Martin Schmidt, Sosok di Balik Pengusik Kenyamanan Papan Atas Bundesliga

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Martin Schmidt, Sosok di Balik Pengusik Kenyamanan Papan Atas Bundesliga

Setelah Kamis, 3 Maret 2016, sekarang barangkali adalah saat yang paling tepat untuk membahas Martin Schmidt dan klub yang ia tangani, FSV Mainz 05.

Pada hari yang disebutkan tersebut Mainz memaksa Bayern München menelan kekalahan kandang pertama mereka musim ini di saat yang paling tidak tepat: tiga hari sebelum pertandingan penting melawan Borussia Dortmund. Bukan perkara gengsi saja, karena kalah dari Mainz saat Dortmund meraih kemenangan tandang melawan Darmstadt membuat keunggulan Bayern atas lawannya terpangkas menjadi lima poin. Jika kalah melawan Dortmund, maka selisihnya akan kembali menipis menjadi dua poin.

Itu tak terjadi, memang; pertandingan berakhir imbang tanpa gol sehingga selisih lima angka tetap terjaga. Walau demikian Mainz tetap telah menempatkan Bayern di posisi tertekan dan secara tidak langsung membantu Dortmund. Bantuan yang sama tidak akan Dortmund dapatkan dari Mainz hari ini ketika kedua klub saling berhadapan di Westfalenstadion, Minggu (13/3). Dortmund membutuhkan poin untuk terus mengejar Bayern sementara Mainz, yang menduduki peringkat kelima (setelah 25 pekan, tanpa menyertakan hasil pertandingan pekan 26 yang lebih dulu digelar) dan hanya berselisih satu angka dari peringkat keempat membutuhkan tambahan poin untuk memastikan keikutsertaan mereka di Champions League musim 2016/17.

Keberhasilan Mainz mencapai tujuan tersebut sangat bergantung kepada para pemain mereka dan sang pelatih kepala, Martin Schmidt. Pembuktian besarnya baru dapat dinilai di akhir musim nanti, namun rangkaian pertandingan menuju pembuktian besar tersebut dimulai hari ini, ketika ia berhadapan satu lawan satu dengan mentor dan sosok yang membawanya ke Jerman, Thomas Tuchel.

Schmidt muda tidak menjalani hidup yang sama dengan kebanyakan dari mereka yang kini berkarier sebagai pelatih kepala. Schmidt yang bergabung dengan klub pertamanya pada usia sembilan tahun memiliki banyak keahlian selain – dan menjalani banyak aktivitas di luar – sepakbola. Berkali-kali menderita cedera lutut (tidak kurang dari tujuh, per situs resmi Bundesliga) membuat kariernya sebagai pemain terhambat, namun di saat yang bersamaan membuatnya bisa menjalani hidup sepenuhnya.

Mendaki gunung adalah aktivitas favorit Schmidt. Begitu juga dengan bermain ski dan balapan motor. Kecintaannya kepada aktivitas mendaki gunung membuat Schmidt membawa para pemain Mainz berkemah di pegunungan Alpen pada jeda musim dingin lalu, sebelum membawa para pemainnya ke kampung halamannya di Naters, Swiss, dan memperkenalkan mereka kepada keluarganya.

Schmidt juga seorang mekanik dan menjalankan bengkelnya sendiri selama 10 tahun sembari menjadi instruktur ski serta menjalankan sebuah perusahaan tekstil bersama ketiga saudara perempuannya; aktivitas yang masih terus ia jalankan bahkan setelah menjadi pelatih kepala Mainz.

Menangani FC Raron pada 2001 menjadi debut Schmidt di dunia kepelatihan. Bersama klub Swiss ini Schmidt meraih promosi, begitu juga bersama tim muda FC Thun yang ia tangani sejak 2008 hingga 2010. Organisasi pertahanan Thun lah yang kabarnya membuat Tuchel tertarik kepada Schmidt dan memintanya untuk bergabung di Mainz sebagai pelatih kepala tim U-23. Schmidt menerima tawaran Tuchel dan membuktikan kemampuannya mengorganisir tim dan diri (sembari menjadi pelatih kepala U-23, Schmidt juga menjalankan perannya sebagai asisten Tuchel) dengan membawa Mainz U-23 meraih promosi ke divisi ketiga Bundesliga pada 2014. Di saat yang bersamaan, Tuchel meninggalkan Mainz.

“Saya sedikit merasa seperti guru yang setelah lima tahun merasa bahwa akan lebih baik jika orang lain yang mengajar sebelum ikatan kuat terjalin dan menghambat perkembangan,” ujar Tuchel mengenai alasannya meninggalkan Mainz untuk menjalani istirahat panjang dari kesibukan melatih. Perginya Tuchel tak lantas membuat Mainz mengangkat Schmidt sebagai pelatih kepala, sesuatu yang mereka sesali pada akhirnya.

Kasper Hjulmand, pelatih kepala yang Mainz percayai untuk menggantikan Tuchel, tak menjalankan tugasnya dengan baik hingga mereka terpaksa mendepaknya pada pertengahan musim dan mengangkat Schmidt sebagai pengganti. Mainz berada satu poin di atas zona degradasi ketika Schmidt ditunjuk sebagai pelatih kepala, namun catatan buruk Hjulmand tidak hanya itu. Christian Heidel, sporting director Mainz, merasa klubnya kehilangan kedisiplinan taktikal, sifat agresif, hasrat, semangat juang, dan penerapan rencana pengembangan tim. Schmidt mengembalikan semuanya dalam perjalanan membawa Mainz mengakhiri musim 2014/15 di peringkat kesebelas.

Mainz aman dari ancaman degradasi bersama Schmidt, namun tak cukup baik untuk lolos ke kejuaraan Eropa. Mengingat Schmidt hanya meneruskan buruknya hasil kerja Hjulmand, itu terhitung wajar. Di musim ini, yang akan menjadi musim penuh pertama Schmidt sebagai pelatih kepala Mainz, ia telah membuktikan kemampuannya.

“Ada beberapa ciri khas yang melekat dengan saya, dan itu yang kami tunjukkan di Mainz. Itu adalah gaya bermain sepakbola cepat dan menyerang,” ujar Tuchel mengenai karakteristik Mainz di bawah arahannya. “Saya menyukai beberapa atribut: gaya bermain yang aktif dan pertahanan yang berani, lalu serangan yang cepat.”

Schmidt meneruskan hasil kerja Tuchel di Mainz namun seperti Tuchel yang menyempurnakan hasil kerja Jürgen Klopp, Schmidt juga menambahkan beberapa hal yang kurang di era pendahulunya. Salah satunya adalah pendekatan yang lebih pragmatik di saat-saat tertentu, yang membawa Mainz ke tempat mereka berada saat ini dan membuat Pep Guardiola mengaku kalah.

“Selamat untuk Mainz,” ujar Pep Guardiola setelah Bayern München menyerah kalah 1-2 pada Rabu (3/3). “Kami tidak mengatasi serangan balik mereka dengan baik. Babak kedua tidak mudah, ketika mereka bermain dengan sepuluh orang di depan kotak penalti. Kami memiliki cukup banyak peluang untuk memenangi pertandingan – kami bahkan mencoba bermain dengan lima penyerang. Pekerjaan kami untuk mempertahankan gelar masih banyak.”

Target Schmidt untuk Mainz musim ini tak muluk-muluk. Hanya untuk meraih hasil terbaik dengan menerapkan gaya main mereka, banyak berlari dan menyerang dengan cepat. Dalam prosesnya, Mainz berhasil berada sangat dekat dengan keberhasilan lolos ke Champions League.

Selain menjungkalkan Bayern, Schmidt berhasil membuat skuat asuhannya menjungkalkan Wolfsburg, Bayer Leverkusen, Schalke 04, dan Borussia Moencengladbach. Perlu diketahui, empat kesebelasan tersebut merupakan salah satu kekuatan Jerman di Europa League atau Champions League. Mainz asuhan Schmidt, berhasil mengusik kenyamanan persaingan mereka di bawah Dortmund dan Bayern.

Bersama Tuchel sebagai pelatih kepala dan Schmidt sebagai asistennya, Mainz yang tidak memiliki kekuatan finansial untuk bersaing dengan klub-klub besar Jerman berhasil dua kali lolos ke Europa League. Akan menjadi sebuah kebanggaan pribadi yang besar sekali bagi Schmidt jika tanpa Tuchel yang lebih ternama darinya, ia berhasil membawa Mainz lolos ke Champions League.

Komentar