolos ke Eropa – akan lebih besar. Semua senang, semua menang selama, tentu saja, Heidel tak membawa serta kebiasaan “menyuplai” pelatih kepala untuk Dortmund.

Komentar