Arsene Wenger yang Menjadi Seorang Charmless Man

Cerita

by redaksi

Arsene Wenger yang Menjadi Seorang Charmless Man

I met him in a crowded room, where people go to drink away their gloom

He sat me down and so began, the story of a charmless man

Saat itu musim panas 1996. Seorang pria mendarat di bandara London Heathrow setelah menempuh penerbangan dari Jepang. Statusnya sebagai manajer Nagoya Grampus Eight pupus di bulan itu, dan tampak ia akan berganti tempat kerja. Sesampainya di London, ia langsung menuju ke arah London utara, dimana di sana tempat kerjanya yang baru sudah menanti. Tempat kerjanya itu adalah sebuah klub bernama Arsenal, klub Liga Inggris yang saat itu sedang dalam kondisi kalut. Waktu itu September 1996, ia resmi dikontrak oleh manajemen Arsenal untuk menangani Arsenal, dan mulai bekerja pada tanggal 1 Oktober 1996.

“Alasan saya datang ke Inggris untuk bekerja di sini adalah karena saya menyukai gaya sepakbola Inggris. Saya juga menyenangi semangat yang ada di klub ini, dan saya melihat potensi besar dari klub ini,” ujarnya saat pertama kali datang ke Arsenal. 

Tepat pada Oktober 1996, ballad Arsene Wenger di Arsenal pun dimulai. Sebuah cerita yang akan membawa kita pada betapa orang yang dianggap memiliki charm, ternyata perlahan charm-nya berubahlah orang tersebut menjadi charmless.

Awal mula menjadi manajer

Educated the expensive way, he knows his claret from his Beaujolais

I think he’d like to have been Ronnie Kray, but then nature didn’t make him that way

Sebelum memulai cerita Arsene Wenger di Arsenal, sejenak mari simak awal mula seorang Wenger menjadi manajer. Wenger, seorang pemuda kelahiran Strasbourg, Prancis, tidak memiliki karir yang cukup cemerlang sebagai seorang pemain. Selama aktif bermain, ia hanya membela beberapa klub local macam Mutzig, Mulhouse, ASPV Strasbourg, dan RC Strasbourg. Total selama menjadi pesepakbola dari tahun 1963 – 1981 ia hanya mencatatkan 67 penampilan dengan mencetak empat gol saja. Melihat karirnya sebagai pesepakbola yang tidak cukup cemerlang, ia pun akhirnya berniat mengikuti jejak ayahnya, menjadi seorang manajer sepakbola.

Di tahun 1979, ia memutuskan untuk masuk CREPS, sebuah instansi pendidikan khusus bidang kepelatihan sepakbola yang berlokasi di Strasbourg, Prancis. Dua tahun belajar di sana, ia akhirnya mendapatkan gelar diploma di bidang kepelatihan sepakbola. Pada tahun 1984, berbekal dengan gelar diplomanya itu, ia mulai melatih klub sepakbola Nancy. Dari sinilah karir manajerialnya bermula.

Lepas dari Nancy, ia pergi melatih AS Monaco. Selama di Monaco, barulah ia menunjukkan tajinya sebagai seorang manajer. Ia berhasil membangun tim Monaco yang kuat dan mampu meraih gelar juara Ligue 1 di musim 1987/1988. Pencapaian Wenger di Monaco kembali bertambah saat ia berhasil mengantarkan Monaco menjadi juara Coupe de France musim 1990/1991, dan juga berhasil mengantarkan Monaco ke semifinal Liga Champions Eropa di tahun 1994, sebelum dikalahkan oleh Milan. Hanya saja, di tahun-tahun itu Prancis sedang dilanda kasus korupsi sepakbola yang sangat marak, yang menyeret Presiden Marseille, Bernhard Tapie, atas kasus pengaturan skor Marseille vs AC Milan di final Liga Champions 1994. Wenger pun pergi meninggalkan Monaco menuju Jepang, ke Nagoya Grampus Eight di tahun 1995.

Selama di Nagoya, ia tidak banyak meraih prestasi kembali, karena memang waktu yang ia habiskan di sana sangatlah singkat. Selama satu setengah tahun di sana, ia hanya memberikan gelar Emperor Cup di musim 1994/1995 dan J-League Super Cup musim 1995/1996.

Pada Agustus 1996, ia akhirnya setuju untuk menerima pinangan Arsenal. Di Inggris inilah cerita Wenger yang sebenarnya di mulai. Saat ia pernah menjadi Ronnie Kray, namun akhirnya keadaan berubah untuk dirinya dalam beberapa tahun ke belakang.

Masa di Arsenal, Suka dan Duka

He thinks he’s educated, airs those club shares, will protect him, that we’ll respect him

Tanggal 1 Oktober 1996, ia memulai pekerjaannya menjadi manajer Arsenal. Ia diberikan kebebasan penuh oleh manajemen Arsenal untuk mengatur transfer, kontrak, dan menu latihan para pemain Arsenal. Ia mengatur semuanya mulai dari makanan apa yang harus disediakan, tidak boleh minum-minum terlalu banyak, dan pemberian vitamin agar pemain kuat saat menjalani pertandingan.

Hanya saja, di musim pertamanya di Arsenal ia tidak meraih keberhasilan yang berarti. Di Liga Primer, ia hanya membawa Arsenal menduduki peringkat ke-3 klasemen sementara. Namun, di musim keduanya pada 1997/1998, ia berhasil membawa Arsenal meraih double dengan menjuarai Liga Primer Inggris dan juga Piala FA. Sukses pun terus berlanjut saat Wenger mampu membawa Arsenal menjuarai Liga Primer Inggris musim 2001/2002 dan 2003/2004, menjuarai Piala FA pada musim 2001/2002, 2002/2003, 2004/2005, lalu juara Community Shield di tahun 1998, 1999, 2002, dan 2004. Wenger berhasil membawa kejayaan kepada Arsenal sampai 2005.

Bahkan, di tahun 2003/2004, saat Arsenal menjadi juara Liga Primer, Arsenal mendapatkan julukan The Invicibles karena mereka tidak terkalahkan dalam seluruh pertandingan liga. Sampai 2005, Arsenal masih akrab dengan trofi, bahkan hampir saja meraih trofi di Liga Champions Eropa 2005/2006 andaikan saja tidak dikalahkan oleh Barcelona.

Saat itu, Arsene Wenger begitu dikenal dengan charm nya sebagai manajer. Ia bisa mengatur Arsenal, yang di awal kedatangannya begitu terpuruk, menjadi salah satu kekuatan menakutkan di kancah persepakbolaan Inggris. Karena charm nya ini pulalah, manajemen Arsenal benar-benar makin mempercayai Wenger untuk mengatur segala hal yang berkenaan dengan klub Arsenal.

Tapi, tepat setelah berhasil maju ke babak final Liga Champions Eropa 2005/2006, prestasi Arsenal perlahan-lahan mulai turun. Mereka tidak lagi menjadi salah satu contender untuk juara Liga Inggris setiap musimnya, dan anehnya, sering finish di peringkat empat liga. Disinyalir, metode Wenger yang sudah terlalu kolot dan tua menjadi penyebab kenapa Arsenal sulit untuk berprestasi selepas 2006. Mereka lebih sering bersaing hanya untuk memperebutkan tempat masuk Liga Champions Eropa daripada bersaing untuk gelar juara.

He moves in circles of friends, who just pretend, that they like him

He does the same to them

Perlahan, orang-orang pun mulai mempertanyakan kapabilitas Wenger yang dahulu begitu diagung-agungkan. Charm Wenger yang dahulu begitu kuat sekarang sudah berubah menjadi sebuah charmless yang semakin hari semakin pudar. Meski charm nya sempat kembali saat Arsenal berhasil meraih trofi Piala FA dua musm berturut-turut, yaitu pada 2013/2014 dan 2014/2015, juga meraih trofi Community Shield di tahun 2014 dan 2015, sekarang charm nya pun mulai perlahan pudar, apalagi setelah Arsenal mengalami kekalahan di kandang sendiri atas Watford dengan skor 2-1 dalam babak 8 besar Piala FA, yang membuat kans Wenger untuk mengembalikan charm nya di Arsenal musim ini dengan memenangkan Piala FA pun hilang seketika.

And yet he tries, so hard to please, he’s just so keen, for you to listen

But no one’s listening

Ia pun meminta kepercayaan dari suporter Arsenal, manajemen, dan pemain agar bisa mengembalikan kejayaan Arsenal seperti dahulu kala. Manajemen tidak ada masalah, namun, nampaknya charm Wenger sudah tidak berpengaruh pada suporter Arsenal. Para suporter menginginkan ia untuk pergi dari Arsenal. Arsenal butuh pembaruan. Arsenal butuh penyegaran.

PAY-West-Brom-v-Arsenal

Bentuk kekecewaan dari pendukung Arsenal. Foto: mirror.co.uk

Para pemain pun melakukan hal yang sama. Sebelum pertandingan melawan Hull City di ajang Piala FA (replay), Theo Walcott, sebagai perwakilan dari pemain Arsenal berujar bahwa Tomas Rosicky, Per Mertesacker, Mikel Arteta, dan Petr Cech mengkoordinir sebuah pertemuan antar pemain Arsenal sebagai sarana untuk saling berbagi perasaan, tanpa kehadiran sang manajer, Arsene Wenger. Hah? Tanpa manajer?

“Kami tidak mencoba untuk berbohong. Dengan berbagi perasaan antar pemain satu sama lain, tanpa dihadiri manajer ataupun staf pelatih, kami bisa saling mengerti dan dapat melalui berbagai pertandingan yang berat. Beruntung sekali kami melakukan ini karena setelah pertemuan ini, performa kami meningkat. Yah, mungkin manajer akan tahu. Tapi saya yakin ia takkan marah,” ujarnya.

Bahkan pemainnya pun tidak mengajak Wenger untuk berdiskusi mengenai performa tim. Meski memang Wenger membela diri dengan mengatakan bahwa itu hal yang wajar, tapi, setidaknya, itu mencerminkan bahwa charm Wenger di Arsenal sudah perlahan hilang.

Yah, pada dasarnya, era rezim seperti kebanyakan manajer zaman dahulu sudah jarang terjadi lagi. Di tengah dunia persepakbolaan yang cepat berputar, di mana yang lama cepat berganti dengan yang baru, pola lama berganti dengan pola baru, sulit untuk tetap menjaga charm. Dan Wenger pun mengalami hal ini sekarang.

When you put it all together, there’s the model of a charmless man.

(sf)

foto: mirror.co.uk, ibtimes.co.uk

(pik) 

Komentar