Sistem Trofeo Piala Gubernur Kaltim dan Masyarakat Indonesia yang Suka Meniru

Cerita

by redaksi

Sistem Trofeo Piala Gubernur Kaltim dan Masyarakat Indonesia yang Suka Meniru

Siang itu saya sedang asyik membaca artikel buatan Frasetya Vady Aditya tentang ciri masyarakat sepakbola Indonesia berdasarkan buku “Manusia Indonesia”. Dalam artikel tersebut dijelaskan mengenai stereotipe masyarakat Indonesia berdasarkan pandangan dari Mochtar Lubis, penulis bukunya, yang kebanyakan digambarkan secara negatif.

Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa ciri manusia (sepakbola) Indonesia antara lain adalah hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa artistik yang tinggi, bersikap feodal, mempercayai takhayul, sampai lemah watak dan karakternya. Semua ciri tersebut seakan menjelaskan sisi buruk dari masyarakat Indonesia.

Meski ini berbau stereotip dan memang harus langsung ditanyakan kepada alm. Mochtar Lubis, tapi, saya sendiri mengakui bahwa ciri-ciri tersebut sering saya lihat di kehidupan sehari-hari, entah itu dari sahabat, rekan kerja, keluarga, atau bahkan dari diri saya sendiri. Saya hanya bisa menghela nafas membaca tulisan itu.

Saya lanjutkan membaca artikel tentang ciri manusia Indonesia ini. Saya kira sudah habis. Ternyata di bagian akhir saya melihat ada stereotip lain yang cukup menarik perhatian saya: orang Indonesia suka meniru. Suka meniru? Kemudian saya tenggelam dalam renungan. Ciri ini tampaknya berkaitan dengan yang banyak terjadi di negeri ini.

Cukup lama saya termenung, dan akhirnya saya ingat akan sesuatu. Ingatan itu terlempar menuju ke Kalimantan Timur, provinsi yang jika kita lihat berdasarkan namanya, terletak di sebelah timur pulau Kalimantan yang luas itu. Tapi, mengapa harus terlempar ke Kalimantan Timur? Kenapa tidak ke Jawa atau Sumatera?

Di Kalimantan Timur ada sebuah hajatan sepakbola yang sedang digelar mulai dari akhir Februari sampai awal Maret. Turnamen ini diselenggarakan oleh gubernur setempat untuk mengisi kekosongan kompetisi yang sedang dialami oleh Indonesia pada masa-masa itu. Nama hajatan sepakbolanya adalah Piala Gubernur Kaltim, yang mempertemukan 4 tim dari Kaltim dengan 8 tim lain dari berbagai daerah di Indonesia.

Ingatan saya terlempar ke fase babak semifinal dari hajatan tersebut. Semifinal, yang lazimnya mempertemukan 4 tim terbaik untuk kemudian beradu menuju ke babak final, menjadi sedikit berbeda di kejuaraan ini. Hajatan ini menggunakan ‘sistem trofeo’, katanya, sebagai salah satu cara untuk menentukan tim mana yang berhak melaju sampai ke final. Mendengar ini saya sedikit mengernyitkan dahi.

Di titik inilah ingatan saya berhenti, karena jika mengacu dengan apa yang sudah disebutkan di atas tentang ciri manusia Indonesia, mulai terpapar sedikit melalui bukti shahih ucapan alm. Mochtar Lubis, bahwa Indonesia itu suka meniru.

Makna Kata Dasar 'Trofeo'

Sebelum membedah kenapa pemberlakuan ‘sistem trofeo’ membuat ciri yang diujarkan oleh Mochtar Lubis bahwa masyarakat Indonesia suka meniru menjadi benar adanya, mari sejenak kita pahami makna dari kata ‘trofeo’ itu sendiri. Kata ‘trofeo’ berasa dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ‘tropaion’ yang berarti “sebuah penghargaan”, “karena kekalahan”, yang mengalami sebuah proses coinage ke bahasa Italia menjadi ‘trofeo’, lalu ke bahasa Inggris menjadi ‘trophy’, dan lanjut diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi kata ‘piala’. Jadi, sebenarnya trofeo itu adalah bahasa Indonesianya 'piala'.

Lalu, jika merunut kepada penjelasan di atas, terlihat bahwa ‘trofeo’ itu bukanlah sebuah sistem, apalagi format turnamen. ‘Trofeo’ itu adalah nama dari piala itu sendiri. Jadi, kalau ingin memakai nama ‘trofeo’, pakailah nama ‘trofeo’ di nama turnamennya, menjadi ‘Trofeo Gubernur Kaltim’. Nah, itu baru benar secara kaidah linguistik.

Meniru Trofeo TIM di Italia

Untuk semifinal Piala Gubernur Kaltim, penyelenggara menetapkan aturan yaitu pertandingan berjalan selama 1 x 45 menit beruntun dengan sistem round robin, dengan catatan 3 poin untuk kemenangan dalam pertandingan 1 x 45 menit, 2 poin untuk kemenangan lewat adu penalti, 1 poin jika kalah lewat adu penalti, dan tidak mendapatkan poin jika kalah dalam pertandingan 1 x 45 menit. Hmm, sepertinya saya kenal dengan peraturan ini.

Setelah melamun sejenak, ternyata peraturan ini sangat mirip dengan peraturan trofeo TIM di Italia yang mempertemukan antara Juventus, Inter Milan, dan AC Milan (Inter Milan digantikan Sassuolo mulai tahun 2013), dan format ini sudah dipakai dalam trofeo TIM sejak tahun 2001, dan itu masih berlangsung sampai sekarang. Hmm, lalu apa artinya ini?

Jelas ini berarti bahwa Indonesia sedang memperagakan proses peniruan. Indonesia meniru apa yang sudah dilakukan Italia semenjak 2001 atau sekitar 15 tahun yang lalu. Inilah mengapa alm. Mochtar Lubis mengatakan dalam bukunya bahwa bangsa Indonesia itu suka meniru. Dengan gagahnya Piala Gubernur Kaltim meniru aturan trofeo TIM untuk diaplikasikan di turnamen sendiri pada sebuah pertandingan.

***

Inilah salah satu contoh shahih mengapa dalam buku Manusia Indonesia, yang saya baca dari artikel Frasetya Vady Aditya, alm. Mochtar Lubis dengan keras menyuarakan bahwa bangsa Indonesia ini suka meniru. Ya, mungkin, dipikir-pikir, daripada berinovasi menciptakan, lebih baik memanfaatkan yang sudah ada. Begitu kali ya? Padahal kenapa tidak berusaha saja untuk menciptakan sendiri, agar bisa diikuti bangsa lain. Ah, dasar.

(sf)

foto: tribunnews.com

Komentar